Mohon tunggu...
Nadia Lutfiana Mawarni
Nadia Lutfiana Mawarni Mohon Tunggu... Freelancer - Menulislah seperti dirimu sendiri

We don't know what we don't know

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arus Pendidikan Zaman Kita

21 Juli 2017   05:19 Diperbarui: 21 Juli 2017   05:21 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekira pada periode 2012 lalu, Perahu Kertas menjadi salah satu buku paling boomingpasca adaptasinya ke dalam sebuah film dengan judul yang sama. Dewi DeeLestari, maestro di balik novel apik tersebut kabarnya juga menulis langsung skenario film yang ditangani sutradara Hanung Bramantyo ini. Berbicara soal menemukan cinta, agaknya Perahu Kertas menjadi salah satu yang juara. Ramuan kasmaran khas anak kuliahan, gonta-ganti pacar untuk sebuah proses menemukan teman hidup, sampai cinta bos-bawahan saat Kugy bekerja di kantor periklanan sempurna tergambar. Pendeknya, hikmah tersurat dari novel --juga film- ini adalah kalau cinta nggakkemana, jodoh tidak akan tertukar. Begitu pepatah klasik berbicara.

Meski begitu, saya mencoba melihat Perahu Kertas dari sudut lain: pendidikan, sebab pendidikan itu (katanya) membebaskan. Sekuen awal novel ini, yang justru dihilangkan di dalam filmnya bagi saya melukiskan itu semua.

.....

Enam tahun lalu, Keenan datang ke Amsterdam untuk menemani Oma --ibu dari mamanya- agar tidak digusur ke panti jompo karena dianggap terlalu tua untuk tinggal sendirian. Saat itu usia Keenan masih kanak-kanak, sekitar belasan tahun. Di negeri kincir angin Keenan kecil pun bebas merawat mimpinya, melukis. Amsterdam adalah tempat pelukis-pelukis hebat yang dikaguminya berseliweran. Ia rajin mengasah bakat, juga berkorespondensi dengan Pak Wayan, seniman Ubud yang merupakan kawan baik mamanya di masa lalu. Kini, enam tahun telah berlalu, Keenan harus pulang ke Jakarta. Namun, hatinya gamang. Pemuda itu tidak tahu apakah melukis akan tetap jadi jalan hidupnya.

Keenan tahu, ia mendapati bakat melukis dari mama. Mama dulunya pelukis, namun sejak menikah ia berhenti, entah apa alasannya. Sementara itu papanya selalu mengatakan bahwa dirinya terlalu pintar untuk sekadar jadi pelukis. Dari sana Keenan semakin menyadari bahwa papa tidak pernah setuju dengan jalan hidup yang ia pilih.

Setibanya di Indonesia, pertengahan 1999, Keenan mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi (UMPTN) dan diterima di jurusan manajemen. Orang tuanya lega, namun tidak begitu bagi dirinya. Di dalam kamar, setelah ia mendengar pembicaraan mama dan papa soal jurusan kuliah, Keenan semakin gamang. Ia terpaku memeluk lutut, sambil memandangi secarik kanvas kosong, yang ia tahu itu adalah jawaban hatinya.

.....

Di tempat yang lain Kugy Alisa merasakan kegamangan hati yang sama. Perempuan mungil itu tahun ini akan memasuki dunia perkuliahan. Kugy memilih jurusan sastra, tidak lain karena mengejar mimpinya menjadi penulis dongeng, sesuatu yang dianggap konyol oleh keluarganya. Kugy mencintai menulis lebih dari apapun, namun di hadapan orang lain ia tidak menjadi dirinya sendiri ketika menulis. Kugy tahu, orang-orang di sekitarnya butuh bukti bahwa dia serius menulis. Maka, sejak bangku SMP hingga SMA Kugy aktif menjadi pemimpin redaksi majalah sekolah, hingga mengikuti berbagai lomba sampai berkali-kali mendapatkan juara. Namun, jika orang-orang tahu yang sebenarnya, pikiran gadis mungil ini hanya dipenuhi dengeng-dongeng fantasi. Cerita khayalan pangeran lobak, wortelina, dan penyihir nyit-kunyit meluap-luap di otaknya.

Bagi Kugy memasuki jurusan sastra adalah hal paling realistis yang bisa ia lakukan. Jurusan yang paling mendekati impiannya. Dari sana Kugy berusaha merawat mimpinya, meski ia sendiri tidak tahu apakah dongeng-dongeng itu akan menjelma menjadi realita.

.....

Keenan dan Kugy pertama kali bertemu Agustus 1999 ketika kuliah di kampus yang sama. Tanpa pernah disadari, ternyata mereka memiliki banyak kesamaan. Kugy bercerita soal impiannya menulis dongeng kepada Keenan, sesuatu yang berbeda dengan yang terlihat dalam piagam-piagam menulis Kugy saat itu. Keenan tahu Kugy tidak menjadi dirinya sendiri, dia hanya berusaha memberikan pembuktian yang layak kepada banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun