Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kembali ke Menara

19 November 2019   05:34 Diperbarui: 19 November 2019   05:36 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanya sebuah ilustrasi (sumber: ms.pngtree & sudah di modifikasi)

Perempuan itu lagi-lagi tak bosan, meminta uang. Tanpa rasa bersalah, tanpa sungkan. Aku tahu kesulitan hidupnya, tapi semua orang juga memiliki kesusahannya masing-masing dalam mengarungi hidup ini. 

Aku memahami kegelisahannya, tetapi siapakah orangnya yang tak memiliki kegelisahan dalam hidupnya, kecuali orang gila, yang terputus dialektikanya dengan realitas eksternal. Atau, sesiapa di bawah batu nisan, para penghuni kuburan.

Perempuan itu, aku mengakui betapa cantik dan menariknya dia, tetapi sungguh lama-lama melelahkan. Menghabiskan semua energi dan memangkas waktu menjadi hela-hela nafas memburu dan membuat kepala bak kompor meleduk.

Sejak perkenalan kami melalui jembatan seorang teman, terperucutlah jalinan diantara kami. Tak jelas namanya apa? Berdasarkan apa pula? Cintakah? Sekedar nafsu dari kenakalan lelaki dewasa yang bahagia dengan rumah-tangganya namun tetap ingin bersenang-senang di tebaran dunia. 

Toh, memang dia jenis kuda binal yang pergerakannya memang di arena pacuan, segala jenis laki-laki, terutama lelaki beristri.
Entah lelaki ke berapa diriku ini dalam list perlelakiannya. Seorang teman perantara itu menceritakan betapa gemarnya si perempuan ini bergonta-ganti lelaki. Bukan sebagai pasangan, lebih tepatnya ulung dalam hal hubungan percintaan yang tersamarkan. Kabarnya list lelakinya hampir mencapai angka 100. Aku khawatir dia dinobatkan sebagai Casanova perempuan. Bisa-bisa dia masuk rekor dunia dalam urusan list perlelakian. Namun begitu tak bisa kusangkal ketertarikanku padanya. Lebih tepatnya rasa kasih yang aneh karena sekalipun aku sering kesal namun selalu saja berujung kasihan.
     Sejak pertemuan dan percintaan kami, aku menjadi semacam ditimpahkan beban tambahan, menjadi suami bayang-bayang baginya, sekalipun kami tinggal berjauhan, aku di Jakarta, sementara dia di Surabaya yang jika kantor cabangku di sana memerlukanku sebulan sekali, sekalian pula aku mengencaninya. Yang kuanggap sebagai wujud berbagi kasih alias pembenaran agar aku tidak dihinggapi rasa bersalah pada istri dan semua yang ada di rumah.
Segala tuntutannya itu sebenarnya sama sekali bukan beban bagiku, jika saja dia tidak meminta dengan tekanan dan mengerti membawa diri dalam genggaman. Tidak blak-blakan menuntut dibarengi blak-blakan berperilaku liar, kesana-kemari dengan lelaki selain diriku, sehingga kesannya aku ini orang bego yang bisa ia kendalikan.
     Begitulah. Dari acara mengencani itulah aku dihadapkan pada tuntutan menafkahinya secara lahir dan batin. Padahal dia tak terlalu membuka siapa sejati dirinya, mengenai latar-belakang dan lain-lainnya.
Dia begitu menyita waktu, tenaga, dan pikiranku, dan lama-lama semakin menggila. Tuntutan perhatian untuknya begitu bejibun justru karena long distance kami. Dari mulai harus rajin menelpon, serta menyapanya by BBM, WA, paling tidak minimal tiga kali sehari: pagi-sore dan malam seperti aturan minum obat. Belum lagi kecemburuannya baik pada istriku juga tuduhan-tuduhannya yang lain. Ada aroma dominasi dari wataknya yang sejak awal kurasakan aneh, misterius. Betapa dia seperti ibu yang otoriter.
Kadangkala bahkan sering kali kurasakan dia sungguh kelewat menjengkelkan, suka menuntut dan mengatur tapi lagi-lagi itu tadi, tidak mau sebaliknya. Dia tak mau dilarang, apalagi diatur, dan sudah barang tentu ngambekan bahkan tidak jarang marah secara emosional. Namun begitu tetap saja aku tak berdaya menolaknya. Seperti ada aura magis yang melingkupinya yang menjeratku tak bisa lepas darinya.
     "Darling, mana uang untukku? Kenapa darling seringkali meleset dalam rel janji-janji? Aku tidak mau tahu pokoknya rekeningku harus sudah ada isi besok pagi" ngomelnya di BBM setelah nge-ping!!! Tidak tanggung-tanggung sepuluh kali tanda tegur itu.
     Dia tak tahu betapa jungkir-baliknya aku dalam sehari-hari. Sibuk, seolah 24 jam sehari tidaklah cukup. Mengurus diriku, pekerjaanku, anak-istriku. Bisa saja kan, setelah bercinta dan segala timbal-balik yang sudah kuberikan aku meninggalkannya. Hubungan kami tak bernama, sementara dia sebagai wanita juga terang-terangan tidak setia. Mengapa aku harus menjadi seperti suaminya begitu untuknya?! Istriku saja tidak pernah menuntutku seperti ini, malah tegak mandiri dengan tetap menghargai dan menghormatiku sebagai suami. Padahal bisa saja istriku bargaining atas pola hubungan kami.
Oh, perempuan ini harus seperti apa selanjutnya aku bersikap? Sungguh sering membuatku penat. Sering kali aku berniat melepaskannya tapi setiap kali itu pula timbul rasa tak tega yang lagi-lagi entah karena apa.
     Memang, siapapun setuju bahwa dia cantik. Dia, menarik. Berperawakan proporsional, berkulit putih bersih, dan wajah yang memilki pesona mistis. Secara keseluruhan kepribadiannya biasa-biasa saja seperti orang kebanyakan yang nampak baik. Tetapi, jika sudah mengenalnya lebih dekat, akan tahu betapa ia aneh oleh kesintingan-kesintingannya, dan keras kepala oleh kecerdasan yang disadari ada pada dirinya yang sering berujung kesombongan. Kesombongannya itu yang tak lain adalah refleksi kebalikan dari sebuah kerentanan. Rasa percaya dirinya kadang kelebihan dan membuatnya narsis, yang lagi-lagi tentunya kebalikan dari kerapuhan. Namun begitu herannya tetap membuatnya nampak manis.
Aku sering bilang padanya betapa dia itu cantik berkelas. Wajahnya ningrat, aristokrat. Dia cocok disebut gambaran golongan priyayi jika di jaman dulu. Wajah yang menghipnotis. Hanya saja kadang sikapnya gemar memerosotkan nilai dirinya sendiri, dengan sifat pragmatis yang menjadi pilihannya. Segala-sesuatunya selalu diukur dengan uang. Materialistis.
     Mungkin, ada andilku juga dalam menggiringnya semakin seperti itu dalam pola hubungan kami. Sejak awal kenal kumanjakan dia dengan uang, pujian, dan segala cara-cara surgawi. Sehingga semakin menggembungkan kepalanya. Memeriahkan kesombongannya. Kemudian tak kuambil alih otoritas pada hubungan kami sehingga dia bebas melenggang kesana-kemari tanpa kesepakatan reward dan punisment pada pihaknya, melainkan di pihakku saja. Dia akan ngambek jika aku terlambat meneleponnya, balasan BBM-ku telat, WA-nya hanya ku-read not ku-answer, terutama jika transferan uangku ke rekeningnya ngadat oleh karena kesibukanku yang padat.
     "Darling kan tak mungkin bisa kumiliki. Tidak bisa menikahiku karena bukanlah orang yang sendiri. Jadi wajar aku ngelaba kemana-mana ke siapa saja karenaku single yang berhak untuk bahagia. Siapa tahu bisa berjodoh lagi dan meninggalkan darling, mengembalikan darling sepenuhnya ke anak-istri. So selama aku belum berjodoh, dalam rejeki darling ada bagian untukku" enteng sekali kelakarnya. Lagi-lagi bisaku hanya mengiyakannya, sekalipun dadaku begah. Seperti pemerasan saja ini jadinya. Setidaknya perempuan-perempuanku selama ini lebih banyak yang sifatnya setara saling mencintai. Tidaklah terlalu mengekploitasi seperti dia ini.

                                  ***

     Sudah hampir tiga bulan dari sejak kutegaskan, agar dia mencari laki-laki yang bisa menikahinya. Bersedia menjadi suaminya secara benar-benar. Bukan suami bayangan sepertiku yang suami orang. Sebab, sayang sekali segala kecantikan dan kecerdasannya hanya terpacak di situ, menjadi WIL bagi para suami orang. Sering dilabrak bini-bini orang. Padahal dia bisa lebih dari sekedar menjadi simpanan lakor. Dia cantik, menarik, dan cukup cerdas. Dia wanita dengan penampilan berkelas yang semestinya berada di menara, di tempat golongan atas. Tinggal di ketinggian, bukan malah berada di kerendahan, memerosotkan martabatnya sebagai seorang wanita.
Kukatakan padanya:
     "Honey, carilah laki-laki yang betul-betul bisa kamu jadikan suami. Agar hidupmu damai-tentram dan kamu tidak kesepian lagi. Tidak juga kesana-kemari tidak jelas dengan banyak lelaki berganti-ganti. Aku tak mungkin terus bisa bersamamu. Membantumu menopang hidupmu. Aku ada anak dan istri. Aku ingin bertobat karena juga letih"
Lama dia terdiam di telepon, kemudian menjawab:
     "Iya maafkan aku darling, betul semua apa yang darling katakan itu. Aku telah banyak merepotkanmu" kurasakan nada sendu dalam ucapannya. "Baiklah darling, aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi... " lanjutnya.
     Seperti biasa, kupikir paling besok sudah berubah keputusannya. Paling BBM aku lagi seperti biasanya. Sms, telpon. Ngambek, marah-marah, lalu minta maaf, merayu, merajuk, yang ujung-ujungnya kembali minta uang. Berdamai lagi.
     Tapi ternyata tidak. Sehari, dua hari, tiga hari, sampai seminggu terus berlalu kutunggu-tunggu BBM-nya, WA-nya, smsnya, juga telpon darinya, tak ada. Sebulan, dua bulan. Awalnya kubiarkan saja, mau tahu sampai sejauh mana dia tahan? Tapi lama-lama aku rindu juga. Gelisah bahkan cemas, akhirnya. Akupun mulai bertanya-tanya dalam hati, manakala kulihat display picture pada BBM-nya tiga bulan ini tidak ganti, tetap gambar terakhir pada obrolan terakhir kami itu, photo sebuah menara tinggi diantara langit biru yang cerah. Lalu, status pada BBM-nya itu "Kembali ke Menara".
     Betapa jahatnya aku menahan diri untuk tidak menghubunginya lagi. Tadinya kupikir aku mau ikuti aksi diamnya. Sampai dimana serta sampai kapan sih dia tahan diam? Sejauh mana dia dapat lolos menahan diri untuk tidak menghubungiku duluan, seperti selalu cita-citanya adalah melupakanku, meninggalkanku. Bahwa amit-amit kalau harus dia yang menghubungi duluan, tidak akan lagi. Namun toh, selama ini selalu saja dia sendiri yang melanggar apa yang diucapkannya. Menghubungiku kembali lebih dulu dan meminta hubungan kami masih menjuntai, berkelanjutan.
     Jujur saja, setelah sebulan diam sebenarnya aku sudah tak tahan, ingin menelponnya, tetapi teganya aku urungkan niatku. Dua bulan, aku yang resah. Tiga bulan, tak tahan aku sudah. Ingin aku memberi kejutan padanya dengan langsung ke Surabaya diam-diam mendatanginya.

                                 ***

     Pagi-pagi sekali aku tiba di kotanya. Biasanya dia yang menjemputku, lalu kami bermalam di hotel. Paginya aku bertugas dan ia pulang ke rumahnya yang di mana, tak jelas. Nanti malamnya menemaniku kembali, begitu terus selama seminggu biasanya lalu aku kembali ke Jakarta. Namun kali ini berbeda.
     Bergegas kuhubungi temanku yang memperkenalkanku dulu dengan perempuan itu. Rencanaku ingin betul-betul memberinya surprise, bahwa ternyata aku sangat kehilangan. Gila, sudah tiga bulan! Kami berdiam-diaman.
     Ternyata hatiku dipenuhi kerinduan tak tertahankan. Akan manjanya, akan ngambekannya, akan dominasinya, dan sikap cuek masa bodohnya jika sudah tak tahan ingin kembali dan ujung-ujungnya minta uang tanpa ada beban sungkan.
     "Lho, jadi selama ini kamu belum pernah juga mendatangi rumahnya? Lha aku juga tidak tahu di mana sebenarnya tempat tinggalnya? Dia itu teman ngumpul-ngumpul saja. Habis selalu menolak jika aku atau teman-teman yang lainnya tanya rumahnya. Jika ingin bertemu dengannya, dia selalu minta janjian ketemu di suatu tempat saja. Ya, seperti perempuan orderan begitulah" temanku itupun baru menyadari, betapa tertutupnya perempuan itu selama ini ternyata. Yang kami tahu dia single-parent tiga orang anak tapi dia sendiri ogah-ogahan untuk sungguh terbuka mengenai diri dan kehidupannya. Dia nampak mentereng dalam setiap dandanannya sehingga menimbulkan kesan dia berkelas dan baik-baik saja, malah cenderung menyebalkan karena sifat matrenya yang tak ketulungan itu kontras dengan wajahnya yang berkelas dan segala sikap sok hebatnya. Tampang ningrat bak priyayi tapi tidak gengsi blak-blakkan memalaki para lelaki.
     Telpon di seberang diangkat. Suara anak remaja, perempuan, mungkin belasan usianya. 'Ah, rupanya dia berniat mengerjaiku. Remaja yang adalah putrinya memberitahu alamat perempuan yang tengah kucari itu. Gadis itu ingin aku mendatanginya saja. Betapa baru kusadari, kejam juga aku selama ini, sudah hampir setahun hubungan kami, tapi baru sekarang aku berkomunikasi dengan salah-satu anaknya. Bergegas, aku dan temanku itu menuju alamat yang baru kami dapat. Terutama karena gadis itu meminta sedikit memaksa bahwa lebih baik datang saja.
     Beberapa kali masuk gang yang semakin sempit dari gang pertama setelah mobil temanku itu terparkir. Beberapa kali pula bertanya pada orang. Ternyata, nama aslinya Arini, bukan Karin seperti yang kami kenal selama ini. Lalu tibalah kami di sebuah rumah sempit yang sedikit saja mirip sebuah gubuk, jika dibandingkan dengan ukuran kecantikan perempuan itu, wanita dengan wajah yang berkelas. Perempuan berpenampilan ningrat, aristokrat.
Sungguh aku kaget. Tak bisa dipercaya orang seperti dia tinggal di rumah kontrakan sangat sederhana di perkampungan orang-orang kelas bawah. Dia mau mengerjaiku apa sebenarnya?
     Gadis remaja yang bernama Bintang itu menerima kami, dan mempersilahkan kami duduk di kursi butut ruang tamu berlantai semen hijau yang dinginnya mengajak perut kembung dan masuk angin. Umurnya lima-belas tahun. Dia meminta Intan, adik perempuannya yang berusia sepuluh tahun keluar menggendong bayi lima tahun bernama Permata, yang sejak kami tiba nangis rewel.
     "Ibu sudah berangkat jadi TKI-TKW di Arab. Harusnya ke Hongkong atau Taiwan tapi prosesnya lebih cepat ke Arab. Karena keadaan ekonomi kami sudah sangat sekarat, maka ibu memilih pemberangkatan yang paling cepat. Sebenarnya, sudah sejak tiga bulan lalu mengurus, sehingga butuh uang banyak untuk ini-itu dan sering minta-minta ke orang, termasuk pada Om Danny ya?" Matanya menatapku jengah.
     "Uang itu terutama untuk bekal saya dan adik-adik selama ditinggal di penampungan, di PT untuk belajar bahasa. Kalaupun berangkat takutnya tak bisa langsung gajian kan" ia menunduk.
     "Bapak saya meninggal dihajar massa karena tertangkap mencuri motor. Itu terjadi saat saya masih kecil dulu sebelum kami pindah ke kota ini. Ibu kemudian jadi istri simpanan dan lahirlah dua adik saya itu tadi. Maksud ibu dengan adanya anak diharapkan bisa mengikat bapak tiri saya itu, tapi ternyata, bapak tiri saya masuk penjara karena termasuk pejabat daerah yang korupsi. Belum lagi, istrinya yang akhirnya tahu malah datang melabrak kami mengatai adik-adik bukan darah-daging pejabat itu. Ibu yang hanya lulusan SMP kerja serabutan untuk kami bisa bertahan hidup selama ini. Tetangga sering mencap ibu sebagai perempuan malam. Kami sering berpindah tempat tinggal." mata gadis itu berkaca-kaca. Dan tenggorokan kami bagai dipenuhi duri, dada kamipun seakan mau pecah.

                               ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun