Kadang negeri ini tak butuh penyihir untuk mengalihkan perhatian publik---cukup lempar satu isu agama, maka semua kompas emosi rakyat langsung berputar. Dalam beberapa tahun terakhir, pola itu berulang. Dari kasus Ahok yang membelah Jakarta pada 2016, kepulangan Rizieq Shihab di masa pandemi 2020, hingga polemik tayangan Trans7 yang memantik kemarahan santri pada 2025 ini. Di setiap momentum semacam itu, headline korupsi, kebijakan publik, atau laporan BUMN tiba-tiba surut dari layar utama. Isu moral selalu lebih laku dijual daripada laporan audit. Tapi menyebutnya sebagai konspirasi besar mungkin terlalu berlebihan---karena di republik ini, kadang cukup satu percikan religius untuk membakar logika seluruh bangsa.
Padahal, yang semestinya kita rawat justru kemampuan membedakan antara perkara besar dan perkara kecil; antara api yang membakar rumah dan percikan yang cuma menghanguskan kertas. Isu-isu yang menyangkut kepentingan publik yang konkret---korupsi, pelayanan publik, pendidikan, kesehatan---harusnya tetap berada di tengah panggung perhatian kita. Sebab di sanalah masa depan rakyat ditulis dan dihapus. Sementara polemik macam "tayangan kepleset" Trans7 mestinya cukup jadi jeda---sebuah momen singkat untuk menertawakan kekeliruan manusiawi, bukan untuk menenggelamkan masalah struktural yang jauh lebih mendesak.
Namun entah kenapa, kita sering betah berlama-lama di ruang jeda itu. Kita berdebat soal siapa yang tersinggung, saling menghakimi moral orang lain, lalu lupa bahwa di luar layar, uang rakyat terus berpindah tangan tanpa malu. Seolah drama moral menawarkan rasa bersih instan yang menggoda: cukup satu klik amarah, satu doa di kolom komentar, dan kita merasa telah menunaikan tanggung jawab sosial. Padahal yang sesungguhnya terjadi hanyalah distraksi berjamaah---sebuah hiburan kolektif di tengah pembusukan yang tak lagi tersembunyi.
Mungkin, sudah saatnya kita belajar menyalakan sunyi di tengah riuh. Sebab bangsa tidak runtuh oleh tayangan yang kepleset, melainkan oleh kebiasaan melupakan hal-hal penting. Kita boleh marah, boleh tersinggung, boleh merasa paling benar---asal setelah itu kita ingat kembali ke mana arah marah itu harus ditujukan. Sebab yang kita hadapi bukan sekadar salah ucap di layar kaca, melainkan salah urus di ruang kuasa. Dan jika nurani terus digiring untuk marah pada hal remeh, maka kelak kita hanya akan pandai berteriak, tapi tak lagi tahu apa yang layak diperjuangkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI