Saat membicarakan permasalahan Pancasila, tantu saja tidak pernah lepas dari dasar-dasar kehidupan manusia. Seperti yang kita tahu saat ini dengan adanya dinamika globalisasi yang terus menghadirkan setiap tatanan baru yang lebih terbuka akan informasi dan modernisasi nya. Disinilah berbagai upaya penerapan Pancasila dalam diri yang seharusnya dikenali lebih jauh lagi. Berbagai pengaruh baik eksternal maupun internal yang terus bermunculan karena kurangnya memahami setiap nilai-nilai pada Pancasila. Maka dari itu sangat diperlukan peran serta dari setiap komponen bangsa dalam memelihara sikap nasionalisme dan kesadaran bela negara dengan berpegang teguh pada Pancasila.
Setiap manusia pasti memiliki kepentingannya masing-masing baik secara perorangan atau kelompok yang akan dipenuhi. Dengan adanya globalisai yang semakin canggih tidak hanya memberikan nilai postif bagi kehidupan manusia, tetapi tidak lepas juga dari pengaruh negatif yang dibawanya dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Tentu saja bangsa Indonesia tidak dapat menghindari dinamika modernisasi dari berbagai ancaman dan tantangan yang akan dihadapi.
Sangat banyak ditemukan beberapa kasus di era modernisasi seperti sekarang ini yang mayoritas mengalami kemajuan yang terus-menerus mengalami peningkatan yang semakin pesat dan juga serba canggih. Munculnya penguatan dari proses globalisai, merupakan konsep perubahan (change) yang telah menyentuh semua lapisan aspek kehidupan manusia, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Akibat dari globalisai yang sering ditemukan terdapat pada ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mengakibatkan batas negara secara ekonomi dan sosial budaya menjadi kacau dan samar. Sangat mustahil kita dapat melakukan fitrasi atau menyaring segala bentuk pengaruh budaya melalui produk iptek. Bahkan perlahan budaya asli Indonesia sudah mulai terlupakan, tidak jarang pula bangsa Indonesia kaum mudanya lebih memilih kebudayaan baru yang dinilainya lebih modern dibandingkan dengan budaya lokal.
Saat ini telah timbul beberapa persoalan yang mencerminkan krisis identitas bangsa seperti, Pertama, menurunnya penghayatan terhadap nilai--nilai Pancasila. Nilai-nilai tradisional masyarakat yang tumbuh sejak ratusan tahun lalu seperti gotong royong dan hidup berdampingan secara damai, belakangan ini tampaknya tidak lagi bersinar cerah. Berbagai perubahan sosial dan perilaku buruk di kalangan warga masyarakat pun semakin mencemaskan. Sangat banyak ditemui orang lebih sibuk dengan layar ponselnya setiap saat.
Terutama pada anak-anak yang berkurangnya sosialisasi dengan dunia luarnya dan lebih memilih fasilitas yang sudah disediakan di handphone mereka. Bahkan mereka lebih dekat dengan pertemanan pada media virtual dibandingkan dengan sekitarnya. Seakan menjauhkan yang dekat lalu mendekatkan yang jauh. Bahkan tidak sedikit ditemukan lontaran bahasa yang sering digunakan anak muda zaman sekarang begitu toxic, dengan mudahnya mereka mengikuti perilaku atau tindakan yang seharusnya tidak pantas untuk di contoh, malah mereka lakukan.
Kedua, Euforia demokrasi yang kebablasan. Dalih "Demokrasi" telah membawa berbagai tindakan yang justru menimbulkan keresahan, unjuk rasa kerap diwarnai perusakan berbagai fasilitas publik, aksi brutal main hakim sendiri hingga konflik yang menimbulkan korban jiwa sering kita saksikan di berbagai media massa. Keamanan, ketertiban dan kepatuhan terhadap rambu-rambu hukum pun menjadi terancam.
Di Indonesia sendiri Pancasila menggunakan sistem demokrasi bukan liberal dan sosialis. Namun, belakangan ini banyak tersebar perbuatan tidak pantas dari seorang remaja yang belum memiliki hubungan pernikahan yang sah, sudah melakukan hubungan terlarang. Tidak Cuma itu mereka berani mengirim video yang sangat tidak pantas dilihat oleh publik dan menjadi tersebar luas begitu cepat. Bahkan mereka menganggap hal itu sah-sah saja jika dilakukan. Mereka melihat bangsa Asing melakukan perilaku seperti itu sudah biasa, yang kemudian mereka bisa lakukan dengan seenaknya di negara Indonesia ini.
Tatkala bangsa kita masih menganggap mayoritas adalah prioritas, penghormatan terhadap keberagaman itu sendiri takkan pernah terjadi. Seringkali pula masih ditemukan adanya kecurigaan atau kesinisan dari kelompok yang sudah lebih dulu tinggal dan menetap terhadap pendatang. Bahkan banyak juga jika di dalam suatu masyarakat ditanyai mengenai isi dari sila-sila Pancasila, mereka mengatakan tidak tahu atau lupa dengan isi keseluruhannya.
Era global tidak saja membawa letupan-letupan konflik akibat ekses budaya, tapi dilatarbelakangi pula pada distribusi ekonomi yang tidak merata. Kesenjangan antar-kelompok masyarakat dalam bidang ekonomi, pendapatan per kapita, kesempatan memperoleh pendidikan, perbedaan dalam mengakses fasilitas pemerintah, telah memicu kecemburuan sosial. Persoalan-persoalan tersebut menimbulkan prasangka atau kontroversi hingga berakhir dengan konflik yang berbuah kekerasan.
Masyarakat Indonesia, secara perlahan berubah menjadi masyarakat konsumen dari arus barang-barang produksi dari negara-negara kapitalis, yang lazim dibeli secara kredit, bergaya hidup mewah yang penuh akan atribut konsumtif dan hedonis. Impian akan tercapainya masyarakat yang adil dan makmur seakan punah di tengah sebagian masyarakat yang dilanda utang di counter HP, developer perumahan, showroom motor dan mobil, toko elektronik,dan sebagainya.