Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Pengajar yang terus belajar apa saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Memahami Nalar Teroris

24 April 2019   21:16 Diperbarui: 24 April 2019   21:44 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:  Dokumen Pribadi

Tragedi terorisme di Sri Lanka telah menimbulkan keprihatinan mendalam di segenap penjuru dunia. Tragedi kemanusiaan tersebut melengkapi kasus-kasus serupa yang pernah terjadi di berbagai belahan dunia. Indonesia sendiri termasuk negara yang pernah menghadapi tragedi serupa dan secara laten terus terancam oleh bahaya laten gerakan teror yang mengatasnamakan agama Islam.

Tidak mengherankan bila fenomena seperti ini memunculkan stigma yang mengkaitkan terorisme dengan ajaran agama Islam. Digunakannya simbul-silbul dan ungkapan-ungkapan keagamaan memunculkan kesan seakan-akan Islam memang mengajarkan, setidaknya membenarkan atau membuka peluang bagi kejahatan ini. Padahal kaum agamawan dan mayoritas umat Islam yang akal dan pikirannya normal tidak akan pernah membenarkannya baik dari segi agama maupun kemanusiaan.

Terorisme merupakan fenomena naif di era modern. Bagaimana bisa, di tengah perkembangan ilmu, teknologi, dan alam berfikir yang semakin rasional dan humanis saat ini justeru berkembang kelompok-kelompok manusia yang dengan tanpa rasa bersalah bertindak di luar nalar manusia normal? Apa yang ada di pikiran kaum teroris sehingga dengan mengatasnamakan kebenaran agama, mereka menyerang dan membantai rakyat sipil dan merusak kedamaian?

Hampir semua teroris berlabel agama menolak dianggap sebagai pelaku kejahatan. Tokoh-tokoh terorisme di Indonesia seperti Amrozi, Imam Samudera atau Imam Baasyir selalu menganggap yang mereka lakukan sebagai kebenaran. Secara psikologis mental mereka terbukti sehat, tetapi cara berfikir yang mereka gunakan di luar nalar manusia normal, nalar tidak sehat.

Kebenaran yang dianut oleh kaum teroris dan kaum radikal pada dasarnya merupakan kebenaran subyektif, egosentris dan emosional. Kaum teroris adalah manusia dengan nalar ckak, nalar pendek, tidak mampu menggunakan logikanya secara normal dan terbuka. Seperti halnya suku-suku terasing atau manusia masa lalu yang hidup di tengah jaman ini, mereka hidup dengan nalarnya sendiri, terlepas dari nalar manusia modern, yang mampu menggunakan akal budinya secara bebas dan terbuka.

Nalar Subyektif

Mereka tidak mampu membedakan antara kebenaran dan keyakinan. Mereka menempatkan kebenaran dalam konteks keyakinan, dan mencampuradukkan keduanya, di mana kebenaran adalah apa yang telah terlanjur mereka yakini saja. Di luar keyakinan mereka, apalagi yang bertolak-belakang, dianggap sebagai kebathilan, kesesatan, bahkan menjadi musuh dan ancaman bagi kebenaran versi mereka.

Mereka tidak dapat menerima kebenaran obyektif, dalam arti benar menurut logika formal dan diterima oleh kebanyakan orang. Lebih tragisnya lagi, kaum teroris dan radikal tidak dapat menerima kebenaran di luar komunitasnya sendiri, bahkan cenderung membentengi diri dari pengaruh luar. 

Mereka adalah manusia yang sukses dibutakan matanya, ditulikan telinganya, dibungkam hati dan pikirannya oleh doktrin-doktrin yang membodohkan. Mereka menutup diri dari pendapat dan sudut pandang orang lain, dan sukses dididik menjadi manusia bodoh tetapi merasa paling pintar, paling benar.

Nalar Egosentris

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun