Mohon tunggu...
Nanang Ardianto
Nanang Ardianto Mohon Tunggu... Pelajar/Mahasiswa -

21 y.o | LMG | (FPK) Airlangga University '14

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mudik, Fenomena Sosial Indonesia yang Mendidik dan Menggelitik

21 Mei 2018   19:35 Diperbarui: 21 Mei 2018   21:51 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena Mudik

Tulisan ini sengaja dibuat untuk merefleksikan kondisi kita sebagai anak rantau yang selalu mengingat romantisme setiap kali pulang ke kampung halaman. Mudikmerupakan fenomena rutin sebagai bagian tidak terpisahkan dalam budaya akar rumput yang terus menjelma menjadi keharusan. Di Indonesia istilah mudik adalah hal lumrah yang menggambarkan keharmonisan antara mereka yang menginginkan perjumpaan pada sanak keluarga dan handa taulan yang sekian lama tidak saling dipertemukan.

Titik balik para pejuang di perantauan untuk saling memberi kabar pada orang-orang terkhusus di hari yang fitri kelak. Berawal dari niatan dan harapan tinggi untuk melaksanakan silaturahim secara langsung menjadi motivasi tersendiri agar mudik tersebut menjadi tuntutan meskipun tidak pernah ada paksaan. Nampaknya, mudik dapat mendorong banyak orang untuk berbondong-bondong tanpa memperhitungkan untung-rugi yang dilaluinya.

Bagaimana tidak, mudik bagi sebagian kecil dari keseluruhan pelakunya secara umum boleh jadi menjadi suatu hal langka (tidak selalu dilakukan) yang sudah pasti menguras biaya dan tenaga. Kalkulasi pengeluaran mudik dan apa keuntungan yang akan didapatkan ketika usai euforia mudik tersebut? Tentu, hal ini adalah pemikiran konyol yang tidak berlebihan jika dikaitkan dengan konsepsi masyarakat urban. Namun, realistis bukan?

Mudik dan Kebingungan

BeRbicara lebih dalam mengenai mudik tentu takkan terlepas dari inti sugesti pikiran diri sendiri mengenai makna menyambung sillaturahim. Tetapi, hingga kalimat ini muncul justru muncul kebingungan lanjutan terhadap fenomena yang ada. Akankah mudik hanya dimaknai sebagai mobilisasi massa semata?

Siapakah pelaku mudik yang paling pantas merasakan kebermanfaatan mudik? Bagaimana kondisi paling ideal yang menjadikan budaya mudik menjadi berisi kesan dan pesan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak semuanya dapat penulis berikan jawaban karena penulis yakin keluasan pemikiran tidak akan ada pembatasan pada gagasan-gagasan yang dapat kalian tafsirkan.

Baik, membahas mudik jika hanya dilihat sebatas pada unsur grudag-grudug sekumpulan manusia dalam jumlah besar, tidak akan menghasilkan apapun. Seharusnya mudik dijadikan sebagai tolak ukur berkelanjutan atas berbagai hal.

1. Pertama, mudikmu naik apa? Lewat mana? Seberapa lama? Mudik erat kaitannya dengan moda transportasi yang kalian gunakan untuk melakukan perpindahan tempat menuju suatu tujuan.

Pernahkah terlintas dalam pikiran untuk sekadar membandingkan kuantitas dan kualitas moda transportasi tiap tahunnya? Jika kalian mudik menggunakan alat transportasi komersial, misalnya: kereta, bus, pesawat, kapal, dan lainnya pasti seharusnya telah ada perkembangan daripada tahun-tahun sebelumnya.

Apakah dari beberapa pilihan tersebut sudah ada pembenahan pada kualitas pelayanan, mahal-murahnya biaya yang dikeluarkan, kuantitas masing-masing moda transportasi, hingga rencana jangka panjang atas komparasi dengan variabel tertentu sebagai tolok ukur nyata atas kondisi transportasi kita saat ini. Lalu, setelah dipilih alat transportasi apa yang kalian gunakan. Pernahkah terlintas dalam pikiran untuk sekadar membandingkan luas, panjang, dan lebar jalan nasional tiap tahunnya? Kemacetan menjadi momok biasa yang dapat dibenarkan sebagai topik lempar-lemparan berbagai pihak terkait.

Saat kita mudik kita dapat menilai perubahan pada jalan-jalan nasional hingga jalan-jalan alternatif sekalipun. Sudahkah mulus? Sudahkah memenuhi kapasitas jalan ideal? Sudahkah memanjakan pengguna jalan? Jangan-jangan jalur transportasi kita pun berbanding lurus dengan monotonnya pembenahan pada alat-alat transportasi pilihan yang penulis bahas diawal.

2. Kedua, Mudikmu kemana? Adakah kesenjangan pada lokasi awal dan akhir mudikmu? Bagaimanapun, mudik adalah suatu kegiatan yang bergerak aktif dan tidak stagnan pada suatu lokasi saja. Dari sini kita dapat menelaah betapa besar kecilnya kesenjangan dari lokasi awal keberangkatan mudik, lalu lokasi-lokasi yang dilalui dalam proses mudik, hingga lokasi akhir tujuan mudik kita. Secara kasat mata dan jelas dapat dipastikan banyak perbedaan sarana prasarana antardaerahnya.

Ada kalanya kita melewati daerah yang memanjakan mata, ada kalanya pula kita melewati daerah yang membuat sakit mata (alias banyak kekurangan-kekurangan). Jika mudik hanya sekedar mudik tanpa ada sedikit dorongan pemikiran seperti poin dua ini menimbulkan keapatisan masyarakat kita terhadap kemajuan pembangunan suprastruktur dan infrastruktur di masing-masing daerah yang telah kita lihati dan lewati.

3. Ketiga, Mudikmu untuk siapa? Mudikmu untuk apa? Mudikmu berharga? Kebingungan-kebingungan terkait orientasi mudik adalah ketidaktepatan yang harus diperbaharui secara pendekatan sosial kultural. Idealnya mudik menjadi kabar pada semua yang hendak dikabari. Lantas cukupkah hanya kabar dan kelakar? Tidak. Andai saja mudik adalah sebuah laporan pertanggungjawabn dan progress Kita dari daerah perantauan.

Maksud penulis mudik ke kampung halaman dapat digunakan sebagai sarana untuk saling membandingkan dan merefleksikan pencapaian-pencapaian yang telah kita usahakan selama setahun kemarin. Pembaharuan atas berbagai kekurangan selama bertahun-tahun menjadikan motivasi untuk setahun kedepan menapaki kehidupan sehari-hari dan menyambut mudik lagi setahun mendatang dengan gairah yang lebih segar.

Jika secara fakta Kita tidak menunjukkan peningkatan berbagai hal saat bertemu dengan berbagai pihak di kampung halaman justru "struggle of life"-mu dipertanyakan. Hal sederhana semacam ini dapat memberikan suntikan pemahaman secara kultural sehingga mudik dianggap sebagai hal esensial yang penuh dengan persaingan pada hal-hal positif, bukan terbatas pada hiruk-pikuknya hal-hal teknis.

Mudik Mendidik

Tidak ada suatu kejadian berharga jika tanpa adanya pembelajaran dan pemahaman. Dari mudik kita belajar banyak hal mengenai hijrahnya kondisi sosial hingga dinamisnya masyarakat Indonesia. Seharusnya lecutan semangat mudik harus tetap ada di musim-musim lain selain lebaran.

Penulis berpendapat, mudik yang produktif adalah mudiknya mereka yang tidak hanya mendambakan silaturahim semata, namun juga mereka yang memiliki pertimbangan atas kesenjangan-kesenjangan selama mudik dilalui serta keinginan peningkatan kuantitas kualitas diri setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun selanjutnya.

Dapat kita bayangkan betapa banyak jiwa raga yang berjalan lewat satu niat baik menuju kerinduan pada kampung halaman yang berbeda-beda secara bersama-sama di jalanan. Secara sangat wajar timbullah rasa solidaritasantarpemudik sebagai spontanitas yang manusiawi. Mudik mengajarkan Kita bahwa kerinduan yang hakiki adalah rasa kangen yang dilandasi pada keridhoan menapaki pulang kampung tanpa dibumbui beban-beban rutinitas sehari-hari. Semua seakan hilang dan sengaja dihanguskan agar menikmati sebenar-benarnya makna mudik, lebaran, dan hari yang fitri.

Terakhir, penulis selalu terharu biru melihat fenomena mudik yang (mungkin) hanya terjadi di Indonesia sebagai basis massa agama Islam terbesar di dunia mampu memperlihatkan ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathoniyah di musim-musim seperti ini. Penulis berharap budaya mudik semakin bernilai esensi dan tidak cacat secara kultural sosial sebagai salah satu dari banyaknya ciri khas bangsa ini.

Penulis mengapresiasi semua pihak yang telah membagi perannya selama mudik-mudik tiap tahunnya berlangsung, mulai dari dinas perhubungan, tukang parkir, polisi, supir angkutan umum, pedagang di rest area, tukang jasa tukar uang, jasa travel, dan lain sebagainya.

Demikian

Jadikan mudik 2018 sebagai langkah besar untuk semakin menasbihkan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang telah matang secara suprastruktur, infrastruktur, dan sumberdaya manusia. Penulis juga mengajak semua elemen untuk tetap menjaga kondusifitas, stabilitas, dan moralitas selama mudik ini berlangsung.

Mari saling mendoakan dan memaafkan agar di Hari Raya yang Fitri nanti Kita menjadi pribadi yang kembali suci. Amiin Yaa Robbal Aalamin. Selamat menikmati mudik lebaran Tahun 2018 Masehi dan selamat menyambut Hari Raya Idul Fitri Tahun 1439 Hijriyah.

Hidup Mahasiswa!

Hidup Rakyat Indonesia!

Surabaya, Mei 2018

-Perantau Asal LAmongan-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun