Mohon tunggu...
Arnoldus Josef Jogo Towa
Arnoldus Josef Jogo Towa Mohon Tunggu... Penulis

"Akar pembelajaran itu pahit, tapi buahnya manis" ~Aristoteles

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kemiskinan di Indonesia: Standar BPS VS. Bank Dunia

6 Mei 2025   17:31 Diperbarui: 6 Mei 2025   17:31 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia telah menetapkan standar hidup untuk mengukur kemiskinan di Indonesia. Standar ini mendefinisikan orang miskin sebagai mereka yang pengeluarannya berada di bawah 20 ribu rupiah per hari. Angka ini ditetapkan sebagai Garis Kemiskinan Nasional, yang dihitung berdasarkan kebutuhan minimum pangan dan nonpangan per kapita per bulan, yaitu sebesar Rp595.242. Berdasarkan angka tersebut, BPS mengategorikan bahwa pada tahun 2024, hanya sekitar 8,57 persen penduduk Indonesia yang hidup dalam kondisi miskin.

Namun, pertanyaannya adalah, apakah pengeluaran sebesar 20 ribu rupiah per hari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seorang individu?

Di sisi lain, Bank Dunia (World Bank) pada 2023 mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas, dengan menggunakan patokan yang berbeda. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan global dengan acuan pengeluaran sebesar 6,85 dolar AS (sekitar 105 ribu rupiah) per hari untuk setiap individu. Bank Dunia juga mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia berdasarkan garis kemiskinan dalam bentuk Purchasing Power Parity (PPP). PPP digunakan agar perbandingan standar hidup dan tingkat kemiskinan menjadi lebih adil, karena memperhitungkan perbedaan biaya hidup di setiap negara.

Berdasarkan standar ini, Bank Dunia memperkirakan bahwa persentase penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 60,3 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan klaim BPS yang hanya menyebutkan 8,57 persen.

Menurut Rocky Gerung dalam unggahan video di kanal YouTube-nya, ia berpendapat, "Indonesia tidak bisa keluar dari kemiskinan karena ada disparitas ekonomi. Hasil-hasil ekstraktif industri tidak jatuh ke tangan rakyat (tidak ada ekonomi kerakyatan). Tidak ada wilayah kemiskinan yang memperoleh limpahan dari wilayah kaya," ujarnya.

Jadi, perbedaan data antara BPS dan Bank Dunia disebabkan oleh perbedaan metode dan acuan yang digunakan. BPS menggunakan standar nasional berdasarkan pengeluaran riil masyarakat tanpa penyesuaian daya beli, sementara Bank Dunia menggunakan standar internasional dengan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP), yang mempertimbangkan perbedaan biaya hidup antarnegara.

Pertanyaan yang paling tepat untuk diajukan sekarang adalah: Mampukah Indonesia keluar dari kemiskinan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun