Ada guratan-guratan mengusik batin, menimbulkan rasa tak nyaman, berkembang menjadi perasaan berdosa. Begitu selalu yang kurasakan setiap pulang kantor. Setiap menapaki teras rumahku, terlebih tatkala buah hatiku riang bercanda dengan ayahnya.
Begitu pula sore ini saat aku berkendara dengan kecepatan sedang, tiba- tiba saja wajah suamiku melintas. Tuhan, semoga ia tidak merasakan error sesaat yang bergolak di hatiku. Aku berharap ini hanyalah gangguan sesaat semacam rainbow bars pada saat ada gangguan siaran TV. Gangguan yang akan mereda karena teknisi segera melakukan pengaturan untuk mengembalikan sinyal kepada gelombang yang tepat.
"Perasaan itu bisa dipupus. Bisa dilenyapkan. Jangan diikuti," terngiang saranku pada teman sekantorku, Vieta. Ia mengaku sedang jatuh cinta pada suami orang ketika ada konflik dalam rumah tangganya. Tatkala Vieta sulit diingatkan, rasa kesal kepadanya yang kuanggap sangat lemah terhadap rayuan lawan jenis, seakan melekat dan lambat tapi pasti, berubah menjadi kebencian.
Tapi kini, mengapa aku mengalami hal serupa, padahal rumah tanggaku tidak ada konflik? Â Mengapa perasaan itu sulit terhapus? Vieta, maafkan aku, keluhku dalam hati ketika mobilku sudah mulai memasuki gang rumahku. Anakku berlari membukakan pintu pagar. Â
Seperti umumnya anak lelaki saat sudah memasuki usia bermain berlanjut ke masa remaja dan seterusnya, setelah membukakan pagar, ia pun tak acuh  dan kembali sibuk dengan laptopnya. Perilaku yang berlawanan dengan masa kecilnya dulu yang selalu memelukku saat aku pulang kantor.
      "Ayah sudah pulang?" tanyaku.
      "Sudah. Di belakang," sahutnya tanpa mengangkat wajah dari laptop di depannya.
Aku pun bergegas menengok kesibukannya di belakang. Ia sedang membenahi sepeda anginku yang rantainya lepas. Setiap minggu pagi kami memang bersepeda bersama dengan beberapa warga RT.
Tanpa menunggu ia menoleh ke arahku, aku masuk ke kamar untuk  berganti baju. Baju seragam kerja segera kuganti dan kugantung di kapstok,kemudian kupakai daster yang membuat tubuhku tampak sexy kurasa.Â
Akan tetapi, mana pernah suamiku mengatakan hal itu? Bisa jadi kekaguman akan kecantikanku telah dirasanya cukup dengan setia kepadaku dalam usia pernikahan menginjak angka 26 tahun. Masa yang cukup lama. Waktu pun berjalan dengan cepat tapi pasti, melambungkanku ke puncak bahagia bahkan bangga, bahwa cinta kami tak tergoyahkan.
Hingga suatu ketika, dalam acara pentas seni di kampus anakku, aku menemaninya tanpa suamiku, terdengar seseorang menegurku.