Mohon tunggu...
Najwa Karimah
Najwa Karimah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Balapan dalam Bayang-bayang Elitisme: Olahraga Elit atau Cerminan Ketimpangan Sosial?

8 Mei 2025   23:49 Diperbarui: 9 Mei 2025   00:00 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Formula 1 Class of 2025 (Sumber: x.com/f1/status))

Di tengah gemuruh mesin dan kemewahan pit lane, Formula 1 berdiri bukan hanya sebagai ajang balap paling prestisius di dunia, tetapi juga sebagai cerminan nyata dari eksklusivitas sosial. Lebih dari sekadar olahraga, F1 menyuguhkan dunia yang nyaris tak tersentuh oleh kelas bawah---dari harga tiket fantastis, biaya operasional tim yang menyentuh miliaran dolar, hingga minimnya akses bagi individu dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah untuk menjadi pembalap. Realitas ini memunculkan pertanyaan sosiologis penting: apakah Formula 1 hanyalah balapan untuk kaum elit?

Formula 1 atau yang biasa disebut F1 merupakan ajang balap mobil internasional yang dianggap paling bergengsi. Sudah diselenggarakan sejak tahun 1950, F1 tidak hanya dikenal dengan teknologi canggih mobilnya dan kemampuan luar biasa para pembalapnya, tetapi juga karena atmosfer glamor yang menyertainya. Balapan ini melibatkan tim-tim elit dengan anggaran miliaran dolar yang kerap digelar di sirkuit-sirkuit ternama di berbagai negara. Citra F1 sebagai olahraga yang dekat dengan kemewahan turut didukung dengan hadirnya beberapa public figure maupun para pesohor dunia yang menyaksikan balapan secara langsung. Hal inilah yang membuat citra F1 menjadi lebih dari sekadar kompetisi olahraga, tetapi juga menjadi simbol status sosial, ruang eksklusif yang hanya dapat diakses oleh segelintir kalangan. Aspek inilah yang menarik untuk dibaca melalui kacamata sosiologi, khususnya dalam kaitannya dengan struktur kelas sosial dan pembentukan identitas di ruang publik global.

Meskipun citra Formula 1 sering diposisikan sebagai ajang olahraga global yang inklusif, realita menunjukkan bahwa akses terhadap dunia F1 sangat bergantung pada kepemilikan sumber daya ekonomi dan sosial yang besar. Misalnya, proses untuk menjadi seorang pembalap F1 menuntut investasi sejak usia dini melalui jalur pelatihan profesional seperti karting, akademi balap, hingga berbagai kompetisi junior internasional yang memerlukan biaya tinggi. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian besar pembalap yang berhasil masuk ke dalam Formula 1 berasal dari keluarga dengan latar belakang kelas atas atau memiliki jaringan kuat dalam industri otomotif dan sponsor korporat. Hal serupa juga terlihat dari sisi penonton: harga tiket yang mahal, terutama untuk kategori premium, membuat pengalaman menonton langsung di sirkuit menjadi sesuatu yang eksklusif dan hanya dapat diakses oleh kelompok masyarakat tertentu. Kondisi ini menunjukkan bahwa F1 bukan semata-mata ajang kompetisi olahraga, melainkan juga sebuah ruang sosial yang mencerminkan ketimpangan akses berdasarkan kelas sosial.

Dalam perspektif Pierre Bourdieu, ketimpangan akses yang terjadi dalam dunia F1 dapat dipahami melalui konsep kapital, yaitu sumber daya yang dimiliki individu untuk mempertahankan atau meningkatkan posisi sosialnya. Kapital ini terbagi menjadi empat jenis utama: ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Dalam konteks F1, kapital ekonomi menjadi elemen paling dominan. Untuk dapat bersaing di level profesional, seorang calon pembalap harus memiliki modal finansial yang sangat besar untuk mendanai pelatihan, perlombaan, hingga membangun relasi dengan tim-tim balap ternama. Di sisi lain, kapital simbolik juga berperan penting, terutama dalam hal citra dan pengakuan sosial---di mana individu atau keluarga yang sudah memiliki nama besar lebih mudah mendapatkan dukungan sponsor maupun akses ke tim elit. Ketergantungan pada berbagai bentuk kapital ini menunjukkan bahwa partisipasi dalam F1 tidak semata ditentukan oleh kemampuan atau bakat, melainkan sangat erat kaitannya dengan posisi kelas sosial seseorang. Dengan demikian, F1 berfungsi sebagai arena reproduksi kelas, tempat di mana privilege diwariskan dan diperkuat melalui mekanisme yang tampak netral namun pada dasarnya eksklusif.

Selain isu kelas sosial, F1 juga bisa disebut sebagai olahraga yang merepresentasikan konstruksi gender yang cenderung eksklusif bagi perempuan. Partisipasi Perempuan dalam dunia balap satu ini sangat minim sepanjang sejarah berdirinya F1, baik sebagai pembalap maupun dalam peran strategis seperti manajer tim maupun kepala tim. Dunia balap ini kerap diasosiasikan dengan kekuatan fisik, keberanian tinggi, dan daya saing yang kompetitif, karakteristik inilah yang dalam konstruksi sosial patriarkal seringkali dilekatkan pada maskulinitas. Citra seperti ini memperkuat pandangan bahwa dunia balap bukanlah tempat yang "cocok" bagi perempuan.

Meskipun belakangan ini mulai bermunculan berbagai program untuk meningkatkan partisipasi perempuan di dunia motorsport, seperti diadakannya program F1 Academy, budaya dan struktur dalam Formula 1 masih didominasi oleh nilai-nilai gender yang timpang. Ini merupakan salah satu langkah eksplisit yang ditujukan untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam dunia balap. Sebuah ajang yang dikhususkan bagi pembalap perempuan muda untuk mengembangkan kemampuan teknis dan pengalaman kompetitifnya ini patut diapresiasi, sebagai upaya untuk memperluas representasi gender. Namun, kehadiran F1 Academy justru secara tidak langsung mengukuhkan adanya pemisahan ruang antara laki-laki dan perempuan dalam olahraga ini. Sampai saat ini, belum ada satu pun pembalap dari jalur F1 Academy yang berhasil menembus grid utama Formula 1, dan transisi ke level elit tersebut tampaknya masih dibatasi oleh berbagai hambatan struktural mulai dari keterbatasan sponsor, minimnya dukungan dari tim-tim F1, hingga stereotip publik yang menganggap performa perempuan belum sebanding dengan pembalap laki-laki.

Keterbatasan partisipasi perempuan dalam Formula 1 bisa dipahami lebih dalam dengan mengacu pada konsep hegemonic masculinity yang dikembangkan oleh R. W. Connell. Dalam pandangan Connell, hegemonic masculinity merujuk pada bentuk maskulinitas yang dominan dan diterima secara sosial, di mana laki-laki ditempatkan di posisi yang lebih superior dibandingkan perempuan atau dalam bentuk maskulinitas lainnya. Dalam dunia F1, konsep maskulinitas ini terlihat jelas melalui citra keberanian, kekuatan fisik, dan ketangguhan mental yang selalu dikaitkan dengan para pembalap, semua sifat tersebut dianggap sebagai atribut khas laki-laki. Karena itu, perempuan sering kali dianggap tidak cocok atau bahkan tidak "alami" dalam dunia balap yang berselimut kemewahan ini. Meskipun ada upaya seperti F1 Academy yang berusaha memberi ruang bagi pembalap perempuan, budaya maskulin yang masih dominan di F1 memperlihatkan bahwa dunia balap ini tetap mempertahankan batasan gender yang ketat. Dengan begitu, F1 tidak hanya mencerminkan stratifikasi sosial berdasarkan kelas, tetapi juga terus memperkuat eksklusi berbasis gender yang sudah ada sejak lama.

Lalu, di sisi lain keberagaman rasial dalam Formula 1 juga menjadi topik yang jarang mendapatkan perhatian. Sejak awal Formula 1 berdiri, F1 didominasi oleh para pembalap berlatar belakang ras Kaukasoid, sedikit sekali perwakilan dari kelompok rasial lain. Dominasi ini mengindikasikan adanya ketimpangan yang lebih luas dalam dunia motorsport, yang terkait erat dengan akses terhadap pendidikan balap, sumber daya ekonomi, dan peluang sponsor. Meski beberapa pembalap non-Kaukasoid berhasil menembus ajang F1, seperti Lewis Hamilton yang menjadi pembalap kulit hitam pertama sekaligus pemegang gelar 7 times world-championship in Formula 1, representasi rasial tetap terbatas dan kerap menghadapi hambatan non-teknis di dunia balap elit satu ini. Hamilton sendiri beberapa kali menyuarakan pengalamannya menghadapi rasisme, baik di dalam maupun luar lintasan. Selain itu, pembalap Asia seperti Yuki Tsunoda dari Jepang juga tidak luput dari mistreatment, mulai dari stereotip negatif terkait emosionalitas hingga bias dalam pemberitaan media yang cenderung meremehkan performanya dibanding rekan setim dari Eropa. Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa Formula 1, meskipun beroperasi dalam ranah global, masih menyisakan eksklusivitas yang mencerminkan bias rasial yang mengakar. Formula 1, dengan segala kemewahan dan status prestisiusnya, masih belum sepenuhnya menciptakan ruang yang inklusif bagi pembalap dari berbagai latar belakang rasial, sehingga hal ini mencerminkan bagaimana struktur sosial yang lebih luas turut memengaruhi dunia motorsport elit ini.

Lebih jauh lagi citra eksklusif dalam dunia Formula 1 juga diperkuat lewat peran media dan komunitas digital. Setelah membicarakan soal ketimpangan dari representasi ras dan gender di lintasan, penting juga melihat bagaimana media membentuk persepsi tentang siapa yang dianggap "cocok" berada di dalam ekosistem F1. Tayangan seperti Drive to Survive memang berhasil memperluas audiens F1 secara global, tetapi dalam prosesnya juga memperkuat narasi tentang pembalap ideal yang sering dikaitkan dengan sosok laki-laki kulit putih, karismatik, dan berasal dari latar sosial-ekonomi atas. Sementara itu, fanbase digital di media sosial seperti Twitter atau TikTok juga memperlihatkan pola bias yang serupa; dari pengidolaan berlebihan pada figur tertentu, sampai kritik yang cenderung tidak adil kepada pembalap dari latar belakang Asia, kulit hitam, maupun perempuan. Fenomena ini menunjukkan bahwa media, baik dalam bentuk konten resmi maupun interaksi antar penggemar, punya andil besar dalam mereproduksi batas-batas sosial yang sudah lama melekat dalam dunia F1.

Dari berbagai aspek yang telah dibahas, mulai dari elitisme kelas, bias gender, ketimpangan rasial, hingga konstruksi citra melalui media, Formula 1 tampaknya tidak hanya menjadi sebuah ajang olahraga, tetapi juga sebagai representasi nyata dari bagaimana struktur sosial bekerja dalam ruang global yang sangat selektif. Di balik kemewahan, prestise, dan kecepatan, F1 mempertahankan batas-batas simbolik yang membuatnya sulit diakses oleh mereka yang berada di luar lingkaran sosial-ekonomi tertentu. Meskipun ada upaya untuk mendorong inklusivitas, seperti pendirian F1 Academy dan kampanye keberagaman oleh sejumlah public figure, perubahan yang terjadi masih berada dalam kerangka simbolik dan belum sepenuhnya menyentuh struktur yang lebih dalam. Dengan demikian, Formula 1 menjadi cermin dari dinamika sosial yang lebih luas---di mana kelas, ras, gender, dan kuasa masih saling berkaitan dalam membentuk siapa yang dianggap "layak" mendapat ruang, dan siapa yang terus didorong ke pinggiran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun