Mohon tunggu...
nadia fairuz zahra
nadia fairuz zahra Mohon Tunggu... mahasiswa

mahasiswa baru universitas airlangga 2023

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Langkah Awal Kehidupan : Tradisi dan Kepercayaan di Balik Kelahiran Bayi di Jepang

17 April 2025   08:36 Diperbarui: 17 April 2025   08:35 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Semua kelahiran bayi di dunia merupakan anugerah terindah yang di nanti nanti, terutama oleh kedua orang tua bayi dan juga keluarga yang berada di sekitarnya. Kelahiran bayi tersebut akan disambut dan dirayakan dengan berbagai macam cara yang sebaik baik mungkin, contohnya seperti adat istiadat. Setiap negara ataupun daerah pasti memiliki kebudayaan yang menjadi ciri khas masing-masing. Meski Jepang sering dikenal dengan julukannya sebagai negara yang maju, namun Jepang tidak meninggalkan keberagaman budaya yang di milikinya. Beragam macam budaya, ritual, dan tradisi-tradisi unik yang masih terawat dan terjaga dari zaman dahulu hingga zaman ini.

Tradisi di Jepang memiliki hubungan yang erat dan masih menganut terhadap agama dan kepercayaan oleh masyarakatnya.  Selain melibatkan keluarga, tradisi ini juga berhubungan dengan suatu komunitas agama Buddha hingga kuil Shinto adalah dua agama dominan di Jepang , yang dipercaya untuk harapan, doa, serta kebaikan-kebaikan pada masa kehidupan anak.

Memiliki beberapa persamaan antara tradisi di Jepang dan adat istiadat di Indonesia yang memiliki tujuan sebagai merayakan kelahiran dan tumbuh kembang sang anak. Tak sedikit juga perbedaan antara tradisi dan adat istiadat tersebut. Namun keduanya memiliki tujuan dan maksud yang sama sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran sang anak.

Terdapat 5 tradisi penting di Jepang yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Jepang, yaitu  Oshichiya (), Omiyamairi (), Okuizome (), Hatsu Tanjou (), dan terakhir Shichi-Go-San ().

Oshichiya () merupakan ritual perayaan yang diadakan pada malam hari ke 7 setelah bayi tersebut lahir, Shichi () berarti 7 dan Ya () berarti malam. Konon katanya pada zaman Jepang dahulu banyak bayi yang meninggal pada saat usianya kelahirannya bahkan belum cukup satu minggu (7 hari setelah lahir di dunia). Dalam banyak kasus, bayi yang baru lahir dianggap sangat rentan terhadap pengaruh negatif dari dunia roh. Pada masa lalu, tradisi ini sangat penting karena tingkat kematian bayi yang tinggi, dan keluarga ingin memastikan bahwa bayi mereka mendapatkan perlindungan spiritual dari dewa-dewi dan roh leluhur. Oleh karena itu, Oshichiya memiliki makna yang sangat penting dalam konteks perlindungan dan doa untuk masa depan bayi. Pada hari ketujuh setelah seorang anak lahir, orang tua memberi nama kepada anak tersebut sebagai bentuk perayaan. Dahulu, kakek dari pihak ibu sering kali yang memberikan nama kepada cucunya. Namun, belakangan ini, lebih umum bagi orang tua sendiri yang memilih nama anaknya. Nama bayi dan tanggal lahirnya ditulis dengan kuas di atas kertas Jepang (washi) lalu ditempel di bawah rak pemujaan rumah (kamidana) atau di dinding di dekat lantai.

Elemen utama dalam ritual Oshichiya yaitu doa. Keluarga akan berkumpul dan memanjatkan doa kepada dewa atau roh leluhur, memohon agar bayi tumbuh sehat, kuat, dan terhindar dari bahaya. Kemudian makanan yang memiliki makna sebagai simbol untuk kesehatan dan keberuntungan bayi disajikan. Nasi putih yang melambangkan kehidupan yang berkelanjutan dan pertumbuhan yang sehat. Ikan merah, seperti tai (), sering kali digunakan karena dianggap sebagai simbol kebahagiaan dan panjang umur. Sayuran dan makanan sehat lainnya, makanan ini melambangkan vitalitas dan kesehatan yang baik untuk bayi. Meskipun bayi masih tidak memungkinkan untuk mengenakan kimono namun keluarga dan kerabat yang datang ikut merayakan memakai kimono untuk menunjukkan rasa hormat mereka.

Omiyamairi () yang berarti "berkunjung ke kuil" merupakan perayaan yang dilakukan oleh keluarga sang anak untuk meminta perlindungan, dan mendoakan kesehatan sang bayi dari dewa-dewa yang berada di Kuil Shinto. Kunjungan ke kuil ini biasanya dilakukan pada hari ke 31 setelah kelahiran untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan biasa dilakukan pada hari ke 32 setelah kelahiran. Meskipun begitu peraturan ini tidak terlalu ketat sehingga bisa dilakukan kapan saja mengikuti keadaan cuaca, atau kesehatan sang ibu dan bayi. Di beberapa daerah, ketika seorang anak lahir, kuil menganggap anak tersebut sebagai anak dari dewa wilayah tersebut, menjadikannya bagian dari Ujiko (keturunan atau anak dari Ujigami). Untuk memperkenalkan anak yang baru lahir kepada Ujigami, keluarga mengunjungi kuil dalam upacara yang disebut Omiya-mairi.

Pada saat Omiyamairi, bayi biasanya dikenakan pakaian tradisional Jepang, seperti kimono. Anak perempuan sering memakai kimono yang indah, sementara anak laki-laki bisa mengenakan hakama (rok tradisional) atau pakaian formal lainnya. Orang tua dan anggota keluarga juga mengenakan pakaian formal atau pakaian tradisional, tergantung pada preferensi keluarga. Kemudian keluarga akan melakukan kunjungan ke Kuil Shinto. Keluarga membawa bayi ke kuil Shinto untuk melakukan upacara. Di kuil, keluarga akan berdoa kepada dewa-dewi Shinto untuk keselamatan dan kesehatan bayi serta memohon berkah untuk masa depan bayi. Di kuil, keluarga akan meminta pendeta Shinto untuk melakukan ritual doa untuk bayi. Doa ini biasanya mencakup permohonan agar bayi diberi perlindungan dari bahaya, tumbuh sehat, dan memiliki kehidupan yang panjang dan bahagia. Beberapa keluarga juga meminta omamori (), yaitu jimat perlindungan yang diberikan oleh kuil untuk menjaga bayi dari pengaruh buruk.

Okuizome () merupakan ritual perayaan untuk merayakan 100 hari kehidupan sang bayi dalam harapan agar sang bayi tumbuh dengan sehat dan tidak pernah kekurangan makanan dalam hidupnya. Okuizome dapat diartikan menjadi "waktu pertama kali makan" perayaan ini biasanya dilakukan di rumah dengan sang bayi "disuapi" makanan menggunakan sumpit untuk pertama kalinya. Makanan yang dihidangkan dalam perayaan Okuizome memiliki arti tertentu dan harus diberikan pada bayi sesuai dengan urutannya. Makanan yang diberikan kepada bayi disajikan dalam satu set Ozen (nampan makanan). Makanan yang disajikan antara lain adalah, Ikan air tawar yang menggambarkan keberuntungan dalam budaya Jepang, Nasi merah sebagai makanan pokok dalam budaya Jepang, melambangkan kehidupan yang berkelanjutan. Aneka macam sup, makanan rebus, dan sayuran atau seafood yang diberi cuka Urutan memakan makanannya biasanya adalah dengan memakan nasi, sup, nasi, sup, ikan, nasi, lalu sup lagi. Dan urutan ini akan diulang sebanyak 3 kali lalu Hagatameishi lah yang terakhir, sebagai harapan agar gigi bayi tersebut sehat dan kuat seperti batu yang ia pegang. Namun karena bayi yang masih berumur 100 hari belum bisa memakan makanan ini maka orang tua atau kakek-nenek sang bayi yang akan berpura-pura menyuapinya. Dalam ritual ini, "orang tua angkat" menggendong bayi, mengambil makanan dengan sumpit, dan secara simbolis menyuapi bayi. Sumpit yang digunakan dalam ritual ini biasanya terbuat dari kayu willow berwarna putih.  Meskipun bayi yang baru berusia 100 hari belum bisa makan makanan tersebut, ritual ini tetap dilakukan dengan menyentuhkan sebutir nasi ke bibir bayi, sebagai harapan agar bayi tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh makanan sepanjang hidupnya.

Hatsu tanjou () adalah upacara tradisional Jepang yang merayakan ulang tahun pertama bayi, yaitu saat bayi mencapai usia satu tahun setelah kelahirannya. Nama Hatsu Tanjou () secara harfiah berarti "kelahiran pertama" atau "ulang tahun pertama". Dalam budaya Jepang, merayakan ulang tahun pertama bayi memiliki makna yang sangat penting karena ini merupakan tanda bahwa bayi telah berhasil melewati tahun pertama yang rentan dalam hidupnya. Dahulu, dalam perayaan Shtanj, orang menumbuk mochi, tetapi setiap daerah memiliki cara berbeda dalam merayakannya. Ada daerah yang membuat anak menginjak mochi besar, ada juga yang memberikan mochi untuk dimakan anak. Pada usia sekitar satu tahun, anak mulai berdiri dan berjalan. Peristiwa ini dinamakan (Isho Mochi) dimana bayi akan diminta untuk berdiri atau mencoba berjalan dengan membawa mochi di punggung mereka, yang dianggap sebagai cara simbolis untuk mendorong mereka agar tumbuh dengan kekuatan fisik yang baik.Namun, jika anak belum bisa berjalan saat Shtanj, diyakini bahwa anak tersebut akan meninggalkan rumah setelah besar. Oleh karena itu, ada daerah yang menganggap lebih baik jika anak tidak berjalan terlalu cepat.  Di beberapa daerah, mochi besar ditumpuk di punggung anak hingga anak terjatuh, atau mochi kecil dilempar ke anak sebagai bagian dari ritual. Selain itu, dalam perayaan ini, ada juga kebiasaan menata berbagai benda di depan anak, seperti sempoa dan kuas untuk anak laki-laki, serta alat jahit dan kotak barang untuk anak perempuan. Anak kemudian dibiarkan memilih benda yang diinginkannya, dan dari benda yang dipilih, orang-orang akan meramal masa depannya. Kebiasaan ini juga ditemukan di Tiongkok dan Korea. 

Shichi-Go-San () adalah upacara tradisional Jepang yang dirayakan untuk anak-anak pada usia 3, 5, dan 7 tahun. Nama Shichi-Go-San secara harfiah berarti "Tujuh, Lima, Tiga" yang merujuk pada usia anak yang dirayakan dalam upacara ini (7 tahun untuk anak perempuan, 5 tahun untuk anak laki-laki, dan 3 tahun untuk kedua jenis kelamin). Setiap tanggal 15 November, kuil-kuil di Jepang dipenuhi oleh anak-anak yang mengenakan pakaian formal. Pada hari ini, anak laki-laki yang berusia 3 dan 5 tahun serta anak perempuan yang berusia 3 dan 7 tahun akan pergi ke kuil bersama orang tua mereka untuk berdoa. Saat ini, tanggal 15 November sudah menjadi standar, tetapi pada zaman Edo, tanggalnya tidak tetap dan bisa dilakukan kapan saja pada bulan ke-11. Namun, menjelang akhir zaman Edo, semakin banyak orang yang berziarah ke kuil pada tanggal 15 November.  Anak dan keluarga akan mengunjungi kuil untuk memohon doa pada dewa dewi kuil. Dan beberapa kuil akan memberikan omamori (), yaitu jimat perlindungan yang dipercaya memberikan keselamatan bagi anak-anak. Dengan memakai pakaian tradisional Jepang ataupun pakain formal lainnya. Kemudian pemberian (Chitose Ame) adalah jenis permen tradisional Jepang yang digunakan dalam upacara Shichi-Go-San (), yaitu perayaan yang dilakukan untuk anak-anak yang berusia 3, 5, dan 7 tahun. Nama Chitose Ame secara harfiah berarti "permen seribu tahun" ( - Chitose = seribu tahun, - Ame = permen). Permen ini memiliki bentuk yang panjang dan biasanya berwarna merah atau putih, melambangkan harapan akan umur panjang dan kesehatan yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun