Ada rasa yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, saat mata menangkap nama sendiri tertera dalam daftar pengumuman kelulusan. Bukan pengumuman ujian nasional, bukan pula hasil UTBK, tapi pengumuman penerimaan jalur mandiri. Di layar ponsel itu, ada nama saya terpampang jelas. Saya lolos. Saya diterima.
Sekilas mungkin ini hal biasa. Banyak orang masuk perguruan tinggi lewat jalur mandiri, bukan prestasi langka. Tapi bagi saya, itu momen yang merangkum seluruh perjalanan panjang penuh ragu, penuh doa, dan penuh air mata. Maka ketika akhirnya saya melihat nama saya masuk, hati saya meledak dalam kelegaan dan kebahagiaan yang tak tertahankan.
Perjuangan yang Tidak Pendek
Saya bukan siswa dengan nilai terbaik di kelas. Bahkan saat SNBP diumumkan, saya tidak lolos. Waktu itu hati saya hancur. Saya sempat berpikir, "Mungkin kuliah bukan jalanku." Tapi entah dari mana, semangat itu muncul lagi saat UTBK diumumkan. Saya mencoba jalur SNBT lagi-lagi gagal. Hati saya mulai beku. Teman-teman sudah sibuk mempersiapkan masuk kampus impian mereka, sementara saya hanya bisa memandangi berkas-berkas pendaftaran yang tertolak.
Orang tua saya tidak pernah menekan. Mereka hanya berkata, "Coba lagi, Nak. Tidak apa-apa lewat jalur mandiri. Yang penting kamu masuk ke tempat yang kamu suka, bukan yang orang lain mau." Kalimat sederhana itu seperti lilin kecil di tengah gelap. Maka saya pun mulai mempersiapkan diri untuk mencoba satu kesempatan terakhir jalur mandiri di kampus yang sudah lama saya impikan.
Saya tahu jalur mandiri bukan jalur mudah. Selain saingannya banyak, biayanya juga tidak ringan. Tapi tekad saya sudah bulat. Saya belajar lagi, mempersiapkan berkas, dan mengikuti semua prosedur. Waktu itu saya daftar di jurusan Ilmu Komunikasi di sebuah universitas negeri ternama di Jawa Tengah. Jurusan yang saya sukai, sekaligus kampus yang sudah lama saya kagumi dari jauh.
Menunggu dalam Gelisah
Hari-hari setelah mendaftar adalah hari-hari penuh kecemasan. Saya bangun tidur dengan jantung berdegup, tidur malam pun sulit lelap. Di media sosial, saya mulai melihat pengumuman dari kampus-kampus lain bermunculan. Saya ikut senang melihat teman-teman yang lolos, tapi jauh di lubuk hati, ada rasa khawatir: "Bagaimana kalau aku gagal lagi?"
Saya tidak berani membuka situs pengumuman di hari pertama. Saya takut kecewa lagi. Tapi pada malam hari, setelah salat dan minta doa dari orang tua, saya memberanikan diri membuka laman resmi pengumuman itu. Saya ketik nama saya. Enter.
Dan di sana, tertulis: "Selamat! Anda dinyatakan diterima di program studi Ilmu Komunikasi melalui jalur mandiri."