"Hukum adalah panglima," begitu kata pepatah. Seharusnya, hukum adalah alat keadilan yang imparsial, berdiri tegak tanpa memandang status sosial atau kekuasaan. Namun, di negeri ini, kita sering melihat realita yang jauh panggang dari api. Sebuah adagium yang sering terucap di warung kopi hingga ruang diskusi kampus: "Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas."
Ironi ini bukan sekadar retorika kosong, melainkan cerminan nyata dari sistem peradilan yang kerapkali menyakitkan hati nurani. Mari kita bedah kritik sosial ini lebih dalam.
Kisah Pilu Orang Kecil vs. Impunitas Kaum Berpunya
Kita sering disuguhi berita-berita yang membuat dahi mengernyit. Seorang nenek tua yang mencuri beberapa buah kakao demi menyambung hidup, diganjar hukuman penjara yang tak main-main. Di sisi lain, kasus-kasus korupsi bernilai triliunan rupiah, atau kejahatan lingkungan oleh korporasi besar, seringkali berakhir dengan vonis ringan, atau bahkan menguap begitu saja tanpa jejak.
Kasus Nenek Minah yang divonis 1 bulan 15 hari penjara karena mencuri tiga buah kakao di perkebunan P.T. Rumpun Sari Antan (RSA) adalah salah satu contoh klasik yang menjadi simbol ketidakadilan. Bandingkan dengan sejumlah kasus mega korupsi yang kerugian negaranya mencapai miliaran, namun pelakunya hanya divonis beberapa tahun, bahkan bisa menikmati fasilitas mewah di balik jeruji besi.
Ini bukan tentang membenarkan pencurian, tetapi tentang proporsionalitas dan prioritas penegakan hukum. Mengapa energi dan sumber daya negara lebih maksimal digunakan untuk mengejar "ikan teri" daripada "ikan paus" yang merusak ekosistem?
Faktor-Faktor di Balik Ketidakadilan
Mengapa fenomena "tajam ke bawah, tumpul ke atas" ini terus berulang?
1. Akses Hukum dan Advokasi: Rakyat kecil seringkali tidak memiliki akses yang sama terhadap bantuan hukum berkualitas. Mereka menghadapi sistem yang rumit tanpa pendampingan yang memadai, sehingga rentan menjadi korban ketidakadilan. Sebaliknya, kaum berpunya mampu menyewa pengacara top yang handal mencari celah hukum.
2. Intervensi Kekuasaan dan Uang: Tidak bisa dipungkiri, kekuatan uang dan kekuasaan masih sering menjadi penentu dalam proses hukum. Lobi-lobi di balik layar, suap, hingga tekanan politik, bisa mengubah arah kasus, terutama yang melibatkan figur-figur penting.
3. Mentalitas Penegak Hukum: Kualitas integritas dan moral sebagian oknum penegak hukum juga menjadi sorotan. Ketika aparat yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan justru mudah disuap atau diintervensi, maka harapan akan hukum yang adil hanyalah ilusi.