Pemerintah Indonesia, melalui inisiatif Presiden RI, meluncurkan program ambisius bertajuk Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang bertujuan memperkuat ekonomi kerakyatan. Berbasis pada semangat gotong royong dan kekeluargaan seperti yang diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945, program ini menargetkan pembentukan 80.000 koperasi desa yang akan dilaunching pada Hari Koperasi Nasional, 12 Juli 2025.
Niat dan gagasan ini patut diapresiasi. Terutama di tengah ketimpangan pembangunan antara desa dan kota, koperasi bisa menjadi instrumen penting dalam membangun kemandirian ekonomi desa. Apalagi, Presiden Prabowo menegaskan pentingnya koperasi desa untuk memperkuat ketahanan pangan, isu strategis yang semakin krusial di era globalisasi dan krisis iklim.
Namun, sebagaimana banyak inisiatif besar di masa lalu, antusiasme di level atas tidak selalu seiring dengan kepercayaan publik di akar rumput. Hal ini terlihat dari beragam komentar warganet di media sosial yang menyambut program ini dengan nada skeptis, bahkan sinis.
Akun @IamOnlyZero di X misalnya, mengungkapkan kekhawatiran bahwa tanpa audit yang benar dan jujur, koperasi desa bisa menjadi "lahan basah" bagi kepala desa dan jajarannya. Sentimen ini bukan tanpa alasan. Sejak disalurkannya dana desa dalam beberapa tahun terakhir, laporan mengenai penyimpangan anggaran cukup sering mencuat ke publik.
Sementara itu, akun @ardiituardot di X menyoroti tumpang tindih kebijakan. Di banyak desa, sudah ada BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) dengan berbagai unit usaha seperti simpan-pinjam, jasa wisata, hingga persewaan alat. Dengan adanya Koperasi Desa Merah Putih, muncul pertanyaan: Apakah ini solusi atau malah duplikasi yang membuat program saling bersinggungan?
Lebih tajam lagi, komentar dari @bakpoyangasli menilai bahwa proyek semacam ini rawan menjadi bancakan karena lebih mementingkan anggaran ketimbang kebijakan yang substansial. Bahkan @terisera35533 meragukan kapabilitas menteri yang memimpin program ini, menyebutkan bahwa tokoh yang ditunjuk "tidak mempunyai keahlian sama sekali di bidangnya".Â
Banyak dari kita yang sudah jenuh melihat program-program besar dengan niat mulia yang pada akhirnya gagal karena lemahnya pengawasan. Akun @darbento88 mencatat bahwa "program apa pun itu bagus di awal, tapi setelah jalan pengawasannya lemah", lalu menjadi ladang penyimpangan seperti yang terjadi pada dana desa.
Komentar ini mendapat dukungan dari @BANGSAygSUJUD yang menyerukan agar para menteri benar-benar mengawasi pelaksanaan program melalui jaringannya. Ini adalah seruan agar pejabat tidak hanya hadir saat peresmian, tetapi juga ikut memantau dan menindak jika ada penyalahgunaan anggaran.
Bahkan dalam nada satir, akun @sukmawijaya91 berharap koperasi ini tidak berubah jadi "KU PERASI", plesetan yang mencerminkan harapan sekaligus kekecewaan masyarakat terhadap berbagai inisiatif pemerintah sebelumnya.
Terlepas dari berbagai kritik, penting untuk tidak serta merta menolak program Koperasi Desa Merah Putih. Di tengah kompleksitas birokrasi dan dinamika politik, niat memperkuat ekonomi desa melalui koperasi adalah langkah tepat. Namun, harus diakui bahwa tantangan utamanya adalah pada tahap implementasi dan pengawasan.