Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Raih Prestasi Anak secara Maksimal Sesuai dengan Jenis Kecerdasannya

3 Juli 2019   13:12 Diperbarui: 3 Juli 2019   13:31 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Teringat 6 tahun yang lalu, saya mengajar Kindergarten dengan sistem pendidikan Montessori.

Sistem pendidikan ini awalnya saya remehkan, karena terlalu banyak alat-alat yang saya pikir hanya digunakan sebagai mainan untuk anak kindergarten. Biaya sekolah mahal, tapi tidak akan sesuai dengan hasilnya.

Ternyata setelah saya mendapatkan training dan penjelasan yang lengkap, sistem pendidikan ini, menurut saya, malah membuat anak tumbuh berkembang lebih pesat untuk motorik, cara berpikir dan menganalisa, walaupun masih kecil. Kreativitas, kemandirian dan kedisiplinan dilatih dalam sistem pendidikan ini.

Sekarang ini sistem pendidikan Montessori sudah banyak diterapkan pada sekolah Kindergarten, namun belum banyak yang menerapkan sampai ke tahap selanjutnya. Menurut saya, sistem ini cukup baik karena cara belajarnya disesuaikan dengan kemampuan dan jenis kecerdasan anak, sehingga anak dirangsang untuk mencintai dan memahami betul apa yang dipelajarinya.

Sistem pendidikan seperti ini sudah diterapkan dibeberapa negara yang diakui memiliki tingkat pendidikan yang tinggi pada masyarakatnya. Tidak sama persis, namun secara garis besar memiliki kesamaan. Seperti Australia, Selandia Baru, Finlandia, Amerika Serikat dan sebagainya.

Awalnya saya mempertanyakan kemampuan anak bila cara belajarnya seperti bermain. Apalagi ada tuntutan dimana untuk bisa masuk sekolah dasar harus sudah bisa membaca, menulis dan berhitung. Tentu anak harus sudah digodok dari kecil. Berbeda dengan negara-negara lain, dimana mereka sekitar kurang lebih kelas 2 SD baru bisa menulis, membaca dan berhitung.

Ternyata saya sangat menganggap remeh anak-anak. Mereka jauh lebih pintar belajar dan mudah beradaptasi ketika mereka belajar disesuaikan dengan usia dan jenis kecerdasannya.

Kedisiplinan dan Kemandirian
Pada sistem pendidikan Montessori, anak diajarkan untuk disiplin dan mandiri. Mereka diajak secara lembut dan halus, namun tegas untuk mengikuti peraturan yang sudah ada, dan sedari mereka kecil, mereka sudah dilatih untuk bersikap mandiri.

Kebetulan saya memegang anak-anak yang berusia 3-5 tahun. Jadi saya akan menceritakan kurang lebih pengetahuan yang telah saya dapat dan praktekkan secara langsung, agar saya bisa menceritakannya kepada Anda dengan hikmat. Hehe...

Pertama, dalam hal baris-berbaris. Awalnya sulit sekali bagi saya membuat anak-anak ini berbaris lurus. Mereka masih mau agak masuk sedikit saja dan tidak lari kemana-mana sudah bagus. Kemudian, saya diarahkan oleh koordinator saya selaku pembimbing, untuk mengajak mereka bermain ular tangga. Kemudian, siapa yang bisa berbaris dengan sangat rapi selama permainan, bisa masuk kelas.

Dengan cara seperti ini, anak-anak dengan mudah menurut dan merasa senang sekali berbaris dengan rapi. Dalam waktu 3 hari, mereka paham bahwa sebelum masuk kelas, mereka harus berbaris terlebih dahulu dengan rapi.

Kedua, dalam hal memakai alat. Dalam Montessori ini banyak sekali bentuk alat-alat. Alat yang paling dasar untuk dipelajari adalah teko yang berisi air dan cangkir, yang ditaruh pada nampan kecil.

Anak harus bisa membawa nampan tersebut dengan rapi, dan air tidak tumpah kemana-mana. Kemudian  ketika air dipindahkan dari teko ke cangkir, teko harus dipegang dengan benar, air tidak boleh tumpah, dan dikembalikan ke nampan seperti semula. Hal tersebut akan dilatih terus, sampai anak bisa menuangkannya dengan benar dan airnya tidak tumpah kemana-mana.

Kalau sampai tumpah, dan anak seperti takjub melihat air yang tumpah, guru harus bisa menjelaskannya, karena disanalah sang anak sedang bereksplorasi dan daya otaknya mulai bekerja, dengan bertanya "mengapa airnya bisa tumpah?", "Kalau tumpah kok bentuknya seperti itu?", "Kenapa bisa dipindahkan dengan mudah?", dan banyak pertanyaan lainnya.

Dari hal sederhana seperti itu, motorik anak dilatih dalam hal memegang benda, dilatih keseimbangannya, dan dilatih imajinasinya dengan melihat perpindahan air. Saya tidak menyangka, hanya dengan tuang-menuang seperti itu, banyak manfaat dan hal yang dipelajari untuk sang anak.

Apabila anak melihat hal tersebut biasa saja, bukanlah sesuatu yang ajaib dengan menumpahkan air, bukan berarti anak tersebut tidak kritis. Melainkan, rasa ketertarikannya bukan dibidang itu, tetapi dibidang lain.

Setelah memakai alat tersebut, anak diwajibkan untuk meletakkan kembali alatnya dengan rapi seperti semula. Guru tidak boleh membantu, hanya boleh mengarahkan. Hal tersebut mengajarkan pada anak, setelah menggunakan barang, ia harus mengembalikannya ke tempat semula, dengan rapi.

Dan ini melatih kemandirian dan kedisiplinan mereka dalam hal memakai barang. Ini dibentuk sebagai fondasi karakter mereka nantinya.

Kemudian, saat makan bersama. Anak diwajibkan untuk mengambil makanan dan minumannya sendiri. Duduk ketika makan, dan harus menyuapi makanannya sendiri. Guru sama sekali tidak boleh membantu. Kalau ada anak yang berlarian ketika jam makan, maka guru akan menasihatinya, apabila susah dinasihati, ia akan tetap terus diruang makan, sampai ia menghabiskan makanannya sendiri. Itu berlaku walau jam makan sudah selesai.

Kalau ada makanan atau minuman yang tumpah, anak harus membersihkannya sendiri dengan lap yang sudah disediakan. Dengan begitu anak paham, mereka harus makan dan minum dengan rapi dan bersih. Juga memiliki rasa empati kepada orang yang akan membersihkannya nanti. Dengan begitu, mereka menjaga diri agar tidak menumpahkan makanan dan minumannya, karena mereka merasa susah untuk membersihkannya kembali.

Keinginan Belajar dan Perkembangannya
Nah, pada bagian ini, menurut saya, anak-anak sangatlah menakjubkan, ketika cara belajar mereka disesuaikan dengan usia dan jenis kecerdasannya.

Para guru diminta untuk sensitif terhadap jenis kecerdasan anak-anak. Karena pendekatan kami dalam belajar-mengajar harus disesuaikan dengan hal tersebut.

Dilansir dari Ayahbunda.co.id, kecerdasan anak dibagi menjadi 8 yakni linguistik, logika-matematika, visual-spasial, musik, gerak tubuh, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.

Kalau di tempat saya bekerja dulu, cara anak menyerap pengetahuan dibagi menjadi 4 yakni audio (mendengarkan), visual (melihat), audiovisual (mendengarkan dan melihat),  dan kinestetik (bergerak).

Guru akan mengelompokkan anak dengan usia dan jenis kecerdasan yang sama, agar bisa diajarkan dengan berimbang.

Ada pengalaman, dimana orang tua yang anaknya baru berusia 3 tahun meminta agar anaknya harus sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar saat ia berusia 4 tahun nanti. Hmm... cukup shock saya mendengar tuntutan seperti itu. Karena diusianya yang 3 tahun, idealnya, anak masih belajar menulis huruf dengan rapi, dan menggunakan titik-titik. Namun, saya tidak menyalahkan orang tua tersebut, karena sama seperti pemikiran saya di awal, supaya saat masuk sekolah dasar nanti bisa membaca dan menulis dengan lancar, tentu anak harus belajar sejak usia dini. Kebetulan anaknya memang sangat suka hal-hal yang berbau pengetahuan dan penurut.

Karena ada tuntutan seperti itu, akhirnya saya mengadakan uji coba.

Dua murid yang sama-sama berusia 3 tahun. Anak yang orangtuanya menuntut untuk bisa membaca dan menulis dengan lancar, saya sebut A, dan anak yang dibiarkan orangtuanya untuk berkembang secara alami, saya sebut B.

A memiliki kepintaran dalam berbahasa. Di usianya yang baru 3 tahun, ia bisa menceritakan semua kejadian yang dia alami hari itu dengan runut dan rapi, walaupun pelafalannya masih cadel. Berbeda dengan B, ia masih berantakan dalam menceritakan sesuatu, namun untuk kelincahan, jangan ditanya ia sangat aktif bergerak, pintar menari dan memiliki keberanian yang sangat tinggi untuk mencoba hal baru.

Tujuan saya sama, sama-sama akan melatih mereka untuk bisa menulis dan membaca dengan lancar.

Saya menggunakan metode tradisional kepada A, duduk diam di bangku dan belajar. Sedangkan B, saya menggunakan metode Montessori, dimana B akan bisa mengeksplorasi sesuai dengan jenis kepintarannya, yakni gerak tubuh.

Dalam waktu 1 bulan, mereka berdua sudah bisa sama-sama menulis huruf tanpa titik-titik. Walaupun masih kurang rapi, tapi untuk anak seusia mereka, mereka sudah memiliki kemajuan yang banyak. Yang membedakan, binar di mata A ketika disuruh belajar sangat berbeda dengan B.

A benar-benar menjadi malas, bahkan melakukan pelajaran apapun harus agak dipaksa sedikit. Ia tidak bergairah sama sekali dalam belajar. Berbeda dengan B, ia merasa sekolah sangat menyenangkan baginya. Ia bisa mengeksplorasi, mengobservasi hal-hal yang membuat ia penasaran, kemudian ia juga sangat kreatif dalam belajar. Semua hal bisa dia jadikan Choo Choo Train (kereta api mainan). Itu adalah cara ia menangkap pelajaran.

Kegairahan mereka dalam belajar ternyata sangat berpengaruh ketika mereka menyerap pengetahuan yang didapat. A kurang antusias dalam menjawab pertanyaan, dan seperti memblok pikirannya ketika diajari. B sangat antusias terhadap pengetahuan baru dan bisa menjawab pertanyaan dengan baik dan kreatif.

Melihat hal tersebut, saya langsung mengubah pola pengajaran saya terhadap A. Saya menggunakan pendekatan yang disesuaikan dengan jenis kecerdasan A. 

Karena memang dasarnya A ini sudah bisa berbahasa yang baik dan benar, dalam waktu 1 bulan, ia sudah bisa menulis huruf tanpa tuntunan. Bahkan saat itu, ia sangat antusias sekali dalam belajar, semua alat yang ada, dia buat menjadi huruf. Ketika saya mulai mengajarkan susunan kata, dengan mudah ia bisa menangkapnya, dan segera menyusunnya, tanpa saya harus membimbing dalam waktu yang lama.

Melihat perkembangan mereka yang seperti itu, saya sangat iri sekali. Mereka akan menjadi orang yang sangat pintar, jauh diatas saya. Hehe...

Hanya saja, tuntutan orang tua A yang mengharuskan anaknya sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar, belum terealisasi dengan sempurna. Perlu latihan lebih banyak lagi, namun saya merasa lega orangtuanya sudah cukup senang melihat anaknya memiliki keinginan yang tinggi untuk belajar secara mandiri, tanpa harus diminta lagi.

Gairah yang tinggi untuk membaca
Setiap hari Jumat, anak-anak memiliki sesi membaca buku. Diawali dengan story telling dari guru terlebih dahulu, sambil terlihat memegang buku. Agar mereka paham guru sedang menceritakan isi buku. Biasanya guru memakai puppet untuk bercerita dan meniru suara-suara tokoh yang ada dalam buku.

Anak-anak sangat senang melihatnya.

Ketika sudah selesai, anak-anak harus membawa buku untuk dibawa pulang. Baca dirumah, kemudian hari Senin, anak akan bergantian menceritakan kembali dengan caranya sendiri. Tidak perlu persis sama, yang terpenting mereka memiliki keberanian untuk tampil depan teman-temannya, dan saling berbagi isi cerita dalam buku.

Berdasarkan laporan dari para orang tua, anak-anak tersebut sangat antusias untuk minta dibacakan buku begitu pulang sekolah. Mereka akan mendengarkan dengan seksama, agar bisa menceritakannya kembali kepada teman-temannya nanti di hari Senin.

Saya tidak bilang metode tradisional itu buruk, karena buktinya anak murid, yang saya sebut A, juga memiliki kemajuan dalam menulis huruf. Yang saya ingin katakan dalam tulisan ini, ketika anak belajar di sekolah, kemudian diseimbangkan dengan metode yang disesuaikan dengan jenis kecerdasannya, saat di rumah misalnya, anak akan jauh lebih berkembang pesat. Mereka memiliki gairah dalam hal belajar, dan bisa dirangsang untuk mandiri dan disiplin.

Jadi orang tua tidak perlu khawatir lagi terhadap prestasi anak, asalkan disesuaikan dengan jenis kecerdasannya, anak pasti bisa berprestasi dalam bidangnya masing-masing. Walaupun bobot pelajaran sekolah semakin berat, tidak masalah, asalkan diajarkan secara bertahap tingkat kesulitannya. Kemampuan otak anak untuk menyerap ilmu sangatlah mengagumkan ketika disesuaikan dengan jenis kecerdasannya.

Referensi: ayahbunda.co.id.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun