Pernahkah kamu merasakan 'jatuh cinta'? Mungkin sebagian besar yang membaca ini merasakannya, setidaknya satu kali dalam hidup. Entah mengapa, jatuh cinta seringkali mendorong kita melakukan hal-hal yang di mata logika terlihat "bodoh": ngodein orang yang kita suka, ngelove-in story Instagram-nya, bahkan mencuri-curi perhatian (caper) dengan cara yang tidak biasa kita lakukan.
Jika kamu sendiri belum mengalaminya, coba perhatikan orang-orang di sekitarmu. Teman yang biasanya cuek, tiba-tiba bisa sangat caper kepada orang yang disukainya. Atau, mereka kerap mengeluarkan komentar spontan seperti, "Kok gw semakin kecintaan ya sama dia?" atau "Dia kok bisa ganteng banget sih?" Namun, fenomena ini bukan terjadi tanpa alasan. Selama 30 tahun terakhir, sains telah memberikan penjelasan menarik di baliknya.
Kunci utamanya terletak pada bagian otak bernama Ventral Tegmental Area (VTA). Bagian ini berfungsi sebagai pabrik penghasil dopamin, sebuah neurotransmiter yang memainkan peran krusial dalam sistem reward atau hadiah di otak. VTA biasanya aktif ketika kita mengalami hal-hal yang menyenangkan, seperti menikmati makanan favorit (seblak, batagor, atau mie ayam). Namun, tidak hanya itu, VTA juga sangat responsif terhadap rangsangan sosial, seperti mendengarkan musik, dipuji, atau yang paling kuat saat berinteraksi dengan orang yang kita sukai.
Aktivitas VTA inilah yang kemudian memotivasi kita untuk terus mengejar dan memperhatikan sang pujaan hati. Setiap tindakan yang kita anggap sebagai "hadiah" mulai dari mengirim hadiah, mengobrol, memberi like pada postingannya, hingga berusaha caper akan memicu pelepasan dopamin. Rasa senang inilah yang membuat kita ketagihan dan ingin mengulanginya terus-menerus.
Di sinilah letak "kebodohan" itu mulai muncul. Saat jatuh cinta, aktivitas VTA menjadi sangat dominan. Akibatnya, bagian otak lain yang bertanggung jawab atas pemikiran rasional dan pengambilan keputusan seperti prefrontal cortex fungsinya sedikit tergeser. Penurunan aktivitas di area rasional inilah yang menyebabkan kita seakan-akan "kehilangan akal sehat".
Dalam kondisi ini, kita cenderung hanya melihat segala sesuatu melalui sisi positifnya saja. Kita memfokuskan perhatian pada sisi positif dari orang yang kita sukai dan secara tidak sadar mengabaikan atau merasionalisasi sisi negatifnya. Inilah yang dalam psikologi sering disebut sebagai positive illusion, dan dalam budaya populer kita mengenalnya dengan istilah "cinta itu buta". Otak kita, secara harfiah, sedang "dibajak" oleh sistem reward-nya sendiri.
Menurut Tarlac (2012) dalam penelitiannya yang berjudul "The Brain in Love", keadaan "jatuh cinta" ternyata memiliki kemiripan yang signifikan dengan keadaan kecanduan (addiction). Dorongan untuk terus-menerus memikirkan dan mendekati objek cinta digambarkan sebagai sebuah motivasi yang didorong oleh kebutuhan akan reward (dopamine), persis seperti cara seseorang mencari substansi yang membuatnya kecanduan.
Kebodohan saat jatuh cinta, oleh karena itu, bukan sekadar kiasan. Ini adalah konsekuensi nyata dari perubahan keseimbangan kimiawi dan neurologis di dalam otak. Kita menjadi lebih impulsif, lebih berani mengambil risiko (seperti mengungkapkan perasaan padahal peluang ditolak tinggi), dan lebih toleran terhadap hal-hal yang dalam keadaan normal mungkin akan kita hindari.
Dengan demikian, "kebodohan" saat jatuh cinta adalah konsekuensi nyata dari perubahan neurologis, di mana sistem reward (VTA) mendominasi pusat logika (prefrontal cortex). Hal ini membuat kita lebih mudah terdorong emosi daripada pertimbangan rasional. Namun, penting untuk ditekatakan bahwa fase ini bukanlah kelemahan, melainkan bukti alamiah dari cara kerja otak manusia. justru dengan memahami mekanisme ini, kita diajak untuk tidak larut dalam gejolak emosi semata, tetapi belajar membangun keseimbangan antara hati dan pikiran.
REFERENSI: