Mohon tunggu...
najma ulya
najma ulya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknologi Sains Data

jalani saja hidup

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penguatan Ideologi Pancasila dalam Menangkal Paham Radikalisme di Kalangan Mahasiswa

25 Juni 2022   18:30 Diperbarui: 25 Juni 2022   18:32 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Konsep dan Ruang Lingkup Radikalisme

Mendefinisikan radikalisme menjadi suatu padanan konsep yang final sangatlah tidak mudah sebab kosakata ini memiliki makna yang majemuk dan tidak dapat dilepaskan dari konteks waktu sehingga maknanya akan selalu mengalami pergeseran. Dalam perspektif ilmiah, radikalisme berakar kata dari bahasa latin “radical” dan juga “radix” yang bermakna “akar” atau “memiliki akar”, ialah suatu konsep yang ingin adanya perubahan signifikan dengan cara kekerasan. Dalam teori sosial radikalisme dikaitkan dengan revolusi secara total untuk melawan status quo atau intervensi rezim penguasa.

Jika ditinjau dari perspektif tersebut, sebenarnya bermakna positif jika dimaksudkan untuk berpikir secara radikal dan fundamental (out of the box) yang digunakan untuk mencari substansi masalah dalam konteks ilmu pengetahuan. Namun, apabila istilah radikal berkembang menjadi -isme atau sebuah paham maka konotasinya menjadi negatif. Ini bisa berpotensi dan berkembang menjadi terorisme, dengan arti lain radikalisme merupakan embrio dari terorisme.

Contoh dimensi radikal yang positif dapat dilihat dari aspek kesejarahan yaitu Gerakan Reformasi 1998 di Indonesia yang menentang dan menggulingkan rezim Orde Baru. Gerakan reformasi tersebut timbul dalam konteks perlawanan sosial-politik rakyat akan otoritas, dominasi, tirani dan kepongahan rezim penguasa yang bertujuan untuk melakukan reformasi dan perubahan mendasar atas sistem pemerintahan dan ketatanegaran agar lebih pro-rakyat dan bermanfaat untuk kemaslahatan rakyat. Meskipun dalam perkembangannya, radikalisme bukan hanya bermakna perlawanan sosial-politik, revolusi, atau reformasi atas rezim penguasa otoriter saja tetapi juga merujuk pada pemikiran, tindakan atau perilaku ekstrem yang keluar dari jalur atau arus dominan.

Tidak bisa dipungkiri radikalisme juga sering diasosiasikan atau dihubungkan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum islamis radikal. Sejak runtuhnya rezim Orde Baru, kaum Islamis radikal secara aktif melakukan berbagai gerakan aksi menolak ideologi negara Pancasila karena dianggap sebagai "ideologi kafir-sekuler” yang tidak Islami atau tidak syar'i. Mereka terlibat dalam berbagai tindakan kekerasan, intoleransi, separatisme, dan terorisme. Hal ini tentunya sangat membahayakan bagi masa depan bangsa dan negara sehingga perlu adanya penindakan secara tegas serta pendekatan strategis agar mereka tidak semakin mencuat yang berpotensi menjadi "bom waktu” di masa yang akan datang. Tetapi mesti juga diperhatikan bahwa kelompok ekstremis dan ideologis bukan hanya dikaitkan dengan kaum Islamis saja, tetapi juga kelompok lainnya seperti separatisme, rasisme, dan etnosentrisme.

Gerakan Radikalisme di Perguruan tinggi

Sebagai induk dan cikal bakal lahirnya tenaga pendidik dan berbagai profesi lainnya, memungkinkan perguruan tinggi rawan terhadap penyebaran aliran radikal. Golongan muda seperti mahasiswa atau pelajar seringkali menjadi sasaran perekrutan kelompok radikal. Hal tersebut dikarenakan usia muda identik dengan pancarian jati diri dan ketidakstabilan emosi dimana aspek ini dimanfaatkan untuk menginfiltrasi ideologi radikal kepada kaum muda.

Adapun penyebaran paham radikal di lingkungan perguruan tinggi dilakukan secara terstruktur dan biasanya menargetkan mahasiswa baru yang berasal dari luar daerah pada masa tahun ajaran baru. Tidak hanya itu, beberapa lembaga survei juga mengungkapkan bahwa sejumlah guru sekolah dan bahkan dosen terpapar oleh paham radikalisme dan bersikap anti-Pancasila. Belum lagi organisasi keagamaan kampus yang secara sistematis dan terstruktur telah disusupi oleh kelompok radikal untuk menyebarluaskan ideologi mereka kepada mahasiswa.

Indikasi adanya penyebaran radikalisme di kalangan mahasiswa diungkapkan secara tegas oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan juga beberapa lembaga survei seperti Alvara Research dan Setara Institute. Salah satu lembaga survei di Indonesia, Alvara Research yang mempublikasikan pada bulan Desember 2020 di Bali mencatat bahwasannya terdapat 12,2 % atau dalam skala nominalnya hampir 30 jutaan masyarakat Indonesia masuk dalam kategori indeks potensi terpapar radikalisme. Diketahui dari data statistik tersebut, sebanyak 85 % di antaranya adalah kaum muda milenial dengan rentang usia 20-39 tahun. Jika dijabarkan secara lebih spesifik, hasil survei menyebutkan bahwa sekitar 23,4 % kaum muda milenial termasuk didalamnya mahasiswa dan pelajar mengaku anti-Pancasila dan mendukung atau pro terhadap khilafah.

Berdasarkan data riset tersebut terhadap 110 pelaku tindakan terorisme, tingkat paling tinggi berada di rentang usia 21-30 tahun yaitu sebanyak 47,3 persen, disusul pada rentang usia 31-40 tahun yaitu sebanyak 29,1 persen. Survei dilakukan dengan subjek sampel mahasiswa dari UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Surabaya, UIN Sumatera Utara, UIN Makassar, UIN Banjarmasin, dan IAIN Padang. Melihat fakta tersebut kebanyakan pelaku radikalisme berada pada usia muda dalam konteks mahasiswa. Kemudian potensi radikalisme di lingkungan mahasiswa yang setuju terhadap jihad menggunakan kekerasan mencapai angka 26,7 persen. Sisanya 68,4 persen tidak setuju dan 4,9 persen tidak punya sikap.

Hasil riset Setara Institute mengungkapkan dua bentuk gerakan radikalisme agama di perguruan tinggi, yakni bentuk ideologi-politik dan bentuk puritanisme agama. Gerakan radikalisme pada bentuk ideologi-politik berkaitan erat dengan motif ideologis yaitu universalisasi doktrin komprehensif agama. Isi dari doktrin tersebut adalah gugusan nilai etis-teologis yang bersumber dari teks-teks agama dimana penganutnya menyakininya sebagai hal yang benar dan mutlak karena bersumber dari Tuhan. Doktrin tersebut bagi penganutnya berfungsi sebagai acuan dalam bertindak dan menilai suatu persoalan tertentu. Sedangkan Gerakan radikalisme bentuk puritanisme agama lebih menekankan cara beragama yang lebih ketat sesuai dengan doktrin-doktrin agama. Puritanisme biasanya berawal dari keinginan untuk melakukan pemurnian (purifikasi) dari segenap paham yang dipandang telah tercampur budaya lokal, takhayul dan khurafat agar kembali pada ‘teks resmi’ masa kenabian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun