Akhir-akhir ini, semakin banyak perempuan yang menggaungkan gagasan tentang kesetaraan gender, baik dalam diskusi formal maupun dalam keseharian. Ini tentu perkembangan yang sangat positif menandakan bahwa perempuan kini semakin berani keluar dari zona nyamannya dan sadar akan pentingnya kesetaraan.
Namun, di balik semangat tersebut, ada tantangan besar yang kerap menghambat perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender dengan maraknya perempuan yang justru saling menghakimi satu sama lain.
Hal ini ditegaskan dalam penelitian Bearman et al. (2009), yang menunjukkan bahwa perempuan dapat mengembangkan sikap negatif terhadap sesamanya demi merasa "berbeda" atau "lebih unggul" di mata laki-laki. Padahal, sikap semacam ini justru menimbulkan ketidakpercayaan diri, rasa takut, dan keraguan di kalangan perempuan akibat stigma dan label yang sering muncul dari sesama perempuan itu sendiri, cap seperti perempuan "pick me," "haus validasi," dan berbagai cap lainnya.
Â
Ironi Dukungan: Laki-Laki Lebih Tulus?
Ironisnya, dalam beberapa ruang sosial dan pengalaman pribadi, dukungan yang tulus dan suportif justru lebih sering datang dari laki-laki yang memahami pentingnya kesetaraan gender. Mereka hadir sebagai sekutu, bukan penghakim tetapi memberikan ruang bagi perempuan untuk bicara, membagikan literatur kesetaraan, hingga menciptakan ruang diskusi yang aman dan nyaman.
Â
Fenomena ini menjadi refleksi pahit bahwa persaingan dan ego antarperempuan sering kali lebih tajam daripada kritik dari luar. Inisiatif global seperti HeForShe dari UN Women menjadi bukti bahwa semakin banyak laki-laki yang sadar akan pentingnya solidaritas lintas gender. Dalam konteks lokal pun, kita dapat melihat figur-figur laki-laki yang tak ragu membela perempuan secara terbuka, baik dalam isu kekerasan, kesetaraan kerja, maupun validasi emosi.
Memulai dari Diri Sendiri
Dengan kenyataan ini, beberapa langkah dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan.
1. Refleksi dan Pemaafan Diri