Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan peninggalan budaya dan sejarah, terutama dari masa Hindu-Buddha yang tersebar di berbagai daerah dalam bentuk candi. Warisan ini bukan hanya simbol spiritual, tetapi juga bukti kemajuan peradaban masa lampau dalam bidang arsitektur dan seni. Salah satu situs yang menyimpan nilai historis tersebut adalah Candi Sawentar di Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Meski tidak setenar candi-candi besar seperti Borobudur atau Prambanan, Candi Sawentar memiliki keunikan tersendiri dan penting dalam konteks sejarah lokal. Terletak di kawasan pedesaan, candi ini mencerminkan peran Blitar sebagai bagian dari jaringan kebudayaan masa Hindu-Buddha. Sayangnya, meski telah diresmikan oleh balai pelestarian provinsi, situs ini masih sepi pengunjung karena akses dan promosi yang terbatas. Hal ini menegaskan perlunya perhatian lebih terhadap pelestarian dan pengenalan warisan budaya di daerah.
Sejarah dan Arsitektur Candi Sawentar
Candi Sawentar terdiri dari dua kompleks utama, yakni Candi Sawentar I dan Candi Sawentar II, yang keduanya terletak di Dusun Centong, Desa Sawentar, Kanigoro. Sayangnya, tidak diketahui pasti pada masa kerajaan apa kedua candi ini dibangun. Namun, Candi Sawentar I diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Singhasari atau masa akhir Majapahit. Hal ini terlihat dari gaya arsitekturnya yang serupa dengan Candi Kidal dan ornamen khas zaman Majapahit seperti kepala kala tanpa rahang bawah serta simbol Garudhamana serta ukiran 8 dewa-dewa dengan sinar disekelilingnya atau yang biasa dikenal dengan Surya Majapahit.
Keunikan lain Candi Sawentar I adalah posisinya yang lebih rendah dari permukaan tanah, diduga akibat endapan letusan Gunung Kelud. Bangunan ini menghadap ke arah barat, langsung ke arah gunung, yang mengindikasikan hubungan religius antara tempat ibadah dan alam.
Sementara itu, Candi Sawentar II terletak sekitar 100 meter di sebelah barat daya Candi Sawentar I, tepatnya di sekitar area Pasar Sawentar. Candi ini ditemukan secara tidak sengaja pada tahun 1999 oleh seorang warga setempat saat menggali sumur. Bentuk Candi Sawentar II belum sepenuhnya terekspos karena proses ekskavasi masih terbatas, namun struktur yang tampak menunjukkan bentuk dasar candi batu berdenah persegi, dengan batu andesit sebagai bahan utama. Penelitian oleh Balai Arkeologi Yogyakarta menunjukkan bahwa candi ini terkubur tanah vulkanik dan berada pada kedalaman hingga 2 meter.
Pahatan pada situs ini mengindikasikan bahwa Candi Sawentar II mungkin dibangun pada tahun 1396 M sebagai monumen peringatan yang berkaitan dengan pemujaan terhadap Dewa Surya. Hal ini didukung oleh temuan pahatan "nagaraja anahata surya" yang diperkirakan berasal dari tahun 1318 Saka (1396 M). Struktur bangunannya menunjukkan keselarasan dengan candi-candi masa akhir Majapahit, dan mengindikasikan bahwa wilayah ini dulunya memiliki fungsi religius yang cukup kuat. Meski ukuran dan struktur candi ini belum sepenuhnya tergali, keberadaannya memperkuat dugaan bahwa kawasan tersebut adalah bagian dari kompleks keagamaan yang lebih luas pada masa lampau.
Upaya Pelestarian dan Permasalahan yang Dihadapi
Pelestarian Candi Sawentar telah dilakukan sejak masa kolonial Belanda, dimulai dari dokumentasi oleh Hoepermans dan Verbeek pada tahun 1915 hingga proses pemugaran oleh P.J. Perquin pada tahun 1921. Saat ini, pelestarian dilakukan oleh instansi pemerintah melalui kegiatan inventarisasi, konservasi berkala, serta penempatan juru pelihara di area candi.