Mohon tunggu...
Kortal Nadeak
Kortal Nadeak Mohon Tunggu... -

Saya hanya seorang Guru SD yang belajar menulis opini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puisi (Pembelaan) Fadli Zon atas Pertemuannya dengan Trump

18 September 2015   20:18 Diperbarui: 18 September 2015   20:18 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh:  Kortal Nadeak

Guru SD yang belajar menulis.

 

Masih ingat masa kampanye Pilpres tahun 2014 yang lalu? Fadli Zon menjadi sangat terkenal karena puisinya menggetarkan jiwa pendukung Bapak Prabowo Subianto. Judulnya adalah Air Mata Buaya. Puisi ini sangat fenomenal sampai ditayangkan berulang kali oleh TV One. Puisi ini sangat mudah dicari Google, ketik saja “Puisi Fadli Zon” maka langsung muncul judul puisinya. Jika dibaca dengan saksama, puisi Fadli Zon adalah kritik pedas yang “dibungkus” secara lembut karena tidak berpotensi digugat di pengadilan.

Keahlian Fadli Zon dalam menulis puisi tidak bisa diragukan lagi. Kata demi kata diurai secara apik dan jadilah sebuah puisi yang hampir saja menyaingi popularitas puisi karangan Chairil Anwar yang sangat tersohor itu. Puisi ini sontak membuat pendukung Jokowi geram dan membuat pendukung Prabowo terharu menahan tangis. Memang itulah dinamika kehidupan, harus ada pro dan kontra, bukan?

Saya tidak bermaksud membuka luka lama. Let bygones be bygones. Idiom ini saya kutip dari Kamus Inggris-Indonesia karangan John M. Echols dan Hassan Shadily yang berarti: biarlah yang berlalu tetap berlalu. Meskipun demikian saya tetap mengingat pidato Bung Karno yang terkenal dengan akronim jas merah (jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah). Jadi, intinya saya mau kembali ke peristiwa yang telah berlalu yang kebetulan berkaitan dengan judul artikel ini dan tentunya bukan bermaksud membuka luka lama.

Berdasarkan pengalaman yang telah lewat, saya menduga bahwa Fadli Zon akan segera merilis sebuah puisi sebagai pembelaan diri terhadap kritik masyarakat atas pertemuannya dengan Donald Trump. Sudah lebih dari seminggu saya menunggu tetapi puisinya namun tak kunjung dipublikasikan seperti yang sudah-sudah. Yang ada adalah pembelaan diri dalam bentuk kata-kata yang hampir tak bisa dicerna oleh otak saya. Ke mana daya imajinasi seorang Fadli Zon saat dirinya dikritik khalayak ramai? Saya hampir kecewa, tetapi saya “terpaksa” berandai-andai menjadi seorang Fadly Zon agar kecewa saya terobati. Saya kemudian menulis sebuah puisi pembelaan dan semoga menjadi terkenal, hehe.

 

Saya Bukan Buaya

 

Saya bukan buaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun