Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bangsa Ini Bertumbuh Tanpa Tujuan

30 Maret 2016   23:47 Diperbarui: 2 April 2016   01:11 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Membangun Karakter Bangsa"][/caption]

Menarik mengamati fenomena sosial akhir-akhir ini. Utamanya dunia seputar media sosial. Hampir semua kejadian di mana pun pastilah termuat dalam media sosial. Mulai dari penyanyi yang tidak tahu tentang lambang negara, percakapan cadas antara Gubernur DKI dengan Najwa Shihab, kunjungan Presiden ke Hambalang sebagai jawaban telak dari ocehan mantan presiden yang gemar sekali bilang “jaman saya dulu”, hasutan balon cagub DKI tentang pemimpin yang tidak beretnis dan beragama tertentu, gusuran tempat ibadah, sweeping ormas (ngakunya) beragama terhadap kepala daerah, dan masih banyak lagi. Tidak kalah ramai silang pendapat para menteri yang terungkap ke publik.

Wuihh... Alangkah meriahnya negeriku, Indonesia. Saya membayangkan, betapa melelahkannya bila kita, sebagai rakyat biasa, tiap hari mengikuti tingkah polah para pemimpin di negeri ini. Pun juga tingkah para netizen yang tanpa filter mengumbar umpatan, makian bahkan gambar-gambar melecehkan pimpinan di media sosial. Berita-berita positif, semisal prestasi olahraga, kenaikan devisa, keberhasilan panen di tengah musim hujan, dan sebagainya, tak terdengar gaungnya. Apa karena tidak ada atau memang tidak bernilai jual sehingga berita semacam itu tidak mampu bersaing dalam media-media yang ada? Entahlah.

Kilasan peristiwa-peristiwa yang saya sebutkan di awal tadi memunculkan lintasan kalimat dalam benak saya, ‘Bangsa ini sedang bertumbuh tanpa tujuan yang jelas’. Ya! Tanpa tujuan nilai-nilai perilaku. Bila ada konsep revolusi mental, maka saya belum melihat aplikasi nyatanya. Mungkin memang diperlukan tangan besi untuk melakukan revolusi mental. Bukan dengan pendekatan humanis, tapi ketegasan yang dibalut dengan nada otoriter. Katanya kita harus bisa menikmati buah dari demokrasi. Namun menurut saya jauh lebih penting konsep demokrasi yang membawa bangsa ini pada keluhuran nilai. Apalah artinya bisa bebas mengemukakan pendapat atas nama demokrasi (freedom of speech) bila hal itu tidak membawa kebaikan baik bagi penyuaranya maupun pendengarnya?

Kalau ditanya dengan satu kalimat sederhana, “Orang Indonesia itu kayak apa sih?”. Dulu mungkin jawabannya gampang yaitu ramah, suka menolong, senang gotong royong (sampai ada rumah sakit bernama demikian di Surabaya) dan sebagainya. Maka saat ini agak sulit menjawab dengan pasti pertanyaan itu. Jawaban bagus pastilah ingin diberikan, namun secepat itu sanggahan muncul dalam benak. Mari kita lihat satu persatu.

Orang Indonesia itu ramah. Sanggahan secepat kilat muncul tak terucap : tapi di medsos banyak juga sih yang maki-maki orang lain, bahkan Presiden RI dimaki pula. Kalau bulan puasa tiba, selain perasaan senang bagi yang menjalankan, ada pula perasaan was was di beberapa kalangan karena takut gerombolan (pengaku) penganut agama tertentu melakukan sweeping gila-gilaan. Jadi, ramah yang bagaimana? Dan di mana?

Orang Indonesia itu orangnya jujur. Bisa dipercaya. Kernyitan alis akan muncul seiring gambaran peristiwa tertangkap tangan oleh KPK seorang pejabat tinggi negara, baju orange dipakai oleh si A, B, C, dst, pungli di kuburan (di negeri ini mati pun tidak tenang), revisi UU KPK, dan koar-koar para pemerhati tentang calon-calon pejabat/mantan yang layak dijadikan tersangka korupsi.

Orang Indonesia itu adalah insan beragama. Terbukti dari jumlah pemeluk agama dan banyaknya tempat ibadah dibangun di negeri ini. Hmm... Bila sungguh-sungguh beragama, mendalami ajaran agama masing-masing, maka para pemeluk agama itu akan menyadari bahwa hidup berdampingan tanpa saling menghancurkan/membunuh/menghasut adalah esensi dari ajaran agamanya. Inti ajaran agamanya tentu saja tidak mengajarkan “hancurkan orang lain agar engkau masuk Surga”. Saya lupa siapa yang berkata bahwa orang beragama belum tentu ber-Tuhan. Ya, terdapat perbedaan antara beragama dan memiliki kehidupan spiritualitas. Bila orang-orang yang mencantumkan agama pada KTP-nya sungguh-sungguh mencantumkan agamanya pada pikiran-hati-tindakannya, maka mereka akan menyadari betul bahwa Tuhan senang dengan keberagaman.

Sejak semula perbedaan memang diciptakan-Nya. Kalau tidak, maka gunung-gunung akan sama tingginya, laut sama dalamnya, wajah manusia akan serupa di seluruh dunia, ritual agama akan sama, warna daun hijau pun akan sama. Lalu siapakah manusia yang berani meniadakan perbedaan dan keberagaman itu atas nama agama yang dianutnya? Bukankah dengan demikian ia menggugat Allah yang Maha Kuasa?

Menurut saya, bangsa ini perlu punya patokan pertumbuhan psikologis dan spiritual yang jelas. Character building mungkin lebih tepat. Dan hal itu berlaku sama di seluruh pelosok negeri. Susah pastinya, komentar para pesimis. Kita khan diciptakan dengan kehendak bebas, kata penganut aliran individualis. Ya, saya setuju. Namun perlu diingat bahwa sejatinya manusia diciptakan bukan untuk berbuat sebebas-bebasnya. Justru dalam kebebasan absolut terletak ketidakbebasan. Maka manusia perlu batasan norma dan nilai akan tercapai kebebasan bertumbuh dan bermakna.

Saya mendambakan sebuah masyarakat yang sejahtera fisik, psikis dan spiritual. Tidak muluk-muluk. Hanya satu contoh sederhana. Orang Indonesia itu punya integritas. Saya bisa bangga katakan hal itu pada orang luar yang bertanya. Saya akan katakan, “Kalian bisa mengandalkan orang-orang Indonesia. Mereka adalah orang dengan integritas. Apa yang mereka katakan, itulah yang mereka lakukan”. Kapankah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun