Di era modern seperti sekarang ini, perubahan terus berlangsung di berbagai lini kehidupan. Inovasi teknologi dan digitalisasi telah mengubah cara manusia menjalani kehidupan sehari-hari, menjadikannya lebih cepat, mudah, dan efisien. Gaya hidup masyarakat pun turut berubah, cenderung lebih praktis dan instan. Namun, di tengah arus modernisasi yang begitu deras, masih ada segelintir masyarakat yang dengan teguh mempertahankan adat dan tradisi leluhur mereka. Salah satu contoh nyata dapat kita temukan di Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang hingga kini masih melaksanakan tradisi unik bernama Mubeng Punden.
Asal-Usul dan Makna Tradisi Mubeng Punden
Tradisi Mubeng Punden merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat Bakaran Wetan yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang. Kata mubeng dalam bahasa Jawa berarti "mengelilingi", sedangkan punden adalah tempat yang dianggap keramat, biasanya berupa bangunan kecil atau peninggalan leluhur yang dijadikan simbol penghormatan. Maka, Mubeng Punden berarti kegiatan mengelilingi punden sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap leluhur.
Punden dalam konteks budaya Jawa merupakan tempat yang dianggap suci karena diyakini sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur atau tokoh penting pendiri desa. Oleh sebab itu, tempat ini dijaga kesakralannya, dan masyarakat senantiasa menjaga norma-norma serta tata krama ketika berada di sekitarnya. Tradisi Mubeng Punden dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur, permohonan keselamatan, dan penghormatan kepada leluhur agar memberikan berkah dan perlindungan bagi masyarakat desa.
Waktu dan Alasan Pelaksanaan
Pelaksanaan tradisi Mubeng Punden tidak dilakukan setiap waktu, tetapi biasanya bertepatan dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Tradisi ini lazim dilakukan ketika ada warga yang sedang mengadakan hajatan besar seperti pernikahan atau kelahiran bayi. Masyarakat percaya bahwa dengan melakukan Mubeng Punden sebelum melangsungkan acara penting, mereka akan mendapat restu dari leluhur dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Selain itu, ada pula waktu-waktu tertentu dalam setahun yang dianggap baik untuk melaksanakan tradisi ini, misalnya pada bulan-bulan Jawa seperti Sura, Sapar, atau menjelang bulan Ramadan. Tradisi ini juga kadang dilaksanakan sebagai bentuk ritual tolak bala ketika desa sedang menghadapi musibah, wabah penyakit, atau kekeringan panjang.
Prosesi Pelaksanaan Mubeng Punden
Pelaksanaan tradisi Mubeng Punden diawali dengan persiapan yang dilakukan oleh keluarga yang memiliki hajatan. Mereka akan menyiapkan sesaji atau ubarampe yang terdiri dari nasi tumpeng, ingkung ayam, kembang telon (bunga setaman), kemenyan, serta aneka jajanan pasar. Sesaji ini disiapkan dengan penuh rasa hormat dan ketulusan sebagai bentuk persembahan kepada para leluhur.
Warga desa akan berkumpul di sekitar punden yang berada di tengah atau pinggir desa. Biasanya, punden dijaga oleh juru kunci atau sesepuh desa yang memiliki pengetahuan tentang sejarah dan tata cara pelaksanaan tradisi. Prosesi Mubeng dimulai dengan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh adat atau pemuka agama. Setelah itu, warga akan berjalan mengelilingi punden sebanyak jumlah tertentu (umumnya ganjil seperti tiga atau tujuh kali) sambil membawa sesaji.
Suasana prosesi sangat khidmat. Tidak diperkenankan berbicara keras, bersenda gurau, atau melakukan tindakan tidak sopan selama prosesi berlangsung. Setelah selesai mengelilingi punden, sesaji diletakkan di tempat yang telah disediakan dan acara ditutup dengan doa permohonan keselamatan serta ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para leluhur.