Bayangkan seorang pengusaha kecil di Surabaya yang harus mengimpor bahan baku dari luar negeri. Tiap kali nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), biaya produksinya melonjak. Di sisi lain, eksportir kopi di Toraja mungkin justru tersenyum, karena setiap pelemahan rupiah meningkatkan keuntungan ekspornya. Itulah paradoks nilai tukar: ia menyentuh kehidupan ekonomi dari berbagai sisi. Pada awal 2025, fenomena ini kembali menjadi perhatian, ketika rupiah menyentuh angka di atas Rp16.200 per dolar AS—sebuah pengingat bahwa stabilitas nilai tukar adalah jantung dari dinamika ekonomi nasional.
Kurs dalam Sistem Moneter Internasional
Sistem Moneter Internasional (SMI) merupakan kesepakatan global yang mengatur nilai tukar mata uang dan transaksi keuangan antarnegara. Dalam sejarahnya, dunia telah melewati berbagai sistem kurs: mulai dari standar emas, Bretton Woods dengan sistem kurs tetap berbasis dolar, hingga kurs mengambang yang berlaku saat ini.
Indonesia sendiri menganut sistem kurs mengambang terkendali, di mana nilai tukar rupiah dibiarkan bergerak mengikuti pasar, tetapi tetap dipantau dan diintervensi oleh Bank Indonesia jika fluktuasi dianggap mengganggu stabilitas ekonomi. Pendekatan ini merupakan bentuk adaptasi dari dinamika SMI modern, yang memungkinkan fleksibilitas dalam menghadapi gejolak eksternal sekaligus mempertahankan stabilitas domestik.
Dalam konteks ini, pemahaman terhadap jenis-jenis sistem kurs seperti floating, fixed, dirty float, dan currency peg menjadi sangat penting. Indonesia tidak memilih sistem kurs tetap karena rentan terhadap serangan spekulatif dan kehilangan kontrol kebijakan moneter. Di sisi lain, sistem kurs mengambang penuh dianggap terlalu volatil bagi negara berkembang yang ekonominya masih bergantung pada perdagangan dan arus modal asing.
Penyebab Tekanan terhadap Rupiah
Sejak paruh kedua tahun 2024, rupiah berada dalam tekanan yang cukup besar. Kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve mendorong investor global menarik dananya dari pasar negara berkembang. Fenomena ini mencerminkan bagaimana sistem kurs mengambang dapat menyebabkan depresiasi tajam mata uang domestik ketika arus modal bergerak keluar secara besar-besaran.
Selain itu, faktor geopolitik global dan kenaikan harga energi juga memperburuk tekanan terhadap rupiah. Ketergantungan Indonesia pada dolar AS dalam perdagangan dan pembayaran utang memperbesar dampaknya. Dalam sistem moneter global saat ini, mata uang seperti rupiah yang tergolong "soft currency" cenderung mengalami depresiasi ketika krisis global terjadi, berbeda dengan "hard currency" seperti dolar AS, euro, atau yen yang biasanya menguat.
Respons Bank Indonesia dalam Kerangka SMI
Sebagai respons terhadap tekanan kurs, Bank Indonesia melakukan berbagai langkah kebijakan yang sesuai dengan praktik sistem kurs mengambang terkendali:
- Intervensi di pasar valuta asing, membeli atau menjual dolar untuk menstabilkan nilai tukar.
- Penyesuaian suku bunga kebijakan (BI rate) untuk menjaga daya saing aset berdenominasi rupiah.
- Penerbitan SRBI dan instrumen moneter lainnya untuk menarik investasi portofolio.
- Mendorong kerja sama LCS (Local Currency Settlement) untuk mengurangi dominasi dolar dalam transaksi internasional.
Tindakan-tindakan ini mencerminkan prinsip dalam sistem kurs mengambang terkendali, di mana bank sentral melakukan "leaning against the wind"—yaitu, menstabilkan pergerakan kurs agar tidak menimbulkan guncangan berlebihan terhadap perekonomian.