Mohon tunggu...
Nanang Rosidi
Nanang Rosidi Mohon Tunggu... -

Pria kelahiran Indramayu 25 tahun silam ini sehari-hari sibuk menulis: menulis karena tuntutan pekerjaan di salah satu kementerian maupun menulis karena hobi. Pernah meng-khilaf-kan sekelompok mahasiswa sehingga terpilih menjadi Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD) Jabodetabek Periode 2014-2016.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Doa dan Ideologi

24 Januari 2017   15:43 Diperbarui: 24 Januari 2017   17:41 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duduk persoalannya adalah bahwa mimbar-mimbar jum’at itu telah dijadikan panggung untuk menyampaikan isme-isme. Oleh karena yang disampaikan adalah isme-isme maka sifatnya tidak lagi universal: ada yang terwakili, ada yang tidak. Walhasil khutbah seperti ini rentan mengundang pro dan kontra. Padahal, semestinya materi khutbah itu universal bagi umat Islam.

Doa dan Ideologi

Ketika khotib membaca doa untuk mengakhiri khutbah jum’at, seketika para jama’ah mengangkat tangan sambil mengucapkan “amiiin.” Kebanyakan dari mereka tidak peduli tentang doa apa yang sedang dipanjatkan. Mungkin karena doa disampaikan menggunakan bahasa Arab sehingga tidak semua jama’ah mengerti artinya. Kemungkinan kedua bahwa mereka meyakini bahwa doa yang dipanjatkan adalah tentang kebaikan-kebaikan universal yang menjadi harapan bagi semua orang, sehingga mereka cukup mengamini saja.

Saya sendiri mendengar doa yang dipanjatkan itu sifatnya universal. Tetapi jika saya pikir-pikir lagi, bukankah setiap kata itu beragam makna. Teringat dengan filosof Prancis, Jacques Derrida [terkenal dengan teori dekonstruksi], yang mengatakan bahwa setiap tanda selalu terkait dengan tanda-tanda lainnya. Tidak seketika berhenti pada makna. Ketika khotib berdoa: “Jadikanlah negeri kami ini negeri yang baik dan mendapat pengampunan dari-Mu” (baldatun toyyibatun wa robbun ghofur). 

Apakah yang dimaksud dengan “negeri yang baik” oleh khotib itu sama dengan apa yang saya maksud? Sudah jelas bahwa isi khutbahnya adalah formalisasi syariat menjadi hukum negara. Maka sudah jelas pula bahwa konsep sang khotib tentang “negeri yang baik” adalah negeri yang menerapkan syariat Islam. Dengan kata lain, ia berdoa agar Indonesia menerapkan syariat Islam.

Entah karena keangkuhan saya atau sekedar merayakan kebebasan berpikir, setelah sampai pada kesimpulan tersebut, akhirnya saya memilih untuk memanjatkan doa sendiri.[]


Ciputat, 26 Desember 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun