Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Tak Terduga

4 Maret 2021   09:43 Diperbarui: 4 Maret 2021   09:47 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Selama ini orang hanya melihatku sebagai lajang dengan sekian aset. Lajang wanita di negeri patriarki. Bayangkan. Teror sampai dugaan percobaan pemiskinan sudah kualami. Teror mental bukan hanya dari pria-pria pengidap psikopat yang antipenolakan, mereka yang hanya ingin memanfaatkan tanpa mau bekerja keras,  tapi  adakalanya kaum wanita pun ikut-ikutan memperparah derita sesama, ikut melemahkan semangat hidupku. Andaikan aku bukan kutubuku, apa yang terjadi? Kecuali aku pindah ke kota besar. Mungkin teror tidak separah yang kualami saat ini...

"Betul. Selama ini yang kami lihat dan rasakan, betapa sombongnya Kamu karena tidak segera memilih lelaki sebagai suami. Seperti umumnya tradisi patriarki yang mengarahkan wanita harus memilih suami dengan tingkat kemapanan lebih tinggi, hal itulah yang kami kira melintasi angan-anganmu. Prasangka yang tidak jarang menyulut kebencian serta prasangka, jangan-jangan Kamu akan menyabot suami-suami kami yang lebih mapan darimu? Prasangka buruk yang membuat tingkat kegeraman kami semakin memuncak mencengkeram ubun-ubun...

"Prasangka yang belum tentu benar. Ketika aku yang merasa risih karena prasangka buruk Kalian terdeteksi olehku, lalu kucoba menjelaskan bahwa aku bukan tipe seperti dugaan itu, aneka sindiran dengan mengutip pendapat tokoh terkemuka pun disebar.  Misalnya jangan menjelaskan siapa dirimu. Orang yang tidak suka akan terus tidak suka dan sebagainya tanpa mau tahu betapa risih batinku dibebani prasangka seburuk itu dari mereka."

Ia termenung lama menyadari statusnya yang kini janda. Beban berat yang melintasi belum lagi reda. Beban tentang pengambilalihan pembayaran aneka rekening, pengelolaan aset, sampai urusan utang piutang yang selama ini ditangani suaminya. Kini harus bertambah lagi dengan aneka prasangka buruk yang bakal dibebankan orang kepadanya sebagai janda. Kepalanya serasa berputar. Ia pun menangis lunglai di bahu Marty.

"Ceritakan suka dukamu berkaitan dengan pengelolaan aset...

"Misalnya awal membeli perumahan dengan promo uang muka nanti bisa dipotong dana bapertarum untuk PNS. Ternyata dana tersebut tidak dikembalikan setelah izin pengambilan ia berikan. Ulah developer atau pekerja? Tidak jelas. Tiba-tiba ada info diminta membayar kelebihan tanah karena mereka salah ukur. Memang sih, tanah menjadi lebih luas tapi itu kan di luar iklan? Lagipula tanah itu pun mahal. Begitu rumah dikontrakkan, ada pengontrak yang tidak merawat hunian dan menyalahi perjanjian...

"Itu salahmu. Kan harusnya ada uang deposit satu atau dua juta yang akan dikembalikan jika ia keluar tanpa ada kerusakan dan kehilangan barang."

"Benar sih. Saat itu aku hanya merasa tidak ada tenaga tersisa untuk tiap minggu menengok rumah. Maka, segera kukontrakkan tanpa syarat minimal harus dua tahun seperti umumnya, dengan harapan saling mengerti. Tolong dijaga toh ditempati. Ternyata tidak mau mengerti, malah ada beberapa kerusakan, beberapa barang hilang, dan pecah belah di lemari pun diembat tanpa sisa...

"Tidak diminta?"

"Biar saja.  Harapku di sela kepedihan hanyalah semoga kelak bola kasti akan kembali menampar mukanya. Aku seolah tak ada energi untuk itu. Itulah, mengapa aku menangisi Kamu? Karena belum tentu Kamu kuat menangani sendirian tanpa suami jika tidak terbiasa. Orang tidak akan peduli betapa untuk memiliki semua itu kita berhemat. Saat kita betah melajang, mereka tidak peduli risiko yang kita ambil untuk itu, misalnya harus sendirian ke mana pun kita melangkah. Adakalanya memanjat atap untuk menengok posisi kebocoran saat hujan, mengganti bohlam yang putus karena harus segera digunakan, harus segera membayar aneka rekening, harus ke bengkel jika mobil ada kerewelan, dan masih banyak lagi. Mereka hanya melihat kita lajang sombong  dengan sekian kepemilikan tanpa mau tahu betapa sulit pendakian untuk itu."

Ia kembali termenung dan berharap semoga ia kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun