Mohon tunggu...
Najwa Fhiska Amelia
Najwa Fhiska Amelia Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi saya adalah olahraga, menggambar, dan menulis. Selain itu saya memiliki kepribadian yang baik dan bertanggung jawab serta memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap suatu hal yang ingin saya capai. Topik favorit saya saat ini adalah di bidang politik dan hukum.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

PT KAI: Dari Rel Tua ke Rel Digital, Strategi Bertahan Hidup Sebuah Organisasi Negara

27 Juni 2025   00:15 Diperbarui: 27 Juni 2025   00:37 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Dulu, naik kereta identik dengan duduk berdesakan, suara klakson memekakkan telinga, dan loket yang selalu mengular. Tapi siapa sangka, dalam satu dekade terakhir, PT Kereta Api Indonesia (KAI) pelan-pelan berubah. Stasiun kini terasa seperti bandara, pembelian tiket cukup lewat aplikasi, dan kereta datang nyaris selalu tepat waktu. Dari sebuah perusahaan tua yang nyaris kehilangan arah, KAI menjelma jadi contoh sukses organisasi yang berhasil keluar dari masa krisis. Tapi perubahan ini tentu tidak terjadi dalam semalam.

Dari Masa Jaya ke Titik Terendah
Berdiri sejak zaman Hindia Belanda, KAI awalnya menjadi tulang punggung transportasi di Pulau Jawa dan Sumatra. Tapi memasuki era 1990-an hingga awal 2000-an, citra KAI semakin memburuk. Kerugian menggunung, fasilitas usang, dan manajemen yang tak transparan membuat publik hilang kepercayaan. Pada titik ini, KAI memasuki fase decline dalam daur hidup organisasi fase di mana ketidaksesuaian antara struktur organisasi, kepemimpinan, dan lingkungan eksternal makin terasa.

Mereformasi Struktur dan Budaya
Titik baliknya dimulai sekitar tahun 2009, ketika pemerintah mendorong restrukturisasi besar-besaran di tubuh KAI. Di sinilah peran struktur organisasi menjadi krusial. KAI mulai menata ulang desain organisasinya, dengan mengurangi birokrasi berlapis dan memperjelas alur kerja. Formalisasi meningkat melalui SOP yang lebih terstandarisasi, tapi sentralisasi justru dikurangi agar pengambilan keputusan bisa lebih fleksibel dan cepat, khususnya di tingkat lapangan.

Namun, perbaikan struktur saja tak cukup. Budaya organisasi pun disentuh. Lewat kampanye internal dan pelatihan berkelanjutan, KAI berusaha menciptakan budaya kerja baru: lebih melayani, responsif, dan terbuka terhadap inovasi. Ini langkah penting, karena budaya lama yang penuh feodalisme dan ketertutupan menjadi salah satu penyebab stagnasi sebelumnya.

Teknologi dan Lingkungan: Dua Kunci Adaptasi
Transformasi KAI juga tak lepas dari penggunaan teknologi. Sistem boarding pass, e-ticketing, pelacakan jadwal secara real-time, hingga digitalisasi operasional membuat layanan makin efisien dan minim kontak. Teknologi bukan hanya alat bantu, tapi fondasi baru cara kerja organisasi.

Selain itu, KAI juga mulai membaca ulang lingkungan eksternal dari tuntutan masyarakat, kompetisi dengan transportasi daring, hingga kebijakan pemerintah soal transportasi ramah lingkungan. Semua ini jadi pemicu KAI untuk terus berinovasi, termasuk mengembangkan LRT, kereta cepat, dan integrasi antarmoda.

Kepemimpinan yang Jadi Katalis
Tak bisa diabaikan juga bahwa keberhasilan transformasi ini sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan. Di bawah pimpinan-pimpinan baru seperti Ignasius Jonan (2009–2014), KAI berani mengambil keputusan besar yang sebelumnya dianggap mustahil, seperti menutup celah korupsi, merombak manajemen SDM, hingga membangun hubungan yang lebih sehat dengan serikat pekerja.

Pemimpin-pemimpin berikutnya mempertahankan momentum ini dengan mengedepankan keberlanjutan. Gaya kepemimpinan yang transformatif jadi bahan bakar utama organisasi dalam melewati fase-fase kritis.

Masih Panjang Jalannya
Meski banyak kemajuan, tantangan KAI belum selesai. Masalah klasik seperti monopoli proyek, tekanan politik, dan hambatan pembangunan infrastruktur masih mengintai. Tapi setidaknya, KAI telah menunjukkan bahwa organisasi sebesar dan setua apapun tetap bisa berubah asal berani mengevaluasi diri, memperbaiki struktur, dan menjawab kebutuhan zaman.

Kisah KAI bukan hanya soal transportasi, tapi tentang bagaimana organisasi bisa selamat dari keruntuhan jika mau bergerak, bukan hanya bergeser.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun