Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sesat Pikir Genetis dan Contoh-contoh Konkretnya [di Kompasiana]

1 Mei 2014   09:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:59 2268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam postingan terdahulu, rekan Kompasianer Nino Histilarudin mengajukan pertanyaan mengenai genetic fallacy. Saya pikir rekan Nino Histilarudin perlu mendapat apresiasi. Orang sering langsung mengambil posisi oposisi pada saat tidak memahami sesuatu hal. Padahal, seharusnya jika tidak atau kurang memahami sesuatu hal, yang dilakukan adalah bertanya.

Saya sendiri, dalam sejumlah komentar di lapak para Kompasianers yang lain, termasuk juga dalam beberapa tulisan, sudah menyebutkan mengenai sesat pikir ini.

Di sini, saya akan membahas tentang sesat pikir ini, sambil mengakhirinya dengan beberapa contoh-contoh nyata yang mungkin bisa menolong memberikan gambaran yang lebih konkret.

Harap contoh-contoh itu tidak dilihat sebagai serangan personal. Ada argumen-argumen logis di sana nanti. Namun saya perlu menggarisbawahi hal ini karena saya melihat kecenderungan di mana orang cenderung bersembunyi di kanal Fiksiana untuk “menghantam” orang lain. Termasuk bersembunyi di balik puisi-puisi untuk menghantam Jokowi. Orang seperti ini mungkin adalah pengecut yang bersembunyi di balik kata-kata bersayap. Saya tidak suka begitu. Saya lebih suka yang jelas, spesifik, dan to the point.

Memahami Sesat Pikir Genetis

Untuk memahami tentang sesat pikir genetis, kita harus mengingat bahwa setiap premis (alasan-alasan) haruslah premis-premis yang relevan dengan isu atau topik yang sedang dibahas. Jika tidak, maka kita sedang mengajukan premis-premis yang tidak relevan (irrelevant premises).

Sesat pikir genetis merupakan bagian dari sesat pikir yang lebih luas cakupannya yaitu fallacies of irrelevant premise, yaitu sejumlah sesat pikir yang terjadi ketika seseorang mengajukan sebuah premis yang tidak relevan dengan isu atau topik yang sedang dibahas.

Ia merupakan bagian dari fallacies of irrelevant premise karena sesat pikir ini terjadi ketika seseorang mengajukan sebuah premis atau klaim yang semata-mata memperlihatkan “asal-usul” atau “sumber” atau “latar belakang” suatu hal tanpa relevansi yang jelas dengan isu atau pokok yang sedang dibahas.

Mengemukakan “asal-usul”, “sumber”, “latar belakang” suatu hal tidak serta merta berarti bahwa kita melakukan sesat pikir genetis. Itu baru merupakan sesat pikir genetis, jika “asal-usul” yang kita ajukan itu tidak relevan untuk menolak atau menerima topik atau isu yang sedang disorot.

Contoh-contoh

Sekarang saya akan memberikan tiga contoh disertai argumen mengapa contoh-contoh itu harus dianggap mengidap sesat pikir genetis. Dua contoh pertama berasal dari pengamatan saya terhadap tulisan-tulisan di Kompasiana, dan contoh terakhir berasal dari pengamatan saya terhadap tulisan-tulisan di dunia maya secara umum.

Contoh 1: Dalam sebuah tulisan yang di-TA kemudian di-HL oleh Admins baru-baru ini, Kompasianer Ira Oemar berargumentasi bahwa democrazy membawa anak-anak Atut ke Senayan karena Atut adalah koruptor. Dan ini dilihat oleh Ira Oemar sebagai sebuah ironi.

Premis di atas adalah sebuah genetic fallacy karena titik berat premis ini ada pada kesalahan Atut (“asal-usulnya”), padahal untuk menilai demokrasi itu sebagai democrazy yang ironis dalam konteks spesifik ini, Ira Oemar harus memperlihatkan bahwa yang melakukan kesalahan itu adalah anak-anak Atut. Dan ingat, untuk memperlihatkan kesalahan ini diperlukan pembuktian bukan sekadar menyatakan “dikabarkan”; “katanya”; “diduga”; dll.

Tidak dibenarkan untuk melihat terpilihnya anak-anak Atut sebagai sebuah ironi semata-mata dengan menonjolkan kesalahan Atut sebagai orangtua mereka. Jadi, Ira Oemar mengajukan sebuah premis yang tidak relevan dengan isu atau topik yang hendak ditonjolkannya, yaitu ironi proses demokrasi yang berlangsung baru-baru ini. Dengan kata lain, Ira Oemar menonjolkan sebuah ironi palsu dan mempresentasikannya seakan-akan itu ironi yang nyata. Ini tidak lebih dari sebuah penggiringan opini publik berdasarkan premis fallacious, yaitu mengenai anak-anak Atut.

Sebagai catatan, saya tidak menyatakan bahwa anak-anak Atut pasti tidak bersalah. Diperlukan waktu untuk membuktikan, jika memang benar mereka bersalah. Tetapi, untuk saat ini, kita tidak dibenarkan menggiring opini publik untuk menjatuhkan vonis ketika itu hanya dilakukan berdasarkan asumsi semata.

Contoh 2:Contoh ini berasal dari tulisan Kompasianer Teguh Suprayogi beberapa bulan lalu ketika terjadi kehebohan akibat Ahok menggunakan kata “bajingan” untuk menyebut para remaja yang melakukan pembajakan bis kota. Teguh Suprayogi menulis: “Jadi kalau sekarang ini ramai meributkan kata-kata bajingandari Ahok, jelas semua yang pro dan kontra secara tidak langsung mempermasalahkan salahsatu profesi yang cukup baik serta halal, Bajingan!” (baca di sini).

Klaim di atas sangat terang benderang adalah sesat pikir genetis, karena perihal kata “bajingan” digunakan dalam pengertian sebuah profesi yang halal dalam satu konteks tertentu, itu TIDAK RELEVAN dengan konteks penggunaannya oleh Ahok yang menggunakannya sebagai “makian”. Jika alur logikanya dirunut berdasarkan argumen Suprayogi dalam konteks penggunaannya oleh Ahok, maka akan terlihat absurditasnya dalam bentuk rekonstruksi imajinatif berikut ini:


Anak-anak Remaja: “Kami membajak bus kota dengan celurit”

Ahok:Good job, Boys” (perhatikan argumen Suprayogi di atas bahwa kata “bajingan” adalah profesi yang halal)

Benar-benar sangat absurd! Dalam konteks studi lingusitik, argumen seperti di atas juga merupakan kesalahan etimologis (etimological fallacy) seperti yang telah saya bahas dalam sebuah tulisan tersendiri di sini.

Contoh 3: Saya sering menemukan klaim berikut ini di dunia maya: “Jokowi harus ditolak menjadi Presiden karena Jokowi penganut Syiah”.

Ini juga adalah sesat pikir genetis, karena:

a) Kami yang non-Islam tidak ada urusan dengan perbedaan tafsir yang melahirkan aliran-aliran tertentu dalam Islam. Silakan berkelahi di dalam rumah tangga masing-masing, jangan bawa-bawa ke urusan Negara;

b) Jokowi mencalonkan diri sebagai Pemimpin Negara, bukan Pemimpin Agama, harap masih ada nalar yang bercokol dalam batok kepala untuk bisa membedakan ini baik-baik;

c) Kualifikasi-kualifikasi untuk menjadi Presiden ada pada Jokowi, dan sayangnya adalah tidak ada syarat seseorang menjadi Presiden NKRI harus bukan dari golongan Syiah – entah keharusan ini berasal dari planet mana?; dan

d) Aliran keagamaan yang dianut Jokowi itu sendiri tidak mutually exclusive dengan pilar-pilar kebangsaan juga tidak relevan dengan tugasnya sebagai Presiden jika terpilih.

Dengan kata lain, menjadikan aliran keagamaan yang dianut Jokowi sebagai alasan menolak Jokowi, merupakan pengajuan premis yang tidak relevan!

Tidak Relevan Bukan Berarti Tidak Berguna

Perhatikan bahwa ketika orang melakukan sesat pikir genetis, sebenarnya ia sedang mempresentasikan premis-premis yang tidak relevan dengan isu atau topik yang sedang dibahas.

Tetapi, tidak relevan dalam konteks berargumen, bukan berarti tidak berguna untuk diketahui. Misalnya, Kompasianer Teguh Suprayogi dalam artikelnya memberikan uraian yang berguna mengenai makna penggunaan kata “bajingan” sebagai sebuah profesi. Tetapi “berguna” dalam konteks uraiannya, “tidak relevan” dalam konteks isu yang hendak disorotnya yaitu penggunaan kata “bajingan” oleh Ahok.

Juga, misalnya orang bisa memberikan uraian yang menarik dan bermanfaat mengenai “aliran Syiah” yang dianut Jokowi. Tetapi itu tidak relevan dengan isu yang hendak disorot yaitu Pencapresan Jokowi. Itu hanya menjadi relevan jika dan hanya jika aliran yang dianut Jokowi bertentangan dengan pilar-pilar kebangsaan. Misalnya orang-orang dari golongan HTI dan FPI yang jelas-jelas menyatakan diri memperjuangkan penerapan syariat Islam di Indonesia. Orang-orang dari kelompok ini harus ditolak karena mereka mengusung sebuah ideologi yang mutually exclusive dengan pilar-pilar kebangsaan (saya sudah pernah membahasnya di sini).

Juga misalnya Ira Oemar memberikan sentilan yang berguna mengenai kondisi demokrasi di Indonesia secara umum, walau secara spesifik ia memperlihatkannya dengan premis yang sesat pikir.

Intinya, orang melakukan sesat pikir genetis tatkala ia sekadar mempresentasikan “asal-usul” atau “sumber” atau “latar belakang” dari suatu hal tanpa memperlihatkan secara meyakinkan bahwa itu relevan dengan isu atau topik yang sedang disorotnya. Ia dapat saja mengajukan premis yang berguna dan informatif untuk diketahui, namun tidak relevan dengan isu yang dibahas, maka premisnya tidak dapat dianggap sebagai premis yang benar dalam konteks argumennya.

Selamat Pagi; Salam Kompasiana!


Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun