Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Pengajar yang terus belajar apa saja

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Hantu Quick Count

20 April 2019   13:10 Diperbarui: 20 April 2019   13:26 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Metode verifikasi hitung cepat (quick count) dalam pemilihan umum merupakan sudah merupakan hal lazim dan niscaya dilakukan di berbagai negara modern. Di negara terbuka dan modern manapun, quick count merupakan hal biasa bahkan menjadi kebutuhan masyarakat akan informasi, tetapi anehnya kehadiran lembaga survet direspon secara aneh di Indonesia akhir-akhir ini.

Meski hanya didasarkan atas perhitungan sampling, metode ini sudah diterima masyarakat internasional karena mampu memberikan data yang akurat dan cepat terhadap hasil pemilihan umum. Di Indonesia, metode ini juga terbukti akurat dalam meramalkan hasil pemilihan umum, baik Pilkada hingga Pilpres, karena perhitungan resmi membutuhkan waktu yang cukup lama.

Anehnya, pada dua kali gelaran pilpres, 2014 dan 2019, quick count selalu diperdebatkan. Bukan hanya itu, lembaga-lembaga survey bahkan dituduh sebagai corong politik satu pihak, survey bayaran, dan publikasi hasil quick count dituduh memiliki tendensi politis. Pada pilpres 2019, quick count bahkan menjadi momok alias hantu politik yang sangat ditakuti oleh sekelompok politisi dan para pendukungnya, hingga memunculkan reaksi yang tidak masuk akal, mulai dari meragukan independensi lembaga survey, tuntutan pelarangan melalui Mahkamah konstitusi (MK) hingga tuntutan untuk ditiadakannya survey-survey semacam ini. 

Keberadaan quick count sudah membalikkan akal sehat bukan saja di tingkatan masyarakat awam, melainkan juga para akademisi. Bahkan mereka yang bergelar profesor, seperti Siti Zuhro meragukan independensi lembaga survey dan Din Syamsuddin begitu gerah dengan keberadaan quick count hasil lembaga-lembaga survey yang kredibel. Lebih aneh lagi, di era keterbukaan informasi saat ini Din Syamsuddin bahkan secara kekanak-kanakan meminta publikasi semacam ini dihentikan. Din beralasan hasil survey menimbulkan masalah, padahal masalah itu hanya terjadi di "kubu" dia sendiri.

Persoalannya, bila mereka yang menyandang label akademis tertinggi saja demikian, maka dapat dipahami bagaimana masyarakat bawah memandang quick count. Padahal para akademisi tersebut seharusnya sangat paham eksistensi dari pendekatan scientific ini  baik sebagai metode penelitian di kampus maupun verifikasi hasil pemilu. Keberadaan lembaga survey jelas-jelas dinyatakan bukan keputusan resmi dan bukan menjadi patokan dalam menentukan pemenang kontestasi.

Apalagi di masyarakat yang kian terbuka, keberadaan lembaga-lembaga survey menjadi kebutuhan yang tidak dapat diabaikan. Hasil survey dibutuhkan oleh mereka yang berakal sehat dan membutuhkan data akurat sebagai dasar dalam membangun kebijakan. Survey bahkan sejak masa pencalonan seharusnya ditempatkan sebagai bahan evaluasi atas tingkat popularitas  dan elektabilitas para kandidat pemimpin publik. Dari data-data survey akan diketahui kelemahan-kelemahan yang perlu dibenahi serta berbagai kekuatan yang potensial untuk dioptimalkan. 

Kiranya ada benarnya pernyataan Machfud MD bahkan hasil survey selalu dipersoalkan oleh pihak-pihak kalah. Di saat yang lain, ketika wakil dari sebuah kelompok politik yang sama dinyatakan memenangkan gelaran pemilihan kepala daerah, mereka menerima hasil survey. Sebagai misal, dalam pilkada DKI, di mana Anies-Sandy dinyatakan sebagai pemenang Pilkada, Gerindra dan partai-partai pengusungnya tidak mempersoalkan hasil quick count,  tetapi ketika dalam gelaran Pilpres mereka dinyatakan kalah, mereka menentang habis-habisan keberadaan lembaga survey.

Pengalaman sejarah pemilu di negeri ini memperlihatkan bahwa ketakutan terhadap quick count terjadi akibat besarnya ambisi kekuasaan yang tidak terkendali, yang tidak dibarengi dengan kesiapan untuk menjunjung tinggi sikap fair (fairness) dalam pertarungan politik. Akibatnya, mereka berusaha mengeliminir suara-suara "sumbang" yang tidak berpihak dan tidak mendukung kepentingannya. Mereka tidak membutuhkan kebenaran data dan fakta, dan hanya butuh kemenangan.

Mereka berupaya membungkam pandangan-pandangan dan tindakan-tindakan kritis yang berpotensi membuka selubung niat dan manuver-manuver "busuk" mereka dalam memenangkan percaturan politik. Banyaknya lembaga survey independen memungkinkan terjadinya check and balance atas informasi publik, yang masing-masing dapat diverifikasi berdasarkan validitas metodologi dan reliabilitas instrumennya, serta dukungan datanya.  

Justeru yang paling menggelikan adalah ketika seorang kandidat pemimpin tanpa malu mengklaim sebagai pemenang hanya berdasarkan survey, yang diakui sebagai survey internal yang tidak jelas validitas metodologinya. Calon pemimpin seperti ini jelas memperlihatkan rendahnya integritas kenegarawanannya karena bukan memberikan teladan kearifan di tengah panasnya kontestasi politik, melainkan justeru membakar bara konflik politik  yang membahayakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun