Mohon tunggu...
Nara
Nara Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pendiam dan lebih suka berkomunikasi lewat tulisan. Instruktur di PPPPTK bidang otomotif dan elektronika Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kisah dari Korban KDRT 3: Selalu Berharap Bapak Segera Mati

9 Mei 2011   03:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:56 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin engkau akan menjuluki aku ini anak durhaka setelah membaca judul tulisan ini. Aku terima saja kau bilang aku anak durhaka. Aku toh tak akan terpengaruh dengan apa dan bagaimana pendapatmu tentang diriku. Ini aku. Ini hidupku. Dan aku punya cukup alasan untuk berharap bapak segera mati.

Yah, harapan pertama dalam hidupku adalah bapak segera mati. Jika bapak menaiki sepeda motornya untuk berangkat kerja, aku berharap bapak mengalami kecelakaan lalu jiwanya tak tertolong lagi. Agar tak ada lagi yang membuatku selalu merasa ketakutan bila berada di rumah. Agar tak ada lagi orang yang membentak dan memukul ibu. Agar teman-temanku mau main kerumahku tanpa takut ada yang memarahi. Pendeknya agar aku nyaman menjalani kehidupanku.

Namun harapan ini tak pernah terwujud. Sampai sekarang bapak masih sehat dan baik-baik saja. Badannya memang semakin renta dengan bertambahnya usia, namun masih saja tetap galak. Masih tetap tak boleh dibantah apa yang menjadi kemauan dan perintahnya. Sekali bilang A, maka kami harus melaksanakan A. Walau kami tahu A itu salah, tapi tak ada kesempatan menyatakan pendapat, apalagi untuk berdiskusi. Tak pernah ada diskusi. Keputusan apapun semua ada ditangan bapak, dan kami harus menurutinya.

Maka aku beralih ke harapan kedua. Harapan keduaku adalah, aku ingin menikah dengan orang jauh. Orang luar pulau, bahkan luar negeri. Tujuannya adalah agar tak ada 'kewajiban' bagiku untuk pulang kampung dan bertemu dengan bapak. Aku ingin membawa serta ibu untuk ikut denganku. Pergi sejauh-jauhnya dari bapak. Bahkan kalau perlu tak pernah pulang. Agar hidupku dan hidup ibuku tenang. Aku tak mau sampai masa tuanya ibuku.

Akhirnya aku memang menikah dengan orang luar pulau.Meski dengan perjuangan yang berat karena aku harus menguatkan keberanian untuk melawan bapak. Nantilah, kapan-kapan akan kuceritakan bagaimana perjuanganku untuk dapat menikah.

Suami tahu kisah hidupku, dia setuju untuk membawa ibu ikut dirumah kami. Namun ibu tak mau kuajak serta. "Kasihan bapakmu kalau ditinggal sendiri" itulah alasan ibu. Aku tak habis pikir, bagaimana ibu bisa bilang kasihan, sementara aku tahu bahwa hidup ibu tertekan. Mungkin inilah yang disebut cinta.

Kisah sebelumnya ada disini :

Bagian 1 : Selalu ketakutan bila berada di rumah

Bagian 2 :  Ibu serabutan mencari nafkah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun