Pendahuluan
Media sosial telah menjadi ruang interaksi global yang menyentuh segala lapisan masyarakat. Tidak ada lagi batasan usia, entah itu dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia kini sama-sama terhubung lewat layar ponsel. Kehadiran media sosial di tengah mereka dapat memiliki manfaat yang besar seperti akses informasi meluas, sarana komunikasi, hingga peluang ekonomi. Namun, di sisi lajn, media sosial juga menimbulkan dampak psikologis dan sosial yang cukup signifikan, salah satunya ialah kecenderungan untuk membandingkan kehidupan diri sendiri dengan orang lain. Fenomena jni dapat dipaparkan dengan teori Social Comparison dari Leon Festinger (1954), yang menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan untum menilai dirinya melalui perbandingan dengan orang lain. Dalam konteks media sosial, teori ini semakin relevan karena paparan terhadap kehidupan orang lain muncul tanpa henti di beranda For Your Playlist masing-masing pengguna.
Analisis Dampak Lintas Usia pada Pengaruh Media Sosial
Jika sebagian besar penelitian hanya menyoroti kalangan remaja sebagai kelompok paling rentan, sebenarnya kecenderungan membandingkan kehidupan diri dengan orang lain, entah itu melalui unggahan yang mereka buat ataupun hanya sekedar lewat di beranda FYP saat scrolling, itu dapat terjadi di semua kelompok usia. Hanya saja objek perbandingannya berbeda-beda sesuai kriteria usia mereka.
1. Anak-anak (0-12 Tahun)
Pada masa ini, media sosial sering diakses melalui konten hiburan atau edukasi ringan. Dampak positifnya anak-anak dapat belajar melalui tayangan interaktif. Namun dampak negatifnya, anak-anak dapat mudah rewel karena membandingkan mainan ataupun gadget dengan temannya. Akibatnya, mereka beresiko kecanduan kecanduan hiburan instan dan lupa pada nikmat sederhana berupa permainan nyata seperti permainan-permainan tradisional pada umumnya dan kasih sayang keluarga.
2. Remaja (13-18 Tahun)
Remaja merupakan pengguna paling banyak dan paling aktif sekaligus paling rentan terkena dampak media sosial, karena mereka membandingkan diri mereka, entah itu dari segi fisik, gaya hidup, hingga popularitas. Akibatnya, muncul perasaan minder, insecure, fenomena FOMO (Fear of Missing Out) atau takut tertinggal tren, dan juga menutup mata pada potensi diri yang mereka punya demi mengejar idealnya media sosial, seperti dance tren TikTok, standar kecantikan, dan lain sebagainya. Padahal remaja seharusnya bersyukur atas potensi emas yang ada dalam diri mereka dengan mencari segala peluang dan kesempatan mencari ilmu yang meluas di masa mudanya guna mempermudah masa depan mereka.
3. Dewasa Muda (19-40 Tahun)
Pada rentang usia ini, media sosial menjadi sarana membangun relasi, karir, personal branding mereka. Meskipun dapat membuka banyak dampak positif, dewasa muda juga tidak jarang terjebak dalam pemikiran untuk membandingkan karir, pasangan, dan gaya hidup mereka dengan orang lain. Akibatnya, stress kerja dan perilaku konsumtif muncul. Jika tidak diimbangi dengan rasa syukur di dalamnya, peluang mencari makna hidup dan kesehatan yang dimiliki dapat terabaikan.
4. Dewasa Tengah (41-60 Tahun)