Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Penulis, Pewarta, Pemerhati Sosial

Penyuka Kopi Penikmat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seribu yang Bermakna: Kisah Warga Tasikmalaya Bangun Solidaritas Tanpa Anggaran Negara

8 Oktober 2025   13:37 Diperbarui: 8 Oktober 2025   13:41 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pengurus Kampung Selaawi Tuguraja Cihideung Kota Tasikmalaya memperlihatkan pembukuan "Gerbu" saldo hampir seratus jutaan 7/10/2025 Foto: Kompas

Di sebuah sudut Kota  Tasikmalaya, tepatnya di Kampung Selaawi, Kelurahan Tuguraja Kecamatan Cihideung, ada kisah sederhana yang kini bisa menjadi inspirasi banyak daerah. Selama lebih dari satu tahun, warga di sana menjalankan gerakan gotong royong yang mereka sebut Gerbu, Gerakan Seribu Rupiah per Hari seperti dikutip Kompas Selasa 7/10/2025

Setiap kepala keluarga menyisihkan uang seribu rupiah setiap hari untuk membantu sesama. Jumlahnya memang kecil, tapi dampaknya besar. Dari uang receh yang terkumpul, kampung itu berhasil membangun solidaritas, rasa percaya, dan sistem sosial yang kuat tanpa bergantung sepenuhnya pada pemerintah.

Kini, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, meluncurkan imbauan serupa bernama Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu atau Poe Ibu. Program ini bertujuan mengajak masyarakat Jawa Barat menyumbang seribu rupiah per hari untuk menolong warga yang membutuhkan. 

Namun, kebijakan ini menimbulkan beragam reaksi. Ada yang menilai langkah itu bagus untuk menumbuhkan semangat gotong royong, tapi tak sedikit yang khawatir gerakan ini malah berubah jadi beban jika tidak dikelola dengan baik.

Dari sinilah menarik untuk melihat bagaimana Gerbu di Selaawi bisa berhasil, sementara kebijakan serupa dari pemerintah butuh pendekatan yang lebih hati-hati.

Dari Kesadaran, Bukan Perintah

Di Selaawi, gerakan seribu rupiah lahir bukan karena imbauan pemerintah, melainkan dari kesadaran kolektif masyarakat. Warga menyadari bahwa tak semua kebutuhan sosial bisa langsung dijawab oleh birokrasi. Ada waktu tunggu, ada syarat administrasi, sementara bantuan sering kali dibutuhkan segera. Dari situlah muncul inisiatif untuk membuat kas bersama.

Keberhasilan Selaawi bukan hanya karena teknis  pengumpulan uangnya, tapi karena kepercayaannya. Warga tahu siapa yang mengelola dana, untuk apa digunakan, dan kepada siapa disalurkan. Tak ada yang merasa dipaksa, tak ada tekanan. Yang ada justru rasa bangga karena ikut berkontribusi. Transparansi menjadi fondasi, sementara rasa kebersamaan menjadi jiwanya.

Jika ditarik pelajaran, keberhasilan seperti ini tidak muncul dari sistem yang rumit, melainkan dari pemahaman mendalam tentang kebutuhan masyarakat sendiri. Pemerintah bisa belajar dari pola pikir ini: program sosial yang efektif tak selalu dimulai dari surat edaran, tetapi dari partisipasi yang tumbuh secara alami.

Antara Kebijakan dan Kearifan Lokal

Langkah Gubernur Dedi Mulyadi untuk mengajak masyarakat berdonasi seribu rupiah per hari sebenarnya berangkat dari niat baik, membangkitkan semangat gotong royong di tengah zaman yang serba individualistis. Namun, jika ingin berhasil, pendekatan dari atas (top-down) perlu disesuaikan dengan realitas di lapangan.

Kampung seperti Selaawi menunjukkan bahwa gotong royong bukan sekadar konsep, melainkan budaya yang sudah hidup dan berakar. Ketika pemerintah mencoba meniru pola ini, yang perlu dijaga adalah roh kebersamaan itu sendiri. Jangan sampai gerakan sosial yang lahir dari keikhlasan berubah menjadi rutinitas administratif yang kehilangan maknanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun