Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kongres

30 November 2010   08:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:10 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kongres yang saya maksud di sini bukanlah lembaga legislatifnya AS. Kongres yang saya maksud adalah perhelatan musywarah berkala yang diadakan oleh organisasi-organisasi maupun partai. Ada yang menyebutnya Mubes (musyawarah besar), ada yang menyebutnya Munas (musyawarah Nasional) dan sebagainya. Istilah yang digunakan bisa berbeda akan tetapi maksud dan tujuan penyelenggaraannya tak jauh berbeda, baik itu organisasi partai maupun organisasi kemasyarakatan lainnya. Apapun istilah yang digunakan, kesamaannya adalah bahwa kegiatan tersebut berkaitan dengan pergantian kepengurusan tertinggi (tingkat nasional atau pusat) organisasi atau partai yang menyelenggarakan musyawarah.

Bahkan, Kongres atau Mubes atau Munas tersebut dapat dan memiliki wewenang membubarkan organisasi yang bersangkutan. Namun demikian, tak pernah ada sebuah permusyawarahan tertingi sebuah organisasi yang memutuskan pembubaran dirinya. Dari sekian banyak partai-partai yang terbentuk saat reformasi belum ada yang menyelenggarakan pertemuan untuk membubarkan diri walaupun pada kenyataannya sudah bubar dan ga ada bekasnya. Biasanya kalau sudah bubar, ya... bubar secara diam-diam tanpa perhelatan. Paling-paling yang ada hanya pertemuan untuk ganti nama, itu pun diselenggarakan oleh partai yang masih punya sponsor.

Saya ingin membagi cerita tentang perjalanan sebuah even yang disebut kongres itu. Saya tidak mengulas hasil-hasilnya atau produk kongres, tetapi sekedar berbagi kisah mengenai kongres pada umumnya.

Tanggal 26 sampai 28 November 2010 saya mengikuti perhelatan yang disebut Kongres. Yaitu Kongres Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesai (PA GMNI). Kongres ini adalah kongres kedua sedangkan saya mengikutinya untuk pertama kali sebagai utusan dari Kota Bandung. Tidak ada yang istimewa dan tidak ada yang heroik untuk saya laporkan kepada para pembaca yang budiman mengenai pertemuan yang sangat politis tersebut.

Seyogyanya, pertemuan seperti kongres ini adalah pertemuan agung yang dihadiri oleh orang-orang penting dan penuh wibawa. Tetapi saya menyaksikan biasa-biasa saja. Sedikit agak penting karena dibuka oleh wapres dan dihdiri oleh para pejabat. Itupun sekedar penting dari segi seremonial, sampai-sampai mengerahkan panser berlapis protokol pengamanan. Bahkan bungkus rokok dan korek api disita saat memasuki ruangan dan boleh diambil lagi setelah selesai acara. Saya agak beruntung karena rokok saya ketukar dengan bungkus rokok yang masih utuh alias belum dibuka, ha ha ha ha ha .... Maklum, panitia mungkin tak menyangka ada perlakuan ini sehingga tak bersiap membuat catatan penitipan rokok. Semua yang disita dimasukkan ke dalam dus dan pada saat acara selesai siapa saja yang merasa menitipkan rokok dan korek api dapat mengambil semaunya. Seru....

Catatan saya berikutnya, kongres adalah arena perdebatan. Luar biasa riuh rendah. Bahkan lebih ramai dari perdebatan dan perebutan kesempatan bicara dari pada apa yang dipertontonkan oleh politisi di senayan. Mmm... rupanya dari sinilah tradisi politisi senayan itu. Bukankah para politisi itu semua berasal dari partai yang juga suka menyelenggarakan kongres? Sebagian besar anggota DPR (juga DPRD) aktif di berbagai organisasi yang juga suka menyelenggarakan kongres atau sejenisnya. Ya ya ya ya....dari sinilah tradisi itu. Mereka bertemu, berebut, dan beradu argumentasi, bahkan tak jarang beradu jotos.

Semua berlangsung secara bertele-tele. Saya mengamati sebagai peserta yang baik. Saya hanya bicara kalau diberi kesempatan itupun mengenai istilah. Saya tak kuat berdebat dengan penjelasan yang panjang-panjang, bukan karena tak mampu menalar tapi karena waktu dan banyak peserta yang juga ingin bicara. Saya hanya mengusulkan agar tak pake istilah 'dewan pimpinan' melainkan 'dewan pengurus', titik. Saya tak jelaskan lebih lanjut. Padahal dalam hati saya berpikir karena lebih baik mereka yang penuh semangat berapi-api di arena ini untuk jadi pengurus saja. Itu lebih baik, dari pada mereka jadi pemimpin karena mereka tak punya tenggang rasa. Kalau mereka jadi 'pengurus' mereka akan tahu repotnya nanti, begitu pikir saya.

Saat break (break adalah istilah populer di kalangan profesional, tapi dalam pertemuan politis begini lebih populer istilah 'skor'), jadi lebih tepatnya saat sidang diskors saya berbicara dan berkenalan dengan peserta dari berbagai daerah. Dari sekian banyak delegasi, ada satu delegasi yang memang menjalankan kepemimpinan. Delegasi ini berkumpul di pojokan koridor ruang pertemuan dan membahas isu-isu yang mengemuka di dalam rapat. Luar biasa. Saya kagum juga. Mereka ini rupanya delegasi dari daerah Sumatera Utara. Saya mengamati mereka dari dekat karena mereka ngumpul di dekat tempat khusus merokok yang selalu menjadi tempat saya mangkal saat break. Cuma mereka inilah rupanya yang serius, pikir saya.

Beberapa kali saya mengikuti kegiatan semacam kongres ini. Pengalaman selalu berulang: perdebatan panjang dan bertele-tele, tak fokus pada isu yang ingin diputus, waktu yang tak sesuai agenda, sampai larut malam, biaya yang mahal, serta pemilihan pengurus baru menjadi puncak acara yang ditunggu-tunggu. Konon selalu ada yang pulang lemes karena kalah. Entah apa yang dipertandingkan. Kalau saya... selalu datang dan pulang dengan gembira karena bertemu dengan banyak teman dan juga bekas teman yang lama tak jumpa. Saya suka pertemuan semacam kongres ini karena menjadi ajang reuni.

Pada kenyataannya, pemilihan pengurus adalah agenda satu-satunya penyelenggaraan kongres. Memang selalu dibarengi dengan penyelenggaraan seminar-seminar yang menghadirkan para tokoh dan akademisi terkenal sebagai narasumber. Namun demikian jarang, bahkan hampir tak pernah terjadi bahwa isu yang mengemuka dalam seminar menjadi bahasan dalam arena kongres. Tapi kali ini ada keterpautan antara rekomendasi dengan isu yang dibahas saat seminar, walaupun tidak mengkerucut pada program aksi. Baiklah saya tak uraikan disini hal ini karena saya hanya ingin menurunkan tulisan mengenai fenomena umum penyelenggaraan kongres dan/atau musyawarah organisasi pada umumnya.

Hampir selalu kegiatan kongres yang saya ikuti sama. Ada komisi organisasi, komisi program, dan komisi politik. Entah sejak kapan standar ini berlaku. Padahal fokus pikir para peserta hanyalah tertuju pada mekanisme dan cara pemilihan pengurus yang biasanya dibahas oleh komisi organisasi. Lalu saya berpikir, kenapa kegiatan kongres tidak difokuskan saja pada pembahasan mekanisme pemilihan pengurus? Bukankan pembahasan program dan yang lainnya hanya sekedar basa-basi? Tidak praktis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun