Di tengah tekanan ekonomi yang makin terasa nyata, mulai dari naiknya harga kebutuhan pokok, terbatasnya lapangan pekerjaan, hingga sulitnya akses modal usaha, menjadikan masyarakat kecil sering kali berada di posisi paling rentan. Banyak usaha mikro mati-matian bertahan seadanya, bahkan tak sedikit yang terpaksa gulung tikar. Dalam kondisi ini, Islam hadir bukan hanya sebagai teori melainkan solusi nyata, yaitu zakat.Â
Indonesia adalah negara dengan mayoritas masyarakat pemeluk agama Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa masih sangat banyak masyarakat muslim yang berada dalam kondisi perekonomian menengah ke bawah. Hal ini perlahan membuat orang berpikir: "Apakah zakat bisa lebih dari sekadar bantuan konsumtif?" Menurut saya tentu bisa, bahkan sangat bisa. Karena zakat tidak pernah dibatasi untuk sekadar membantu kebutuhan harian. Jika zakat dikelola secara produktif, ia bisa menjadi alat pemberdayaan yang menghidupkan kemandirian para mustahik yang memiliki usaha kecil dari dasar. Selama ini zakat identik dengan bantuan konsumtif: beras, sembako, atau santunan tunai. Semua itu tidak salah. Namun jika zakat terus berhenti di sana, maka manfaatnya hanya sesaat. Padahal dalam perspektif ekonomi Islam, zakat bisa menjadi instrumen produktif yang berpotensi menghidupkan usaha kecil dan menumbuhkan kemandirian mustahik.
"Zakat & Potensi Besar yang Belum Maksimal"
Indonesia memiliki potensi zakat yang sangat besar. Menurut kajian BAZNAS, potensi zakat nasional mencapai Rp. 327 triliun per tahun. Sayangnya, realisasi penghimpunan masih jauh di bawah angka tersebut. Artinya, ruang optimalisasi masih sangat luas. Jika potensi ini benar-benar digarap, zakat bisa menjadi motor ekonomi umat. Tidak hanya mengentaskan kemiskinan, tetapi juga menggerakkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia.
"Dari Konsumtif ke Produktif"
Penggunaan zakat secara konsumtif tetap penting, terutama untuk kebutuhan mendesak. Namun, agar dampaknya berkelanjutan dieprlukan inovasi yang bisa membuat zakat dikelola secara produktif. Caranya adalah menjadikan zakat sebagai modal usaha bagi mustahik, lengkap dengan pendampingan dan akses pasar. Contoh sederhana: pedagang kecil diberi modal tambahan untuk memperbesar stok barang, peternak mendapat bantuan bibit hewan, atau penjahit dibekali peralatan baru. Dengan begitu, zakat tidak hanya menyelesaikan masalah sesaat, melainkan membuka jalan menuju kemandirian ekonomi.
"ZCorner: Bukti Nyata di Lapangan"
Salah satu contoh nyata datang dari Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Pada 3 Mei 2025, telah diresmikan kehadiran ZCorner di masjid Lasi Mudo Kecamatan Tanjung Raya sebagai bentuk program pemberdayaan ekonomi umat. ZCorner adalah bentuk inovasi pendistribusian zakat yang dihadirkan oleh BAZNAS RI sejak Agustus 2024, agar zakat tidak hanya sekadar bantuan konsumtif lagi. Tetapi, zakat juga menjadi pilar penting penggerak ekonomi masyarakat. ZCorner BAZNAS merupakan konsep pusat pemberdayaan ekonomi yang dikelola oleh Badan Amil Zakat Nasional untuk membina dan memasarkan produk UMKM mutahik (penerima zakat) agar mandiri dan berpotensi menjadi muzaki (pemberi zakat) di masa depan. ZCorner tidak hanya menjadi tempat distribusi zakat, tetapi juga ruang belajar kewirausahaan bagi mustahik. Mereka yang mendapat bantuan modal usaha juga dibekali dengan pendampingan, pelatihan, serta peluang kolaborasi. Program ini mendorong mustahik naik kelas: dari penerima zakat menjadi pengusaha kecil yang mandiri. Inisiatif seperti ZCorner membuktikan bahwa zakat, bila dikelola dengan visi ekonomi Islam, benar-benar bisa "menghidupkan" ekonomi masyarakat bawah. Saat ini, ZCorner BAZNAS telah berhasil dihadirkan di banyak kabupaten dan kota di Indonesia.
"Tantangan di Depan"
Meski menjanjikan, penerapan zakat produktif menghadapi beberapa kendala:Â