Mohon tunggu...
Najwa Filzah Faiza
Najwa Filzah Faiza Mohon Tunggu... Mahasiswa rantau di Kota Pahlawan

Suka nulis, travelling, baca novel fiksi, juga tidak ketinggalan scrolling medsos

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Puncak Watu Bengkah yang Bikin Senyum Merekah

14 September 2025   09:35 Diperbarui: 14 September 2025   11:49 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sunrise di Tengah Jalur Pendakian Gunung Klotok. Sumber: Dokumentasi Penulis

Konon katanya, hidup itu harus seimbang. Belajar iya, kerja tetap jalan, dan yang nggak kalah penting liburan tak boleh terlupakan. Belakangan ini, banyak postingan berseliweran tentang konsep work-life balance, yakni keseimbangan antara pekerjaan/kesibukan dan kehidupan personal. Sederhananya, konsep work-life balance ini memungkinkan kita sebagai manusia mampu bertahan hidup di tengah banyaknya tuntunan dan tekanan, namun tetap dengan batas normal dan diimbangi istirahat yang sepadan. Agar kita nggak jadi manusia "robot" yang dipaksa beraktivitas tanpa henti dan gampang merasa berdosa ketika istirahat sekejap saja.

Pernahkah merasa bahwa hidup terasa terlalu ramai dan bising, Kawan? Bukan hanya perkara suara kendaraan atau notifikasi sosial media yang tak kunjung reda, tapi juga keramaian yang bersumber dari isi kepala sendiri, deadline yang menghajar tanpa ampun, dan ekspektasi yang tak pernah redup. Duhh, rasanya kayak lagi ada di tengah-tengah pasar malam yang penuh dengan sorak sorai pengunjung, teriakan anak-anak yang naik wahana, hingga suara para penjual yang saling bersahutan.

Kalau iya, tenangg. Kalian nggak sendirian. Banyak dari kita yang diam-diam pernah berharap ada yang namanya tombol mute di dunia ini. Bukan karena pengen kabur selamanya, tapi karena ingin jeda sejenak dari hiruk pikuk dunia yang tak ada habisnya. 

Sayangnya, tidak semua keinginan kita akan menjadi kenyataan, termasuk tentang keinginan punya tombol mute. Kata Bondan Prakoso, "Ketika mimpimu yang begitu indah, tak pernah terwujud, ya sudahlah" Eitss, bukan berarti kita diperbolehkan untuk mudah menyerah lho, yaa. Justru karena tidak semua mimpi bisa terwujud, maka kita harus giat mencari opsi lain yang masih bisa ditempuh. Bukankah pepatah bilang: banyak jalan menuju Roma?

Hilang untuk Healing

Karena di dunia ini tidak ada tombol mute atau pause yang bisa dipencet kapan pun, maka kita sebagai manusia punya pilihan untuk berhenti sejenak dari rutinitas harian yang melelahkan. Istilah kerennya sih hilang untuk healing. Menghilang sebentar untuk menenangkan isi kepala. 

Eh, tapii ingat rules-nya yaaa, menenangkan isi kepala sendiri, bukan isi kepala orang lain. Tentunya keputusan "menghilang" ini dapat direalisasikan setelah menuntaskan segala jenis tanggung jawab lho, ya. Kalau tanggung jawab belum diselesaikan, itu namanya lari dari kenyataan. Aduhaii, jangan yaa kak yaaa.

Hilang untuk healing ini sering dianggap sebagai salah satu cara untuk meredam kebisingan yang berlarian di dalam pikiran. Beberapa orang memilih untuk menghilang alias liburan yang bisa jadi sarana reset isi kepala. 

Ada yang memilih ke cafe & resto impian untuk mencoba kuliner dengan rasa yang unik, ada yang memilih staycation ke hotel biar bisa rebahan seharian tanpa gangguan, ada yang menikmati suasana piknik di kebun raya bersama keluarga tercinta, ada yang shopping ke berbagai pusat perbelanjaan untuk menikmati hasil jerih payah setelah bekerja, dan ada pula yang melirik wisata alam sebagai opsi mencari ketenangan.

Sebelum ditanya jenis healing apa yang selalu ku pilih, aku akan langsung menjawabnya. Meskipun nggak ada yang nanya, tetap ku tulis juga sih, haha!

Aku adalah tipe yang terakhir. Hilang untuk healing ke alam sebagai bentuk pelarian. Mulai dari pantai, goa, air terjun, taman hijau di tengah kota, hingga museum atau bangunan bersejarah yang masih bersinggungan dengan alam tak jarang juga menjadi tujuan utama. Nah, ada lagi satu destinasi yang belum pernah ku nikmati secara seksama, yakni gunung. Memang sudah pernah berkunjung ke Gunung Kelud, namun hanya menikmati pemandangannya dari bawah tanpa merasakan keindahan di puncak gunung.

Tapiii, kita semua pasti akan diberi kesempatan untuk menikmati apa yang belum pernah kita capai sebelumnya. One day, your dreams will come true. Pun sama dengan kisahku, liburan kali ini tiba-tiba saja sahabat karibku ngajak "muncak" alias mendaki gunung.

Sahabatku ini memang sejak dahulu kala (2018) pengen naik gunung gara-gara terpengaruh film yang berjudul 5 cm. Iyaa, film tentang persahabatan yang pemerannya mendaki ke puncak tertinggi pulau Jawa ituu lho. Dia terpengaruh film dan akhirnya memengaruhi diriku. Lengkap sudah, bukan?

Film 5 cm. Sumber: Kumparan. https://m.kumparan.com/kumparanhits/film-5-cm-akan-kembali-tayang-di-bioskop-1uZgpWtbAiR 
Film 5 cm. Sumber: Kumparan. https://m.kumparan.com/kumparanhits/film-5-cm-akan-kembali-tayang-di-bioskop-1uZgpWtbAiR 

Sama-sama kena virus pengen mendaki gunung, meski masih kecil-kecilan dulu. Tentu saja mendaki untuk menikmati pemandangan dari puncak, bukan hanya melihat dari kejauhan, foto-foto sebentar, sambil pulang menenteng kantong kresek berisi jajanan.

Cocok untuk Pemula

Awalnya, keraguan menyelimuti seluruh badan sebelum berangkat mendaki. Ragu apakah tubuhku bisa diajak kerja sama mendaki gunung, ragu apakah dapat izin dari orang tua, ragu apakah gunung yang dituju jalurnya friendly untuk pemula yang hobi rebahan ini?

"Ayo, aku juga belum pernah ke gunung. Jalurnya cocok buat pemula, kok"

Berbekal ajakan bestie dan restu orang tua, ku ucapkan "bismillah" dan menjawab "iya" dengan ketulusan sedalam samudera. Aduh, serius amat yaa? Mau mendaki gunung atau menerima lamaran dari calon pasangan?

Yaahh, begitulah. Karena sejak kecil sudah diracuni dengan nasehat yang diambil dari Hadis Riwayat Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim yang berbunyi:

Ridha Allah bergantung pada Ridha kedua orang tua dan murka Allah bergantung pada murka orang tua 

Akhirnya, hingga sekarang masih tetap segar di ingatan. Bahkan, nasehat yang satu ini sangat berguna dalam mengambil keputusan, tak terkecuali ketika menentukan destinasi liburan.

Jadi, kalau orang tua sudah bilang "boleh, asal hati-hati" rasanya kayak dapet golden ticket yang nggak boleh disia-siakan. Bisa ditebak kalimat apa yang ku kirimkan ke bestie-ku yang mendadak ngajak naik gunung? Tidak lain dan tidak bukan adalah...

"Gaasss!!"

Namanya juga anak muda. Seringnya ngegas, jarang ngerem, hehe! Kalo banyak ngeremnya, berarti sudah berpengalaman dalam mencicipi asam garam kehidupan. Benar begitu, Kawan?

Tapii tenang saja, ngegas-nya nggak kayak Valentino Rossi atau Marc Marquez kok. Ngegas dikit-dikit aja karena gunung yang dituju adalah gunung Klotok, gunung yang terletak di Kota Kediri dan sering dianggap remeh oleh banyak orang karena ketinggiannya yang hanya 536 mdpl. Gunung Klotok memang bukan destinasi yang menjadi tujuan para pendaki profesional, tapi akhir-akhir ini gunung Klotok menjadi ramai diperbincangkan di media sosial karena punya daya tarik tersendiri.

Sebenarnya, aku dan teman-temanku ini lebih cocok disebut pendaki FOMO (Fear of Missing Out) daripada pendaki pemula. Tidak perlu menutup fakta tentang pendaki FOMO ini ya pemirsa, karena memang begitu kenyataannya. Semua berawal dari rasa penasaran dan pengen ikut-ikutan yang lagi viral di media sosial, tapi berujung kena mental. Mengapa bisa begitu? Bisaaa, dong. Simak kelanjutannya biar tau latar belakang "kena mental" untuk perjalanan yang satu ini, yaa!

Para Pencari Sunrise

Petualangan kali ini memang sudah diniatkan sedari awal untuk menikmati sunrise di atas puncak gunung Klotok. Kami berempat, ciwi-ciwi yang punya rasa penasaran tinggi memulai pendakian sekitar jam 6 pagi. Sedari awal, memang sudah salah langkah dan strategi, Kawan.

Seharusnya kami berangkat lebih pagi, tapi yaaa namanya orang Indonesia, belum afdhol kalo jamnya nggak molor. Apalagi ditambah estimasi rute perjalanan sepeda motor menuju kawasan gunung Klotok yang memakan waktu kurang lebih 20-30 menit dari pusat kota Kediri. Sejak saat pertama kali menginjakkan kaki dibarengi komat-kamit berdoa, kami berempat sudah tau bahwa tidak akan kebagian sunrise di puncak Gunung Klotok nantinya.

Apapun yang terjadi, the show must go on. Baru 15 menit mendaki, sunrise sudah menyapa penuh riang gembira. Kami berempat berhenti, beristirahat sebentar sambil memandang sunrise meski tidak dari puncak Gunung Klotok. Sesekali sambil bercanda tentang pendaki FOMO dan tak lupa mengabadikan momentum sekaligus menyaksikan mentari di tengah jalur pendakian.

Sunrise di Tengah Jalur Pendakian Gunung Klotok. Sumber: Dokumentasi Penulis
Sunrise di Tengah Jalur Pendakian Gunung Klotok. Sumber: Dokumentasi Penulis

Gunung Klotok yang lokasinya berada di dekat kaki Gunung Wilis, Kecamatan Mojoroto, Kelurahan Pojok, Kota Kediri ini sering kali dijuluki sebagai "si cantik tidur" karena bentuknya dianggap menyerupai sosok perempuan yang sedang tertidur. Klotok sendiri berasal dari kata "KOLO" yang artinya bahaya dan "TOK" yang artinya saja dan masyarakat setempat mengartikannya sebagai gunung yang berbahaya. Jujur saja, aku pun baru mengulik kisah ini setelah pulang mendaki Gunung Klotok dan baru ngeh karena arti namanya saja sudah bahaya, apalagi jalurnya, haha!

Nah, karena sebelumnya hanya berbekal ilmu dari tiktok dan ajakan bestie yang mengatakan bahwa Gunung Klotok jalurnya friendly dan cocok untuk pemula, akhirnya gass teruss. Kata pendaki lain, estimasi pendakian sekitar 1-1,5 jam. Kami berempat pun beranggapan akan sampai di puncak dengan estimasi waktu kurang lebih seperti para pendaki lain.

Nyatanya? Aduhh, jangan harap. Kami baru sampai di puncak setelah 2 jam lebih mendaki dengan napas terengah-engah, hampir menyerah, takut tersesat, berhenti bolak-balik mengatur napas dan hati agar tetap bisa diajak kompromi, takut terpeleset, kaki dan tangan sudah merah-merah karena melewati jalur yang ekstremnya bikin auto nyebut.

Oh ya, alasan di balik lamanya perjalanan kami berempat, tak lain dan tak bukan adalah salah ambil jalur. Seharusnya kami ambil jalur yang landai, tapi malah belok ke jalur yang curam. Tidak apa-apa, tidak perlu dianggap sebagai masalah serius. Bukankah selalu ada hikmah di balik setiap salah?

Kebesaran Kuasa-Nya

Percayalah, Kawan. 536 mdpl yang kelihatan rendah itu ternyata susahnya minta ampun. Seperti apa kata peribahasa, air tenang jangan disangka tiada buayanya. Gunung dengan ketinggian tak seberapa jangan dianggap remeh begitu saja. Justru tantangannya biasanya lebih ngeri daripada gunung-gunung dengan ketinggian berlipat.

Perjalanan Menuju Puncak Gunung Klotok. Sumber: Dokumentasi Penulis
Perjalanan Menuju Puncak Gunung Klotok. Sumber: Dokumentasi Penulis

Inilah yang kami alami ketika menyusuri jalur pendakian Gunung Klotok. Kelihatannya gampang, ternyata susah. Kelihatannya susah, ternyata susah banget. Kami harus bertahan menghadapi sekaligus menaklukkan tanjakan yang curam, tanah bebatuan licin di kanan kiri atas bawah, pemandangan jurang yang menganga lebar, dan struktur tanah yang miring mirip tebing.

Saat berjibaku dengan tali-tali yang membantu proses naik ke puncak langsung terbayang atlet panjat tebing yang lincah menapaki bebatuan di kemiringan tertentu. Nggak kebayang deh kalo tiap hari harus manjat tebing yang ngeri-ngeri sedap kayak gini.

Jalur Pendakian Gunung Klotok. Sumber: Dokumentasi Penulis
Jalur Pendakian Gunung Klotok. Sumber: Dokumentasi Penulis

Pelajaran terpenting ketika berpetualang di alam adalah kita jadi lebih mengenal sang Pencipta. Bagaimana tidak? Sepanjang perjalanan dibuat kagum dengan kerumitan yang tercipta dengan sangat teliti. Semua detail pepohonan, bebatuan, sungai, hewan-hewan, benar-benar membuat kagum akan kuasa-Nya. Kalau biasanya hanya melihat dari kejauhan wujud gunung berwarna hijau kecoklatan, kini aku tahu kalau ternyata di dalam gunung ada banyak kehidupan.

Selain itu, saat mendaki di jalur yang curam kami berempat langsung teringat dan meminta pertolongan lewat doa. Saking takutnya dengan rintangan yang ada di depan, tiap menemui jalanan yang curam auto nyebut "Ya Allaahh tolong hamba-Mu inii, astaghfirullah jalurnya, lailahaillallah ngerii, allahuakbarrr ini gimana cara naiknyaa?"

Alay, ya? Memang. Namanya juga pendaki FOMO. Tapi setidaknya dengan mendaki kita jadi lebih mengenal, gampang mengingat, dan mudah meminta pertolongan pada Yang Maha Kuasa. Bukankah sebenarnya itulah tujuan utama ketika berpetualang di alam? Untuk lebih mengenal kekuasaan dan kebesaran Sang Maha Pencipta.

Dalam Al-Qur'an surat Al-An'am: 11 pun telah disebutkan

Berjalanlah di muka bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa Allah memerintahkan kita untuk merenungi kekuasaan-Nya lewat berbagai cara, salah satunya dengan berlibur. Liburan bukan sekadar mencari hiburan dan ketenangan, tapi juga liburan yang menjadikan kita semakin belajar dan bersyukur akan bentuk cinta Sang Pencipta melalui bentang alam, keindahan yang tak dapat tergantikan.

Berdiri di Atap Kediri

Setelah 2 jam lebih menyusuri jalur pendakian, akhirnya kita sampai juga di puncak gunung Klotok, Kawan. Puncak Watu Bengkah namanya. Percayalah, berada di puncak ini akan langsung membuat senyuman kita merekah indah. Dibarengi ucapan alhamdulillah setelah berjibaku memanjat, merangkak, berjalan penuh ekstra kehati-hatian, alhasil kami sampai juga di atapnya Kediri.

Akhirnya, Sampai di Puncak Juga. Sumber: Dokumentasi Penulis
Akhirnya, Sampai di Puncak Juga. Sumber: Dokumentasi Penulis

Dari puncak ini kita bisa menyaksikan pemukiman warga, sungai Brantas, pepohonan dan bunga-bunga bermekaran, hingga lautan awan. MasyaaAllah, cantiknya bukan main. Nggak percaya? Cobaa aja sendiri.

Pemandangan Kediri dari Puncak Watu Bengkah. Sumber: Dokumentasi Penulis
Pemandangan Kediri dari Puncak Watu Bengkah. Sumber: Dokumentasi Penulis

Berada di atap Kediri tiba-tiba mengingatkanku akan soundtrack film 5 cm yang jadi lagu kebangsaan para pendaki. Apalagi kalau bukan lagu Rahasia Hati karya Nidji?

I wanna love you like the hurricane

I wanna love you like a mountain rain

So wild, so pure

So strong and crazy for you

Vibes mendakinya langsung berasa luar biasa, padahal hanya 536 mdpl yang jauh sekali bila dibandingkan latar di film 5 cm yang berada di Gunung Semeru dengan ketinggian 3.676 mdpl itu. Berapa pun ketinggiannya, tidak akan mengurangi rasa kagum pada Sang Pencipta yang tidak akan ada habisnya bila dibahas oleh manusia biasa.

Melihat Sungai Brantas dari Atas. Sumber: Dokumentasi Penulis
Melihat Sungai Brantas dari Atas. Sumber: Dokumentasi Penulis

Pulang dan Ingin Mengulang

Nah, setelah puas menikmati pemandangan di atap Kediri sekaligus berswafoto dengan teman-teman, kami turun dengan estimasi perjalanan 1,5 jam. Tau apa plot twist-nya?

Dan yap, kita salah jalur lagi. Sudah diberi informasi oleh bapak-bapak yang turun lebih dulu untuk mengambil jalur yang akhirnya kami lewati, tapi ternyata jalur itu adalah jalur off-road alias jalur motor trail. Jadilah jalannya licin bukan main. Bahkan kami sempat bertemu pengendara motor trail dan minta kejelasan (bukan kepastian ke calon pasangan lho, ya) tentang jalan pulang yang benar.

Tersesat di Jalan Pulang. Sumber: Dokumentasi Penulis
Tersesat di Jalan Pulang. Sumber: Dokumentasi Penulis

Untungnya, meskipun bukan jalur pendakian, jalannya masih bisa dilewati dan sampai dengan selamat meski lagi-lagi bikin kami berempat auto nyebut di sepanjang jalan. Eh, tapii kali ini nggak salah sendiri karena di belakang kita juga ada 3 pendaki yang kebingungan jalan dan sama-sama tersesat tak tau jalan pulang.

Walaupun sempat tersesat, akhirnya kami berempat tetap bisa keluar dari kawasan Gunung Klotok meski bukan kembali di titik awal pendakian. Kami harus jalan beberapa kilometer lagi untuk sampai di titik awal. Di tengah kondisi capek bukan main, pertolongan Allah selalu nyata adanya. Ada mobil pick up lewat dan mau ditumpangi sampai ke tempat parkir motor kami. Alhamdulillah, nggak jadi sambat karena perjalanannya malah makin seru bukan main, hehe!

Pesanku hanya satu: hati-hati dan jangan mudah tertipu jika ada yang ngomong "cocok untuk pemula" karena bisa jadi yang dimaksud pemula adalah pemain sejak lama alias sudah pro maksimal. Gunung Klotok memang cocok untuk pemula. Tapii, maaf sepertinya aku dan teman-temanku lebih cocok disebut pra-pemula.

Sejatinya, mendaki gunung membuat kita perlahan paham bahwa di balik keindahan dan ketenangan alam, ada pelajaran besar tentang kerendahan hati. Manusia yang biasanya sibuk dan mahir mengerjakan ini-itu, mendadak terdiam seribu bahasa dan merasa kecil di tengah jalur pendakian karena takjub akan kuasa-Nya. 

Puncak Watu Bengkah. Sumber: Dokumentasi Penulis
Puncak Watu Bengkah. Sumber: Dokumentasi Penulis

Di tengah perjalanan rasa-rasanya hanya satu yang penting, yakni tetap menjaga sikap ke alam, ke sesama manusia, dan juga ke diri sendiri. Gunung tidak butuh kita taklukkan karena belum sampai puncaknya saja, kita-kita ini sudah kewalahan. Gunung yang merupakan bagian dari alam hanya butuh untuk kita hargai, hormati, dan dijaga sepenuh hati. Setuju, Kawan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun