Beberapa waktu lalu, publik kembali ramai membicarakan hukuman cambuk di Aceh. Dua mahasiswa dijatuhi 80 kali cambuk karena dianggap melanggar Qanun Jinayat akibat berpelukan dan berciuman di tempat sepi. Hukuman ini memunculkan dua kubu pendapat, yakni ada yang menilai ini sebagai bentuk konsistensi penerapan hukum Islam di Aceh, namun ada pula yang menganggapnya bertentangan dengan hak asasi manusia.
Di balik perdebatan itu, muncul pertanyaan yang lebih mendasar yaitu di mana sebenarnya kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia, dan mengapa Aceh memiliki kewenangan khusus untuk menerapkannya?
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional
Indonesia secara konstitusional adalah negara hukum (rechtsstaat) yang berlandaskan Pancasila. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa seluruh penyelenggaraan negara harus berdasar hukum. Namun, bentuk hukum yang berlaku tidak tunggal Indonesia mengenal pluralisme hukum, yaitu keberlakuan hukum nasional, hukum adat, dan hukum agama yang diakomodasi melalui peraturan perundang-undangan. Hukum Islam di Indonesia tidak berdiri sendiri, melainkan diintegrasikan dalam sistem hukum nasional melalui undang-undang. Contoh penerapan hukum Islam di tingkat nasional antara lain:
- UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (mengatur perkawinan menurut agama, termasuk Islam).
- UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
- UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
- UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Aceh sebagai Daerah Istimewa
Aceh memiliki status daerah otonomi khusus berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang lahir dari kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005. UU ini memberi kewenangan luas bagi Aceh untuk mengatur urusan internal, termasuk penerapan hukum Islam secara menyeluruh. Kewenangan tersebut diimplementasikan melalui Qanun, yaitu peraturan daerah setingkat provinsi yang khusus berlaku di Aceh. Salah satu Qanun yang paling menonjol adalah Qanun Jinayat, yang mengatur hukum pidana Islam meliputi:
- Zina
- Khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis bukan mahram di tempat sepi)
- Maisir (judi)
- Khamar (minuman beralkohol)
- Liwath (homoseksual) dan Musahaqah (lesbianisme)
Sanksi yang diterapkan dapat berupa cambuk, denda emas (uqubat maliyah), atau penjara.
Kedudukan Qanun dalam Hierarki Peraturan
Secara hukum, Qanun berada di bawah undang-undang. Artinya, penerapan Qanun harus selaras dengan peraturan perundang-undangan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Namun, karena sifatnya lex specialis, Qanun dapat mengatur hal-hal yang tidak diatur secara rinci dalam hukum nasional, selama mendapat legitimasi dari UU Pemerintahan Aceh.
Penerapan hukum Islam di Aceh menghadapi sejumlah tantangan:
- Perbedaan Standar HAM. Hukuman cambuk sering menuai kritik dari lembaga HAM internasional yang menganggapnya melanggar prinsip non-derogable rights.
- Mobilitas Warga Negara. Warga non-Aceh atau wisatawan yang melanggar Qanun tetap dapat dikenakan sanksi. Hal ini menimbulkan perdebatan tentang perlakuan hukum yang adil.
- Harmonisasi Hukum. Potensi tumpang tindih antara hukum pidana nasional (KUHP) dan Qanun Jinayat memerlukan koordinasi aparat penegak hukum agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kedudukan hukum Islam di Indonesia berada dalam kerangka negara hukum Pancasila yang plural. Aceh menjadi contoh paling nyata penerapan hukum Islam secara formal dan menyeluruh, berkat status istimewanya. Namun, penerapan tersebut tetap berada di bawah payung hukum nasional dan harus selaras dengan prinsip-prinsip konstitusi.