Belajar sejarah kerap kali dianggap tidak asyik. Identik dengan hafalan nama tokoh dan tahun peristiwa. Terkadang mereka juga mengeluh. Mengapa pelajaran sejarah harus mengingat tanggal dan nama tokoh. Mereka yang menatap buku sejarah seringkali benar benar tidak paham maknanya. Sisi lainnya, mereka bisa menghabiskan berjam-jam menonton video pendek tentang tokoh legenda atau penjelasan mengenai perang dunia di media sosial. Fenomena ini menyiratkan satu hal: cara belajar sejarah perlu berubah. Generasi muda saat ini tumbuh di tengah arus digital. Teknologi hadir membawa peluang baru. Terbiasa dengan visual yang interaktif hingga kecepatan informasi. Dapat muncul di layar, ruang interaktif, sampai di genggaman tangan. Karena itu, penggunaan teknologi pada pembelajaran sejarah dibutuhkan.
Kita ambil contoh ketika belajar tentang Candi Borobudur melalui 3D virtual. Kita dapat menjelajahi bentuk relief, mendengar penjelasan narasi dan melihat bagaimana bentuk candi berubah dari waktu kw waktu dalam satu genggam. Pembicaraan barusan bukan lagi khayalan. Museum-museum dunia sudah melakukannya. Lokasi bersejarah yang terdapat di Indonesia beberapa di antaranya telah disiapkan untuk didigitalisasi sehingga pendidikan sejarah bisa dibelajarkan dimanapun, kapanpun. Teknologi berupa augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) kini membuat pembelajaran sejarah lebih memikat. Siswa dibawa “berjalan” atau masuk di kejadian di masa lalu. Melalui hal ini, imajinasi akan mengembang, rasa ingin tahu pun hidup. Alat seperti Google Arts & Culture atau situs arsip digital Delpher bahkan membuka akses yang luas bagi siapa saja yang ingin belajar sejarah. Pada masa ini, sejarah tidak lagi kepunyaan sejarawan saja, tetapi milik semua orang yang ingin memahami asal usul bangsanya.
Teknologi bagi sejarawan bukan sekadar hiburan saja. Melainkan ia adalah alat bantu yang memudahkan pengkajian. Dokumen lawas, arsip kolonial, sampai peta lama sekarang sudah bisa diperoleh aksesnya dari mana saja. Digitalisasi memberi ruang untuk mahasiswa menyusuri jejak masa lalu tanpa batas geografis, Namun, teknologi bukanlah segalanya. Ia hanya alat, bukan pengganti nalar kritis. Cendekiawan sejarah tetap harus bisa memilih dan memilah data, serta menganalisis kejadian dengan hati-hati. Dalam cakupan dunia digital yang serba cepat dan luas, kemampuan berpikir sistematis menjadi kunci agar sejarah tidak hanya menjadi sekedar tontonan. Mempelajari sejarah melalui media digital bukan soal kemewahan, melainkan soal efisiensi. Dunia pendidikan perlu melakukan adaptasi agar tidak tertinggal. Apabila generasi baru hidup di era digital, maka sejarah pun juga harus hadir di sana dengan jati dirinya.
Meskipun memiliki banyak manfaat, tidak menutup kemungkinan penggunaan teknologi juga membawa hambatan. Tidak semua sekolah atau kampus memiliki fasilitas digital yang akseptabel. Di beberapa daerah, akses terhadap internet pun masih sangat terbatas. Oleh sebab itu, kesenjangan digital bisa memperlebar jarak antara pelajar di kota dengan pelajar yang ada di desa. Tantangan ini tidak boleh diabaikan. Modernisasi pembelajaran harus berjalan dengan seimbang, tanpa meninggalkan mereka yang belum memiliki akses yang sama.
Setelahnya, kejenuhan informasi di dunia maya juga memicu permasalahan baru. Tidak semua konten sejarah yang beredar dapat dipertanggungjawabkan. Terdapat banyak narasi yang dibuat tanpa sumber jelas, bahkan ada yang dimodifikasi agar terlihat menarik di media sosial. Padahal, sejarah itu tidak hanya soal cerita, tetapi juga soal kebenaran. Di sinilah peran pendidik dan akademisi menjadi. Mereka harus hadir untuk mengarahkan, meluruskan, serta menerapkan sikap kritis pada generasi muda. Dalam konteks ini, teknologi seharusnya sudah menjadi jembatan, bukan jebakan. Jembatan yang menghubungkan generasi masa kini dengan nilai-nilai pengalaman masa lampau dan tanpa kehilangan maknanya.
Dapat kita pelajari dari negara lain yang telah menggabungkan sejarah dan teknologi secara serius. Misalnya, Jepang, menggunakan museum digital yang memungkinkan pengunjung berinteraksi langsung dengan artefak virtual. Sesungguhnya, Indonesia memiliki potensi besar untuk melakukan hal yang serupa. Banyak diantaranya seperti naskah kuno, koleksi arsip yang bisa diubah menjadi bahan pembelajaran digital ke tingkat lebih premium. Yang dibutuhkan hanya kesadaran, kemauan, dan kerja sama akan pentingnya inovasi dalam pelestarian sejarah. Kolaborasi, adalah kuncinya. Akan tetapi, tak boleh lupa kalau teknologi hanyalah alat semata. Nilai dan arah pemanfaatannya masih tergantung pada manusianya. Sebaik apapun perangkat digitalnya, jika tanpa niat untuk belajar dan memahami, sejarah tetap akan terasa “jauh”.
Seperti kata Benedict Anderson, “Bangsa adalah komunitas yang dibayangkan”, maksudnya, rasa kebangsaan terbentuk dari pikiran bersama akan pengalaman sejarah. Jika generasi muda tidak lagi mengenali sejarahnya, maka perasaan kebangsaannnya pun hilang. Pada akhirnya, teknologi tidak akan menggantikan sejarah. Sifatnya hanya meluaskan seiring cara kita berinteraksi dengannya. Semakin hidup. Semakin dekat. Semakin berkaitan dengan dunia yang kita tinggali sekarang ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI