Jejak Langkah Islam dalam Pembangunan Hukum di Indonesia: Sebuah Debat Abadi, Peran Sentral, dan Tantangan Kontemporer.
Pembangunan hukum di Indonesia adalah sebuah proses yang kompleks, kaya akan dialektika dan perdebatan, yang tidak bisa dilepaskan dari peran sentral Islam. Sejak masa kemerdekaan hingga era reformasi, narasi hukum di negeri ini senantiasa diwarnai oleh interaksi dinamis antara berbagai kelompok ideologi: Islam, sekuler, dan nasionalis. Artikel ini akan mengupas tuntas perdebatan tersebut, menyoroti peran strategis Islam, menelusuri bentuk-bentuk perjuangan umatnya, dan mengeksplorasi implementasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Akhirnya, artikel ini akan ditutup dengan refleksi pribadi sebagai intelektual muda Muslim, menawarkan perspektif tentang partisipasi di masa depan.
1. Perdebatan Ideologis dalam Pembangunan Hukum: Islam, Sekuler, dan Nasionalis
Perdebatan mengenai landasan hukum Indonesia telah berlangsung sejak perumusan dasar negara. Kelompok Islam, yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Mohammad Natsir dan Ki Bagus Hadikusumo, pada awalnya memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, tercermin dalam Piagam Jakarta yang mencantumkan "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Bagi mereka, Islam bukan hanya agama personal, tetapi juga ideologi yang komprehensif, mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk hukum. Mereka meyakini bahwa hukum Islam (syariah) adalah solusi fundamental untuk menciptakan masyarakat yang adil dan bermoral.
Di sisi lain, kelompok nasionalis, dipimpin oleh Soekarno, berpendapat bahwa negara harus didirikan di atas dasar nasionalisme yang inklusif, merangkul seluruh suku, agama, dan budaya di Indonesia. Mereka khawatir bahwa penetapan Islam sebagai dasar negara akan memicu perpecahan dan diskriminasi terhadap minoritas. Visi mereka adalah negara yang bersatu, di mana Pancasila berfungsi sebagai perekat yang melampaui sekat-sekat primordial. Pilihan Pancasila sebagai dasar negara adalah hasil kompromi historis yang monumental, di mana sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa," berhasil menjembatani aspirasi kelompok Islam tanpa menjadikan negara sebagai teokrasi.
Kelompok sekuler, meskipun tidak memiliki representasi politik yang terorganisir pada masa awal, turut mewarnai perdebatan. Mereka berpendapat bahwa negara harus dipisahkan dari urusan agama (sekularisme) untuk menjamin kebebasan beragama dan mencegah dominasi satu agama atas yang lain. Pandangan ini, meskipun tidak secara eksplisit dianut oleh mayoritas elite politik Indonesia, tetap menjadi kekuatan kontinental dalam perdebatan tentang batas-batas peran agama dalam ruang publik.
Perdebatan ini berlanjut hingga kini. Kelompok Islam terus berupaya memperjuangkan hukum Islam, tidak lagi sebagai dasar negara, tetapi sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional. Mereka berargumen bahwa negara Pancasila bukanlah negara sekuler, melainkan negara yang berketuhanan, di mana agama memiliki ruang yang sah dalam pembentukan hukum.
2. Peran Strategis Agama Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Meskipun Indonesia bukan negara Islam, peran Islam dalam pembangunan hukum sangatlah signifikan dan tidak bisa diabaikan. Hubungan antara Islam dan negara di Indonesia adalah hubungan simbiosis, di mana Islam memberikan nilai-nilai etis dan moral bagi kehidupan berbangsa, sementara negara mengakui dan memfasilitasi praktik-praktik keagamaan. Peran ini terwujud dalam beberapa aspek:
Pemberi Nilai Moral dan Etika: Nilai-nilai Islam, seperti keadilan (adl), persaudaraan (ukhuwah), dan kemaslahatan (maslahah), telah meresap ke dalam jiwa bangsa dan menjadi landasan etis dalam perumusan kebijakan publik, termasuk di bidang hukum.
Pembentuk Hukum Formal: Ajaran Islam telah menjadi inspirasi dalam pembentukan undang-undang, terutama dalam bidang perkawinan, warisan, dan ekonomi syariah. Peran ini dilegitimasi melalui keberadaan Pengadilan Agama dan regulasi-regulasi yang mengakomodasi praktik hukum Islam.
Motor Gerakan Sosial dan Politik: Organisasi-organisasi Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, adalah pemain kunci dalam pembangunan hukum. Melalui fatwa, kajian, dan advokasi, mereka memberikan kontribusi signifikan dalam wacana hukum dan perumusan kebijakan. Peran mereka sebagai civil society yang kuat telah menjadi jembatan antara aspirasi umat dan kebijakan negara.
3. Bentuk-bentuk Perjuangan Umat Islam dalam Pembangunan Hukum
Perjuangan umat Islam dalam pembangunan hukum di Indonesia tidaklah tunggal, melainkan beragam dan multidimensi, mencakup ranah formal dan informal.
Jalur Legislatif dan Formal: Perjuangan ini terlihat dari upaya para wakil rakyat Muslim untuk memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam undang-undang. Contoh paling nyata adalah perjuangan untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu" menjadi jembatan bagi pelaksanaan hukum perkawinan Islam. Demikian pula, Undang-Undang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Zakat adalah bukti konkret dari perjuangan ini.
Jalur Yudisial dan Pengadilan: Keberadaan Pengadilan Agama di bawah Mahkamah Agung adalah bentuk institusionalisasi hukum Islam dalam sistem peradilan nasional. Peradilan ini memiliki yurisdiksi atas perkara-perkara perdata di kalangan Muslim, seperti perkawinan, warisan, wakaf, dan hibah. Perjuangan di jalur ini juga mencakup judicial review di Mahkamah Konstitusi untuk memastikan undang-undang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Jalur Organisasi dan Sosial Kemasyarakatan: Organisasi-organisasi Islam memainkan peran penting dalam mengadvokasi hukum Islam. Mereka melakukan seminar, publikasi, dan edukasi publik untuk meningkatkan kesadaran tentang hukum Islam. Melalui fatwa dan rekomendasi, mereka juga memberikan pedoman bagi umat dalam menghadapi isu-isu kontemporer. Gerakan-gerakan sosial, seperti advokasi hak-hak perempuan dalam Islam, juga merupakan bagian dari perjuangan ini.
4. Perspektif Intelektual Muda Muslim dalam Partisipasi Pembangunan Hukum
Sebagai seorang intelektual muda Muslim, saya melihat partisipasi dalam pembangunan hukum sebagai sebuah keharusan yang strategis. Ini bukan hanya tentang memperjuangkan hukum Islam, tetapi juga tentang memastikan bahwa hukum di Indonesia secara keseluruhan adil, bermoral, dan relevan dengan tantangan zaman. Terdapat beberapa hal penting yang perlu ditekankan:
Merangkul Pendekatan Ijtihad Kontemporer: Perjuangan hukum Islam tidak boleh berhenti pada literalisme teks. Kita perlu melakukan ijtihad (penafsiran kembali) yang relevan dengan konteks modern, merumuskan solusi-solusi hukum yang adaptif, dan responsif terhadap isu-isu seperti hak asasi manusia, teknologi, dan lingkungan.
Mengintegrasikan Hukum Islam dengan Rule of Law dan Hak Asasi Manusia: Partisipasi kita harus sejalan dengan prinsip-prinsip rule of law dan hak asasi manusia universal. Hukum Islam harus dilihat sebagai sumber inspirasi untuk menegakkan keadilan, bukan sebagai alat untuk membatasi kebebasan.
Membangun Jembatan Dialog: Kita harus aktif membangun dialog dengan kelompok-kelompok sekuler dan nasionalis. Perdebatan tidak harus berakhir dengan permusuhan, tetapi dapat menjadi momentum untuk mencapai sintesis yang lebih baik. Ruang publik harus menjadi tempat di mana gagasan-gagasan bertemu dan berdialog secara konstruktif.
Menggunakan Pendekatan Interdisipliner: Pembangunan hukum tidak bisa dilakukan di ruang hampa. Kita perlu menggabungkan wawasan hukum Islam dengan ilmu-ilmu sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya, untuk merumuskan kebijakan ekonomi syariah yang efektif, kita harus memahami dinamika pasar dan sistem moneter.
5. Bentuk-bentuk Implementasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional
Implementasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional di Indonesia terwujud dalam beberapa bentuk:
Hukum Keluarga: Ini adalah implementasi yang paling maju. Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Pengadilan Agama adalah pilar-pilar yang melegitimasi hukum keluarga Islam. Hukum-hukum ini mengatur perkawinan, perceraian, warisan, dan wakaf bagi pemeluk agama Islam.
Hukum Ekonomi Syariah: Sektor ini tumbuh pesat. Undang-Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Sukuk, dan berbagai regulasi keuangan syariah lainnya telah menciptakan ekosistem yang memungkinkan operasional bank, asuransi, dan lembaga keuangan syariah lainnya.
Hukum Pidana: Meskipun tidak ada KUHP Syariah, beberapa daerah, seperti Aceh, telah mengimplementasikan Qanun Syariah yang mengatur beberapa aspek pidana. Namun, implementasi ini tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tunduk pada pengawasan pemerintah pusat.
Hukum Administrasi dan Sosial: Nilai-nilai Islam terimplementasi dalam berbagai kebijakan publik, seperti penyelenggaraan haji, zakat, dan pendidikan agama. Negara memfasilitasi dan mengatur kegiatan-kegiatan ini melalui undang-undang dan lembaga-lembaga terkait.
Kesimpulan:
Pembangunan hukum di Indonesia adalah sebuah opus magnum yang tak pernah selesai, di mana perdebatan antara Islam, sekuler, dan nasionalis adalah bagian tak terpisahkan dari dinamikanya. Peran Islam sebagai pembentuk nilai, inspirasi hukum, dan motor gerakan sosial sangatlah vital. Perjuangan umatnya, baik melalui jalur legislatif, yudisial, maupun sosial, telah menghasilkan implementasi hukum Islam yang konkret dalam sistem hukum nasional. Sebagai intelektual muda Muslim, tantangan terbesar kita adalah merumuskan kembali peran ini dengan cara yang relevan, inklusif, dan adaptif terhadap tantangan kontemporer, sambil tetap teguh pada nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan yang universal. Pembangunan hukum bukan hanya tentang membuat aturan, melainkan tentang membangun peradaban yang berkeadilan, dan Islam memiliki peran sentral dalam narasi tersebut.
Oleh Kelompok 2 HKI 5E
Nisa Nur Mayanti 232121181
Nadila Arya Dwi Saputri 232121184