Beberapa waktu lalu, saya mengalami momen di mana ingin mengutarakan sesuatu, tetapi justru terdiam. Bukan karena tidak tahu apa yang hendak disampaikan, tapi ada sesuatu yang menahan, seolah kata-kata tersangkut di tenggorokan tanpa alasan yang jelas.
Pikiran saya penuh dengan berbagai argumen dan sudut pandang, tapi ketika harus diungkapkan, semuanya seakan menghilang begitu saja.
Fenomena ini ternyata bukan sesuatu yang asing dalam psikologi. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang kesulitan berbicara atau mengekspresikan pikirannya, mulai dari aspek emosional, tekanan sosial, hingga pengalaman masa lalu yang membentuk pola komunikasi seseorang.
Ketika Emosi Menghambat Kata-Kata
Dalam bukunya The Emotional Brain, Joseph LeDoux (1996) menjelaskan bagaimana otak manusia memproses emosi sebelum berpikir rasional. Amigdala, bagian otak yang bertanggung jawab terhadap respons emosional, sering kali lebih cepat bereaksi dibandingkan korteks prefrontal, yang bertugas mengolah bahasa dan pemikiran logis.
Artinya, ketika seseorang sedang cemas, takut, atau bahkan terlalu bersemangat, otaknya lebih sibuk mengolah emosi dibanding menyusun kata-kata yang ingin diucapkan.
Itulah mengapa seseorang bisa terdiam saat sedang marah atau gugup, otaknya lebih sibuk dengan reaksi emosionalnya dibanding memikirkan bagaimana cara berbicara dengan jelas.
Saya sendiri pernah mengalami saat berada dalam situasi yang menuntut untuk berbicara di depan umum, saya merasa jantung berdetak lebih cepat dan pikiran saya menjadi kosong. Padahal sebelumnya saya telah menyusun argumen dengan baik, tapi begitu berdiri di hadapan audiens, semua yang ada di pikiran terasa kabur. Â
Ketakutan Akan Penilaian Orang Lain
Salah satu alasan utama mengapa seseorang kesulitan mengungkapkan pikirannya adalah rasa takut akan bagaimana orang lain akan menilai mereka. Rollo May (1953) dalam Man’s Search for Himself mengungkapkan bahwa kecemasan sosial sering kali berakar pada keinginan manusia untuk diterima dan diakui oleh lingkungannya. Â
Banyak orang mengalami dilema ini, termasuk saya sendiri. Ada kalanya saya ingin menyampaikan pendapat, tetapi muncul pertanyaan di kepala, "Apakah ini terdengar masuk akal? Apakah orang lain akan setuju?" Kecemasan ini sering kali membuat saya memilih diam daripada mengambil risiko disalahpahami atau dikritik. Â