Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dua Wajah Relasi, Antara Realistis dan Kepalsuan

27 November 2024   13:17 Diperbarui: 27 November 2024   13:25 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di usia dua puluhan, saya belajar sesuatu yang menarik, dunia ini punya logika yang sering kali berlawanan dengan hati nurani. Salah satu pelajaran terbesar datang dari hubungan sosial yang sering kali bergantung pada seberapa banyak kita mampu menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain.

Teman semakin mudah ditemukan ketika kita mengenakan topeng. Ya, semakin fake kita, semakin banyak orang yang datang untuk bersandar, bercanda, atau sekadar numpang tertawa. Sementara itu, menjadi realistis, menampilkan diri apa adanya tanpa manipulasi justru sering kali membuat kita terasing, kejujuran itu seperti magnet dengan kutub yang salah justru menjauhkan orang-orang.

Dunia sosial ibarat panggung besar. Orang-orang di atasnya sering kali hanya memperhatikan penampilan, gestur, dan senyuman, bukan esensi. Ketika seseorang memilih untuk menyesuaikan diri dengan standar sosial dengan berpura-pura menyukai sesuatu, menyembunyikan ketidaksetujuan, atau sekadar ikut arus demi penerimaan maka ia akan dianggap menyenangkan, bahkan karismatik.

Tetapi, hubungan yang dibangun di atas kepura-puraan ini jarang bertahan lama. Sebagian besar hanya sekadar "transaksi emosional": seseorang menjadi fake untuk diterima, sementara orang lain menerima mereka karena mereka "nyaman" di sekitar kepalsuan itu. Dalam ekosistem seperti ini, relasi yang tercipta bersifat dangkal, penuh basa-basi, dan kosong dari makna.

Yang menarik adalah betapa manusia cenderung memprioritaskan jumlah daripada kualitas dalam hubungan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak orang lebih suka memiliki ratusan kenalan yang hanya mengucapkan "halo" sesekali dibandingkan dengan beberapa teman yang benar-benar memahami mereka.

Di sisi lain, menjadi realistis tidaklah mudah. Ketika seseorang memilih untuk jujur dan menunjukkan diri yang sebenarnya, risiko penolakan meningkat drastis. Mengapa? Karena dunia ini tidak nyaman dengan kejujuran. Orang lebih suka mendengar apa yang ingin mereka dengar daripada kebenaran yang mungkin tidak mereka sukai.

Fakta lapangan menunjukkan bahwa mereka yang realistis cenderung memiliki lingkaran pertemanan yang lebih kecil. Bukan karena mereka tidak disukai, tetapi karena mereka memilih untuk tidak membuang waktu pada hubungan yang tidak tulus.

Mereka lebih memilih koneksi yang otentik, teman-teman yang menghargai mereka apa adanya, bukan karena "topeng sosial" yang mereka kenakan.

Tetapi, konsekuensi dari pilihan ini adalah kesendirian yang tidak bisa dihindari. Realisme sering kali terasa sepi karena sedikit orang yang benar-benar bisa menerima kejujuran, terlebih dalam konteks sosial yang sering kali dipenuhi tuntutan untuk "menjadi sempurna."

Mengapa Orang Takut pada Keaslian?

Berdasarkan pengamatan, salah satu alasan utama orang menghindari individu yang realistis adalah ketakutan terhadap refleksi diri. Kejujuran seseorang sering kali menjadi cermin bagi orang lain untuk melihat kekurangan mereka sendiri. Bukannya menerima cermin itu, kebanyakan orang lebih memilih menjauh.  

Selain itu, realisme sering kali disalahartikan sebagai "kasar" atau "tidak sopan." Padahal, menjadi realistis tidak selalu berarti berkata tanpa filter, ini lebih tentang keberanian untuk menunjukkan apa yang sebenarnya kita pikirkan atau rasakan, tanpa khawatir akan penilaian orang lain.  

Kualitas atau Kuantitas?

Ketika dihadapkan pada pilihan antara memiliki banyak teman namun dangkal atau memiliki sedikit teman namun bermakna, sebagian besar orang tetap memilih yang pertama. Lingkaran sosial yang luas sering kali dianggap sebagai indikator kesuksesan sosial, bahkan kebahagiaan.

Namun, kualitas hubungan jarang menjadi perhatian utama. Ini terlihat dari bagaimana sebagian besar interaksi modern berlangsung: di media sosial, di mana jumlah "likes" atau "followers" menjadi ukuran populer. Di dunia ini, menjadi fake adalah strategi yang terbukti "efektif."

Di sisi lain, mereka yang memilih kualitas sering kali tidak terlihat. Lingkaran pertemanan mereka kecil, interaksi mereka jarang, tetapi hubungan yang ada penuh makna. Sayangnya, dunia tidak selalu memberikan penghargaan kepada mereka yang memilih jalan ini.

Belajar dari Realitas Ini

Intinya, pilihan ada di tangan masing-masing individu. Mau tetap menjadi fake demi diterima banyak orang, atau menjadi realistis dengan konsekuensi memiliki sedikit teman?  

Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa kedua pilihan ini memiliki harga yang harus dibayar. Menjadi fake mungkin membuat hidup terasa lebih ringan di permukaan, tetapi itu bisa membuat seseorang kehilangan identitas sejatinya. Sementara itu, menjadi realistis mungkin terasa lebih berat dan menyakitkan, tetapi itu adalah jalan menuju keaslian dan kebahagiaan yang lebih tulus.  

Dalam hidup, sering kali bukan jumlah yang penting, tetapi kualitas. Apakah teman-teman kita benar-benar ada saat kita butuh? Apakah mereka mengenal kita apa adanya? Atau mereka hanya hadir di saat semuanya tampak baik-baik saja?  

Realitas sosial ini mungkin tidak akan pernah berubah. Dunia akan terus menghargai kepalsuan karena itu membuat segalanya tampak lebih indah, lebih rapi. Tetapi, itu tidak berarti kita harus ikut-ikutan.

Memilih menjadi realistis memang sulit. Keheningan dan kesepian sering kali menjadi teman setia di jalan ini. Ada keindahan di dalamnya keindahan menemukan siapa kita sebenarnya dan siapa yang benar-benar peduli.

Hidup ini bukan tentang seberapa luas lingkaran sosial kita, melainkan tentang seberapa dalam hubungan yang kita miliki. Pada akhirnya, kejujuran mungkin tidak selalu diterima, tetapi itu akan selalu berarti.

Pena Naar, Belajar Mencoret...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun