Laut yang tak pernah diam, suara yang dibungkam-ialah isi keseluruhan 'Laut Bercerita' karya Leila S. Chudori. Dalam sejarah bangsa yang dipenuhi luka, suara-suara yang hilang tidak pernah benar-benar lenyap; mereka mengendap dalam ingatan kolektif, menunggu untuk diceritakan ulang. Leila S. Chudori, dalam novelnya Laut Bercerita (2017), menghadirkan kembali suara-suara tersebut---suara para aktivis yang diculik dan dihilangkan secara paksa menjelang runtuhnya rezim Orde Baru. Melalui tokoh Biru Laut, Leila tidak hanya membangun narasi fiksi yang menggugah, tetapi juga menyajikan kritik sosial yang tajam terhadap praktik kekuasaan yang represif, sistem hukum yang timpang, serta trauma yang diwariskan antar generasi.
      Laut Bercerita merupakan kritik sosial yang menyentuh berbagai aspek kehidupan politik dan kemanusiaan di Indonesia pada akhir 1990-an. Melalui penggambaran nasib para aktivis mahasiswa yang diculik dan tidak pernah kembali, Leila mengangkat isu penghilangan paksa sebagai bentuk kekerasan negara yang sistematis. Tokoh-tokoh seperti Biru Laut, Sunu, Daniel, hingga Srikandi menjadi representasi dari generasi muda yang bersuara, yang menolak tunduk pada otoritarianisme. Mereka memperjuangkan demokrasi dan keadilan, namun dibalas dengan kekerasan, penyiksaan, dan penghilangan yang tidak berujung keadilan.
      Novel ini menyoroti bagaimana negara membungkam kebebasan berpendapat. Mahasiswa yang menyuarakan kritik dianggap sebagai ancaman stabilitas, dan dalam logika penguasa, mereka layak dibungkam. Leila juga menyinggung peran media yang dikendalikan oleh kekuasaan dalam membentuk opini publik yang menyesatkan, menciptakan stigma bahwa aktivis adalah pengacau atau bahkan pemberontak. Semua ini menunjukkan bagaimana narasi dapat dimonopoli untuk melanggengkan kekuasaan. Yang paling menggugah adalah kritik terhadap budaya impunitas. Tak satu pun pelaku penculikan yang benar-benar diadili, bahkan beberapa justru mendapat posisi penting pascareformasi. Melalui sosok Asmara Jati, adik Biru Laut, kita melihat wajah lain dari tragedi ini, keluarga korban yang terus menanti, menuntut jawaban, dan menghadapi dinding tebal ketidakpedulian negara.
      Novel ini menyoroti tokoh Biru Laut sejak awal. Biru Laut adalah jantung dari novel ini. Ia adalah mahasiswa cerdas dan tenang, yang bergerak bersama kelompok pro-demokrasi bawah tanah. Karakter Laut bukan tipe heroik yang keras dan frontal, tetapi reflektif, peka, dan penuh kesadaran. Ia menyukai sastra, senang berdiskusi, dan tetap menyimpan keraguan manusiawi terhadap tindakannya. Di sinilah kekuatan karakterisasi Leila terlihat: Laut tidak digambarkan sebagai sosok sempurna, melainkan manusia yang rentan tapi tetap berani. Nama "Biru Laut" bukan sekadar estetika, melainkan simbolisme yang kuat. Laut adalah metafora untuk suara yang terus beriak meski permukaannya tampak tenang. Kehilangannya tidak menjadi akhir dari cerita, justru memulai babak baru: pencarian, penggalian, dan perlawanan yang diwariskan kepada mereka yang ditinggalkan.
Narasi dari sudut pandang Laut terasa intim, seolah kita menyelami pikirannya yang dalam dan sunyi. Ketika narasi berpindah ke Asmara Jati di bagian kedua, cerita berubah menjadi bentuk kesaksian: seorang adik yang tidak hanya kehilangan kakaknya, tetapi juga kepercayaan pada sistem keadilan. Inilah bentuk keberhasilan Leila dalam menyusun struktur naratif: menyatukan kisah korban dan keluarga menjadi satu tubuh luka yang menyuarakan tuntutan.
Secara pribadi, Laut Bercerita adalah salah satu karya sastra Indonesia kontemporer yang tidak hanya menyentuh secara emosional, tetapi juga penting secara historis dan politis. Leila tidak hanya menulis novel, ia menyusun arsip kultural bagi generasi yang tidak mengalami langsung kekerasan negara. Ia menjadikan sastra sebagai alat pengingat dan perlawanan.
Kelebihan utama novel ini terletak pada riset sejarahnya yang kuat, bahasa yang indah, dan penggambaran karakter yang manusiawi. Narasinya puitis, namun tidak kehilangan bobot politisnya. Namun, beberapa bagian awal terasa agak lambat dan deskriptif, dan sebagian karakter pendukung kurang tergali secara mendalam. Meski demikian, ini tidak mengurangi kekuatan novel sebagai karya yang utuh dan bermakna.
Laut Bercerita adalah kisah tentang luka yang ditinggalkan oleh negara kepada warganya sendiri. Ia adalah pengingat bahwa sejarah tidak bisa hanya ditulis oleh mereka yang berkuasa. Lewat suara Laut, Leila S. Chudori menghadirkan kembali suara-suara yang dibungkam, memaksa kita untuk mendengar, merenung, dan---pada akhirnya---tidak melupakan. Karena seperti laut, suara-suara itu akan terus bergema, beriak, dan menuntut untuk didengar. Dan selama masih ada yang membaca dan menceritakan ulang kisah ini, maka Laut tidak benar-benar hilang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI