Pagi itu, seperti biasa. Pengajian digelar. Aku turun dari angkutan dengan sebaik-baik jiwa, jiwa sebening putihan permata. Jiwa ini tak perlu kilau seperti permata, asal merasa lapang sudah cukup.
Setelah itu, aku berjalan beberapa langkah. Anak-anak sudah mulai tilawah bersama. An Naba- An Naas menjadi lantunan pagi di setiap Sabtu. Mereka sangat sumringah. Walau ada yang terbata-bata, mengeja satu demi satu ayat-ayat firmanNya, ruh mereka telah menyatu dengan kondisi tersebut.
Ku hitung langkahku baru dua puluh langkah, seorang diantara para santri itu menyapaku dengan nada pengharapan. Tampak ku dengar itu adalah harapan kebaikan yang harus senantiasa disemai kepada mereka. Sebuah kerinduan yang diharap-harapkan.
Ustad,” jangan pengajian bentar ya!”
“Oke,” jawabku sambil berlalu masuk menaruh tasku di atas meja.
Sekitar dua puluh menit sudah. Santri menutup tilawah berjamaah itu dengan doa kafaratul majelis. Semua bubar. Kecuali, santri yang ikut pembinaan karakter.
Sudah sebulan lamanya, ukhuwah diantara santri dengan santri, diantara santri dengan ustadznya melempeng karena disibukan dengan urusan masing-masing. Harmonisasi kumpulan kecil yang bertujuan demi pembinaan karakter itu diadakan lagi tanggal ini.
Nampak, antusias santri kelompok Al Fatih itu terasa membuat aku hidup kembali. Ada tarikan aksi dan reaksi. Itulah cinta yang dikatakan Anis Mata, ““Bila anda ingin mencintai dengan kuat, maka anda harus mampu memperhatikan dengan baik, menerimanya apa adanya dengan tulus, lalu berusaha mengembangkannya semaksimal mungkin, kemudian merawatnya..menjaganya dengan sabar. Itulah rangkaian kerja besar para pecinta; pengenalan, penerimaan, pengembangan dan perawatan.” Lanjut sang pendakwah realisme cinta itu,” jiwa yang dapat bersatu adalah jiwa yang memiliki watak ’permadani’. Ia dapat diduduki oleh yang kecil dan yang besar, alim dan awam, remaja atau dewasa. Ia adalah jiwa yang besar, yang dapat ’merangkul’ dan ’menerima’ semua jenis watak manusia. Ia adalah jiwa yang digejolaki oleh keinginan kuat untuk memberi, memperhatikan, merawat, mengembangkan, membahagiakan, dan mencintai.”
Begitulah keindahan cinta yang terbangun. Seperti yang disyairkan dalam kumpulan karya Ibnu Qayyim Al Jauziyyah,” Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu” Itulah kesatuan iman dan cinta yang kurasakan dari pancaran santri yang berjumlah dua belas orang itu.
Terkasih Allah pada mereka. Mereka adalah sanad generasi terbaik, yang harus menjadi tokoh besar di masa depan, asal kita menyemai mereka dengan sebenar-benarnya cinta.
***