Mohon tunggu...
Humaniora

Serapah Kejengkelan, Sembako, Pelecehan di Medsos, Peran Media dan Semangat Bhineka Tunggal Ika

17 April 2017   11:04 Diperbarui: 17 April 2017   20:00 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa kasus yang terjadi belakangan ini adalah seseorang atau sekelompok orang memaki anak bangsa "pribumi" dengan kata/serapah yang nggak patut dengan sebutan "Tiko". Yang juga lagi marak sekarang pelecehan, penghinaan, ucapan kotor dan tidak pandang bulu kepada ungkapan itu ditujukan sesama masyarakat, pejabat, orang penting, selibritis bahkan Ulama jadi sasaran. Yang miris adalah ungkapan kasar tersebut malah seakan-akan dihalalkan oleh kekuasaan karena terkait politik untuk merebut kekuasaan. Memang rezim ini punya aturan ketat/sangsi katanya terkait ujaran kebencian, tetapi anehnya sasarannya justru sebagian besar media yang menyuarakan/kepentingan kaum muslim. Demi kelanggengan dan pencitraan kekuasaan hal2 yang negatif diatas justru menjadi hal yang biasa dan bukan suatu ancaman yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara, justru yang miris media utama atau mainstream malah memback-up Rezim ini agar tetap terjaga citra "indah" rezim ini. Ingat video kampanye Ahok yang SARA justru tanpa ada peringatan fitnahnya adalah kejadian kriminal penjarahan adalah buat ketidakadilan sosial rezim saat itu digiring pada ancaman SARA. Terakhir adalah upaya membeli hak politik masyarakat dengan sembako dengan berbagai dalih.

Hal yang mengagetkan adalah jargon pribumi, indon, Tiko dll menjadi serapah dari pihak tertentu kepada pihak lain yang justru bangsa Indonesia juga. Pihak yang serapah ini merasa saat itu bukan sebangsa dan merasa dia lebih beradab dari pihak satunya yang juga bangsanya sendiri (itu juga jika dia sadar). Saya kira ini adalah suatu rangkaian peristiwa politik belakangan utamanya pilkada DKI yang menampilkan sosok dari Bangka-Belitung yang beruntung diajukan oleh tokoh Nasional tetapi ternyata sifat aslinya  kesombongan dan kekasaran/ keserapahan yang dicitrakan secara sukses oleh media menjadi Hero anti korupsi katanya. Yang lebih miris lagi lawan politiknya dituduh korup dan anti bhineka katanya (padahal jika mau jujur satu-pun kasus belum ada yang naik ditingkat pengadilan), justru dia yang terkena beberapa indikasi kasus korupsi malah aman bersih seputih kapas. Sifat superioritas yang keblinger ini justru menjadi tren di Medsos tanpa ada rasa takut walau terekspos, kemudian fenomena gunung es ungkapan serapah "Tiko" dan pribumi-indon kepada pihak lain yang orang Indonesia menjadi ramai sekarang. Kebencian ini apakah buah dari keberhasilan bhineka tunggal Ika atau malah sebaliknya, pada kenyataannya jargon indah dan masyur ini malah jadinya menjadi olok2 karena kenyataanya masih dianggap omongkosong atau paling tidak setengah-hati dalam memahaminya. 

Terkadang upaya pencemaran kebhinekaan bukan hanya pandangan ataupun ungkapan rasis tetapi juga merendahkan secara kultural dan sosial ekonomi masyrakat dengan pemberian sembako. Masyarakat kelas bawah sering dijadikan objek pemberian yang sembako untuk upaya menggiring hak politik mereka. Cara2 ini sering dilakukan secara masih terutama justru pada pilkada di DKI ini. Bagi saya ini merupakan suatu tindakan pelecehan yang luar biasa bukan saja terhadap masyrakat tertentu tetapi juga terhadap aparat penyelenggara Pilkada (termasuk pengawas dan pihak berwenang lainnya yang dipaksa cuek membiarkan kejadian ini berlangsung jikapun ada hanya tindakan tidak substansial dikarenakan pihak tertentu harus dikawal untuk kelanggenan kekuasaan.

Saya tidak kuatir dengan pemahaman yang berbeda terhadap "pribumi dan kebhinekaan" dari Sabang sampai Merauke walaupun kadang masih bergejolak, tetapi dengan salah urusnya perlakuan orde-baru, reformasi yang kehilangan arah dan upaya membababi buta pencitraan kekuasaan termasuk oleh Media dan Intelektual/Pemuka Agama yang melacur pada kekuasaan menyebabkan kita abai bahwa ada sebagian dari etnis tertentu yang ada masih belum padu, selaras dan harmoni menjaga NKRI ini. Indikasinya adalah pertama persaksian salah satu Taipan yang termasuk jajaran orang terkaya dan berpengaruh di republik ini mengaku RI hanya "Ayah Tiri"/yang rasa kebatinannya masih nggak jelas, kedua kesombongan yang dicitrakan Hero oleh Media pada satu sosok yang se-etnis Taipan, ketiga adanya fenomena gunung es "Tiko-Indon" lagi2 serapah dari etnis yang sama. Tentunya tidak semua dari etnis ini belum menyatu dalam NKRI tetapi ada dari beberapa orang dari etnis ini seperti Pak Jaya S, Pak Leus, Bang Felix Siau dan termasuk orang2 yang sudah berakulturasi contoh didaerah saya disebut Cina Benteng, Singkawang dll sudah secara baik dan konsisten menjadi orang "Indonesia/Indon". Opini ini adalah "warning" buat Pemerintah betapa keresahan ini jika tidak dikelola akan menjadi buruk dan menghancurkan. Semoga tulisan ini bisa menjadi kritik yang membangun. Kritik bukan Kebencian atau Merendahkan, serta Rasa Sayang dan ketulusan bukan terlihat atau ditunjukan kata2 indah yang penuh senyum dan memuja, tetapi Obat yang umumnya pahit lebih menyehatkan jika digunakan sesuai aturan dan proposional pada penyakit yang sesuai. Dan terkadang madu yang menyehatkan belum tentu manis kadang yang pahit-pun menyehatkan. 


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun