Dua tahun Pagersari kering kerontang. Orang kampung kompak menunjuk satu nama: Surya—si “pengabdi iblis” di rumah tua ujung dusun. Malam-malam dari jendelanya tampak lilin merah, di lantainya ada gambar kapur, dan di sudut ruang berdiri cermin besar tertutup kain hitam.
Lestari—jurnalis yang gemar membongkar takhayul—datang untuk menyelidik. Ia mengetuk. Surya membuka, wajah pucat, mata jernih.
“Kalau berani, masuk,” katanya.
Masuklah Lestari. Rumah bau akar terbakar. Lingkaran kapur memutih di lantai. Cermin tertutup kain hitam.
“Orang bilang kau mengabdi pada iblis,” ujar Lestari.
“Aku mengabdi pada retak,” jawab Surya pelan. “Agar yang di balik sana tidak menyelinap ke sini.”
Ia menunjuk cermin. “Kalau ditutup rapat, desa selamat. Kalau bocor, kalian menyebutnya sial, kutuk, atau musim kering.”
“Boleh kulihat?” tanya Lestari.
“Boleh. Tapi jangan berbicara pada bayanganmu. Dan kalau ia tersenyum, jangan balas.”
Surya mengangkat kain. Cermin memantulkan ruangan itu juga—menit pertama biasa saja. Lalu, halus sekali, bayangan Lestari di cermin menggeleng, padahal Lestari berdiri diam. Bibir bayangan itu naik setengah, senyum miring, seperti tahu sesuatu.
“Cukup,” kata Surya cepat, menutup kain.