Mohon tunggu...
Naillah Andita
Naillah Andita Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya saat ini sedang berada di jenjang s1 dengan program studi ilmu politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pengadaan Chromebook oleh Kemendikbudristek: Dampaknya terhadap Kesenjangan Digital di Dunia Pendidikan

8 September 2025   19:44 Diperbarui: 8 September 2025   19:44 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam upaya mendorong digitalisasi pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (kemendikbudristek) mengeluarkan program pengadaan perangkat TIK termasuk laptop berbasis sistem operasi chromebook untuk sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Program ini diusulkan di masa kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim sebagai bagian dari strategi transformasi digital pendidikan, terutama pasca pandemi covid-19 yang mempercepat digital teknologi dalam proses belajar-mengajar.

Namun akhir-akhir ini kemendikbudristek menjadi perbincangan di media sosial karena adanya sejumlah fakta yang baru diketahui publik. Pada Mei 2025, Kejaksaan Agung secara resmi menaikkan status dugaan korupsi chromebook ke tahap penyidikan. Hal ini mendakan adanya bukti yang cukup mengenai tindak pidana, sehingga pejabat kemendikbudristek dan mantan staf khusus menteri telah diperiksa. Dalam penyelidikan ini, ditemukan indikasi kerugian negara yang diperkirakan mencapai hampir Rp. 2 triliun.

Secara umum, pengadaan ini dilaksanakan melalui Dana Satuan Pendidikan (DSP) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan total anggaran yang mencapai hampir Rp. 9,98 triliun. Chromebook sendiri dipilih karena dianggap sebagai solusi agar hemat biaya dan efisien dalam pengelolaan kontrol perangkat lunak. Sistem operasi chrome di desain agar tidak memerlukan lisensi mahal seperti windows dan dianggap lebih aman serta mudah diakses untuk keperluan pendidikan.

Akan tetapi pelaksanaan kebijakan ini kemudian menimbulkan berbagai kritik, salah satunya adalah chromebook yang ternyata dinilai tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi geografis dan infrastruktur Indonesia khususnya pada wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Chromebook sangat bergantung pada koneksi internet untuk bisa digunakan secara optimal, namun ada banyak sekolah yang memiliki akses internet terbatas dan tidak stabil. Hasil uji coba yang pernah dilakukan pada awal tahun 2019 juga menunjukkan bahwa perangkat ini tidak efektif untuk digunakan di banyak wilayah.

Isu ini semakin memanas karena muncul dugaan adanya praktik mark-up harga dan penyalahgunaan wewenang dalam proses pengadaan. Harga satu unit chromebook dalam pengadaan bisa mencapai Rp. 10 juta, padahal harga pasar perangkat sejenis jauh lebih rendah dan hanya berkisar antara Rp. 2-5 juta. Proses pengadaan ini juga dilakukan secara kurang transparan dan diduga vendor yang digunakan hanya berasal dari kalangan tertentu. Hal ini justru menimbulkan kecurigaan publik terhadap kemungkinan adanya kolusi, nepotisme, dan pelanggaran prosedur dalam proyek berskala nasional tersebut.

Disisi lain, Nadiem Makarim menyatakan bahwa pengadaan ini telah melalui pendampingan hukum dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) serta audit oleh BPKP. Nadiem menyampaikan bahwa proyek ini bertujuan untuk mempercepat pemerataan akses pendidikan digital dan telah menjangkau lebih dari 77.000 sekolah, namun pernyataan ini tidak meredakan kritik dari berbagai kalangan termasuk pengamat pendidikan, praktisi teknologi, dan organisasi masyarat sipil.

Isu pengadaan chromebook ini menggambarkan kompleksitas kebijakan publik di sektor pendidikan terutama saat berkaitan dengan pengadaan teknologi dalam skala besar. Kasus ini menyisakan pertanyaan besar mengenai efektivitas dan akuntabilitas transformasi digital di bidang pendidikan. Meskipun niat awal dari adanya program ini, namun lemahnya perencanaan dan minimnya keterlibatan publik, serta potensi penyimpangan anggaran menjadikan proyek ini sebagai contoh nyata dari pentingnya reformasi tata kelola pengadaan di sektor pendidikan agar lebih transparan, adil, dan sesuai kebutuhan nyata di lapangan.

Solusi dari  isu pengadaan Chromebook oleh Kemendikbudristek yang sedang ramai dibicarakan harus mencakup transparansi penuh dalam proses pengadaan agar masyarakat dapat mengawasi penggunaan anggaran. Perencanaan ini sebaiknya melibatkan sekolah dan masyarakat daerah agar perangkat yang dibeli sesuai kebutuhan dan kondisi lokal. Infrastruktur pendukung seperti internet dan pelatihan guru harus diprioritaskan sebelum distribusi perangkat dilakukan. Masyarakat juga harus menuntut penegakan hukum yang tegas terhadap pihak yang menyalahgunakan anggaran agar kepercayaan publik terhadap pemerintah tetap terjaga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun