Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Angpao di Hari Lebaran

12 Juni 2018   01:02 Diperbarui: 12 Juni 2018   01:13 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak saya kecil, sekitar SD, ayah saya selalu menyediakan uang receh dan lembaran menjelang Lebaran. Uang lembaran kertas dengan nilai nominal terkecil tersedia dengan bau kertas baru. Ya, ayah saya punya uang baru beberapa bendel. Ketika tiba hari Lebaran, ada anak-anak kecil dari kampung belakang rumah yang datang dan berteriak, "Assalamualaikum...". Mereka datang berbondong-bondong. 

Tidak pernah hanya 1 anak. Minimal 2-3 orang. Lalu ayah saya keluar rumah dan menjawab, "Iyaaa... ". Anak-anak kecil itu berebutan bersalaman dengan ayah saya yang dibalas dengan ucapan selamat Lebaran. Setelah itu mereka akan dapat beberapa lembar uang baru. Kalau kami punya rejeki lebih, ada bingkisan permen dan kue yang dibagikan juga. Saya dan adik-adik tentu saja ikut dalam keramaian itu. Kami ikut membagikan uang baru ke mereka sambil bersalaman. 

Selang beberapa menit kemudian, akan ada gelombang berikutnya. Anak-anak berbeda datang lagi. Kadang-kadang ada yang agak bandel, ikut datang lagi di kelompok yang berbeda. Herannya, ayah saya hafal siapa yang sudah diberi angpao dan siapa yang belum. Kalau ketahuan ada yang mencoba balik lagi, ayah saya menegur sambil bercanda, "Kamu sudah dapet tadi ya.. Gantian sama yang lain". 

Gelombang anak-anak itu terus menerus datang selama 2 hari Lebaran mulai dari pagi hingga sore hari. Kebiasaan yang berlangsung hingga kini. Karena hal itu sudah menjadi tradisi bagi keluarga kami, maka menjelang hari Lebaran biasanya kami saling mengingatkan untuk menukarkan uang. Setelah itu uang-uang baru, disertai permen atau kue kalau ada, disiapkan di meja ruang tamu. 

Dan kami siap menunggu anak-anak berteriak, "Assalamualaikum....". Kebiasaan ini masih berlanjut hingga kami punya keluarga sendiri. Cucu-cucu ayah saya yang menggantikan kami untuk membagikan uang baru ke anak-anak itu (anak yang berbeda lho yaa.. Mungkin mereka anaknya anak yang sering datang  sebelumnya). 

Memang keluarga kami tidak merayakan Lebaran, tapi kami ikut bergembira dengan berbagi rejeki yang kami peroleh. Saya sendiri tidak jelas kapan kebiasaan itu dimulai dan bagaimana awalnya sehingga anak-anak itu tahu kalau rumah kami selalu terbuka saat Lebaran. Tidak semua rumah di kompleks perumahan kami yang punya kebiasaan tersebut. Seiring dengan bertambah usia ayah dan kami, maka jumlah uang meningkat. Nominal yang dibagikan pun naik. Ayah saya berpesan kalau kita kerja ini ya salah satunya untuk berbagi dengan anak-anak itu. 

Kebiasaan membagikan uang di hari raya berlanjut di mana ayah saya bekerja saat ini. Ayah saya bekerja di sebuah desa nun jauh di sana. Warganya tidak sering menerima penduduk baru. Namun keakraban mudah terjalin. Lebaran tahun lalu kami sekeluarga "mudik" ke perkebunan desa tersebut. Anak-anak kecil berteriak, "Opa China.. Opa China.. " ketika ayah dan kami lewat. Ayah saya tersenyum, lalu katanya, "Besok ke rumah Opa yaaa.. ". Mereka serempak menjawab, "Iyaaa.... ". Ya, mereka tahu ada apa di rumah Opa China-nya. Ada uang lembaran baru dan makanan.. hehehe... Dan keesokan harinya kebiasaan masa lalu terulang kembali. Sungguh menyenangkan!

Bagi saya, kebiasaan memberikan dan menerima angpao di hari raya bukanlah hal yang aneh atau menimbulkan kebiasaan buruk bagi anak-anak. Bila Imlek datang, saya dan adik-adik akan berpakaian terbagus dan ikut ayah ibu saya berkunjung ke keluarga, teman-teman orangtua kami, dan juga atasan kerja ayah saya. Apa yang kami harapkan? Makanan dan uang, tentu saja.. hahaha... 

Makanan yang hanya bisa dilihat setahun sekali, bentuknya unik dan rasanya lezat. Uang angpao yang diterima setahun sekali berguna untuk menambah tabungan, beli barang kesukaan, dan sebagainya. Makin ke sini memang anak-anak makin pintar menilai jumlah uang. Keponakan saya yang masih berusia 6 tahun berkomentar, "Tante Lia, kok cuman 10 ribu? Aku nggak bisa beli mainan". Haiyaaa... 

Selama bertahun-tahun menerima angpao, saya kok nggak punya mental pengemis dan berharap hanya angpao ya? Memang sih ada keluarga dan teman-teman ayah saya yang sering memberikan lebih banyak daripada yang lain, tapi bukan berarti saya hanya senang berkunjung ke satu tempat itu saja. Anak-anak saya yang sekarang kebagian peran menerima angpao, juga tidak bermental peminta-minta kalau hari raya datang. Mereka berharap sih iya. Dan sepertinya berharap akan menerima angpao itu wajar bagi anak-anak. 

Saya malah heran kalau orang dewasa berharap anak-anak tidak berharap mendapatkan angpao ketika hari raya. Kenapa anak-anak tidak boleh berharap mendapatkan angpao saat Lebaran? Selain angpao mereka berharap dapat makanan, kue, coklat, apa saja yang tersaji di atas meja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun