BANJAR – Pelemahan harga batu bara di pasar global mulai berdampak pada sektor ketenagakerjaan di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Sebanyak 27 pekerja dilaporkan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat langkah efisiensi operasional yang dilakukan sejumlah perusahaan tambang dalam beberapa bulan terakhir.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Banjar, Siti Mahmudah, mengatakan kondisi ini semakin menambah jumlah pengangguran terbuka di daerah tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Banjar saat ini telah mencapai 8.604 orang.
“Peningkatan angka pengangguran tidak hanya disebabkan oleh bertambahnya jumlah angkatan kerja setiap tahun, tetapi juga dipengaruhi fluktuasi harga komoditas, terutama batu bara yang menjadi sektor andalan daerah,” ujarnya, Jumat (9/8).
Lesunya harga batu bara membuat perusahaan tambang menekan biaya operasional, termasuk dengan mengurangi tenaga kerja. Situasi ini memperberat kondisi pasar kerja lokal yang sejak lama menghadapi tantangan, mulai dari minimnya investasi hingga rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Pemerintah Kabupaten Banjar, kata Siti, terus berupaya menekan angka pengangguran melalui pelatihan kerja, pembukaan akses informasi lowongan, dan penyelenggaraan bursa kerja (job fair) guna mempertemukan perusahaan dengan pencari kerja. Program peningkatan produktivitas kerja juga digalakkan agar tenaga kerja lebih siap bersaing di tengah perubahan iklim ekonomi.
Pelaku usaha tambang, H Adib Rahman, menilai penurunan harga batu bara dipicu kondisi pasar global, termasuk dampak konflik dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang menekan permintaan. “Pasar lesu, harga tidak kompetitif. Perusahaan harus beradaptasi, meski konsekuensinya adalah pengurangan karyawan,” katanya.
Menghadapi situasi ini, Pemkab Banjar mengkaji program diversifikasi ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada sektor tambang. Sektor pertanian dan pariwisata disebut memiliki potensi besar menyerap tenaga kerja. “Kami tidak bisa terus bergantung pada satu komoditas. Ke depan, fokus diarahkan ke sektor yang lebih stabil dan berkelanjutan,” jelas Siti.
Pelatihan kerja pun mulai diarahkan ke keterampilan pertanian organik, pengolahan hasil perkebunan, serta hospitality untuk mendukung pariwisata lokal.
Sementara itu, para pekerja yang terkena PHK mengaku terpukul. “Kami tidak menyangka akan secepat ini. Harapannya, pemerintah bisa memberi solusi agar kami bisa bekerja lagi atau mendapat pelatihan untuk pekerjaan baru,” tutur salah satu mantan pekerja yang enggan disebutkan namanya.
Pemerintah daerah bersama lembaga swadaya masyarakat kini menyiapkan bantuan psikologis dan pendampingan bagi korban PHK, termasuk opsi bantuan sosial darurat jika kondisi ekonomi memburuk.