Mohon tunggu...
Najwa Shaummy
Najwa Shaummy Mohon Tunggu... mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Penegakan Hukum Dalam Aktivitas Pertambangan Nikel di Raja Ampat Serta Upaya Perlindungan Lingkungan Dan Hak Masyarakat Adat

17 Juni 2025   00:54 Diperbarui: 17 Juni 2025   00:50 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Isu tambang nikel di Raja Ampat meledak di media sosial. Tagar #SaveRajaAmpat jadi trending, publik geram. Kawasan konservasi dunia yang dikenal dengan lautnya yang indah kini terancam rusak akibat ekspansi tambang. Kritik datang dari aktivis, masyarakat adat, hingga warganet, mempertanyakan: kenapa izin tambang bisa masuk ke surga ekologis ini?

A. Latar Belakang

Raja Ampat merupakan kawasan konservasi global yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia, sekaligus menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada sektor perikanan dan pariwisata berkelanjutan. Sayangnya, keistimewaan ekologis ini kini berada dalam ancaman akibat meningkatnya aktivitas pertambangan nikel oleh sejumlah perusahaan, di antaranya PT Gag Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining.

Meski Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan keputusan perlindungan untuk pulau-pulau kecil, izin tambang justru meningkat dalam lima tahun terakhir. Aktivitas ini telah memicu deforestasi, pencemaran logam berat, sedimentasi yang merusak terumbu karang, serta mengganggu ekosistem laut dan darat. Kondisi ini bukan hanya mencederai prinsip pembangunan berkelanjutan dan perlindungan lingkungan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tetapi juga mengancam hak-hak masyarakat adat yang selama ini belum diakui secara maksimal dalam sistem hukum nasional.

Penegakan hukum di sektor pertambangan, baik secara administratif maupun pidana, belum berjalan optimal di lapangan. Hak masyarakat adat sering kali diabaikan karena minimnya bukti kepemilikan yuridis, meskipun telah diakui dalam UUD 1945 Pasal 18B. Transparansi perizinan pun masih lemah, dengan rendahnya partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan.

Di tengah krisis ini, langkah pencabutan izin oleh pemerintah terhadap beberapa perusahaan tambang memang patut diapresiasi. Namun, selama praktik pengawasan, partisipasi masyarakat, dan penghormatan terhadap keadilan ekologis belum benar-benar ditegakkan, maka kerusakan lingkungan dan peminggiran masyarakat adat akan terus mengancam masa depan Raja Ampat. Oleh karena itu, penegakan hukum harus dilihat tidak hanya sebagai mekanisme teknis, melainkan juga sebagai alat perlindungan konstitusional yang berkeadilan bagi generasi kini dan mendatang.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif normatif dengan pendekatan studi pustaka dan wawancara. Data dikumpulkan melalui kajian terhadap berbagai sumber hukum seperti peraturan perundang-undangan, putusan Mahkamah Konstitusi, serta laporan dari organisasi lingkungan hidup dan artikel ilmiah. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa narasumber dari berbagai latar belakang fakultas untuk memperoleh sudut pandang yang beragam terkait dampak pertambangan nikel di Raja Ampat, khususnya dalam konteks perlindungan lingkungan dan hak masyarakat adat. Pendekatan ini dipilih untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap isu yang sedang berkembang.

 C. Hasil dan Pembahasan

Temuan dalam kajian ini menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, khususnya oleh perusahaan seperti PT Gag Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining, berpotensi besar merusak lingkungan yang selama ini dikenal sebagai kawasan konservasi bertaraf internasional. Padahal, Raja Ampat merupakan salah satu daerah dengan biodiversitas laut tertinggi di dunia, yang menjadi tumpuan hidup masyarakat adat sekaligus ikon pariwisata Indonesia.

Secara hukum, pengoperasian tambang di wilayah seperti Raja Ampat bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang menguatkan hak masyarakat adat atas wilayahnya. Namun dalam praktiknya, penegakan hukum administratif maupun pidana di sektor pertambangan masih berjalan lemah. Perusahaan kerap beroperasi meski belum memenuhi kewajiban AMDAL secara maksimal, sementara masyarakat adat jarang dilibatkan secara bermakna dalam proses perizinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun