Mohon tunggu...
Nabih Rijal Makarim
Nabih Rijal Makarim Mohon Tunggu... Pelajar

l The teacher is the one who gets the most out of the lessons, and the true teacher is the learner l My instagram @nabihrm_

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dua Gema di Panggung Gaza: Suara Gamang Canberra dan Seruan Tegas Jakarta

14 Oktober 2025   00:56 Diperbarui: 14 Oktober 2025   00:56 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di panggung megah Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, sebuah teater diplomasi global, kata-kata ditimbang dengan presisi laksana emas. Setiap kalimat seorang pemimpin adalah isyarat, sebuah jendela ke dalam kalkulasi rumit kebijakan luar negeri. Saat krisis kemanusiaan di Gaza menjadi sorotan utama, dunia menahan napas, menanti suara dari negara-negara berpengaruh, tak terkecuali Australia. Pidato perdana menterinya di forum itu menjadi sebuah studi kasus yang menarik tentang bagaimana sebuah negara menavigasi dilema antara aliansi dan nurani, terutama jika suaranya digemakan berlawanan dengan gema tegas yang bisa kita bayangkan datang dari seorang Presiden Indonesia, Prabowo Subianto.

Posisi Australia, jika dilihat lebih dalam, bukanlah cerminan murni dari nilai-nilai demokrasi atau hak asasi manusia yang sering mereka gaungkan. Ia adalah produk dari sebuah pendekatan kekuatan, sebuah kalkulasi strategis untuk bertahan di tengah tarikan kepentingan yang saling bertentangan. Kita bisa membayangkan Perdana Menteri Australia naik ke podium dan menyampaikan sebuah pidato yang merupakan masterclass dalam ambiguitas. Ia akan memulai dengan mengecam Hamas, sebuah langkah wajib bagi sekutu Amerika Serikat. Lalu, ia akan menegaskan kembali hak Israel untuk membela diri, pilar kebijakan luar negeri Barat. Namun, untuk menenangkan dunia dan tetangga-tetangganya, ia akan menyerukan perlindungan warga sipil, pentingnya hukum humaniter, dan mengumumkan sejumlah bantuan kemanusiaan. Sebagai jalan keluar diplomatis yang aman, ia akan menutupnya dengan dukungan pada solusi dua negara, sebuah formula usang yang nyaman diucapkan namun sulit diwujudkan.

Pidato semacam itu bukanlah lahir dari kebimbangan moral, melainkan dari realitas geopolitik yang menjerat Australia. Fondasi keamanan nasionalnya adalah aliansi militer dengan Amerika Serikat, yang kini diperdalam melalui pakta AUKUS. Menentang Washington secara terbuka dalam isu sekutu terpentingnya, Israel, adalah risiko yang terlalu besar untuk diambil. Para analis kebijakan luar negeri Australia sering berbicara tentang "ketakutan untuk ditinggalkan" oleh pelindung kekuatan besarnya, sebuah kecemasan historis yang terus membentuk setiap keputusan strategis Canberra. Di sisi lain, Australia adalah tetangga bagi negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia, serta Malaysia. Tekanan regional dan sentimen publik di Asia Tenggara yang sangat pro-Palestina memaksanya untuk tidak terlihat sepenuhnya memihak Israel. Dengan demikian, lahirlah posisi abu-abu ini: sebuah upaya menyeimbangkan loyalitas pada aliansi trans-Pasifik dengan kebutuhan menjaga stabilitas di halaman belakangnya sendiri.

Sekarang, mari kita bayangkan suara kontras yang menggema dari panggung yang sama. Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, akan membawa narasi yang lahir bukan dari kalkulasi aliansi, melainkan dari mandat konstitusi dan sejarah. Pidatonya tidak akan berputar-putar dalam bahasa diplomatis. Ia kemungkinan akan berbicara lugas tentang penjajahan, kejahatan perang, dan menyerukan kemerdekaan mutlak bagi Palestina---sebuah amanat dari Pembukaan UUD 1945 yang menentang segala bentuk penjajahan di atas dunia. Suaranya akan menjadi kelanjutan dari Semangat Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, sebuah seruan bagi negara-negara Dunia Selatan untuk menolak standar ganda dan memperjuangkan tatanan dunia yang lebih adil. Bagi Indonesia, isu ini bukanlah bidak catur geopolitik, melainkan isu identitas dan prinsip fundamental kebijakan luar negeri "bebas aktif".

Ketika kedua narasi ini diperdengarkan, sebuah gambaran yang jelas pun muncul. Posisi Australia, yang secara strategis dapat dimengerti, terlihat rapuh di panggung moral global. Dengan mencoba menyenangkan semua pihak, ia berisiko kehilangan kredibilitas di mata semua orang. Bagi yang mendukung Palestina, sikapnya adalah pembiaran. Bagi sekutu utamanya, dukungannya terasa setengah hati. Krisis di Gaza telah menjadi cermin yang memaksa setiap negara menunjukkan wajah aslinya. Pidato Australia lebih banyak mengungkap dilema dan ketergantungannya, sementara suara imajiner dari Indonesia mengingatkan dunia bahwa dalam menghadapi tragedi kemanusiaan, terkadang jalur tengah bukanlah jalan kebijaksanaan, melainkan jalan pembiaran.

Daftar Pustaka

Carr, A. (2013). Is Australia a middle power? A systemic impact approach. Australian Journal of International Affairs, 68(1), 70--84. https://doi.org/10.1080/10357718.2013.840264 

Gyngell, A. (2017). Fear of Abandonment: Australia in the World Since 1942. La Trobe University Press.

Sukma, R. (1995). The Evolution of Indonesia's Foreign Policy: An Indonesian View. Asian Survey, 35(3), 304-315. 

United Nations. (2025). Australia - Prime Minister Addresses United Nations General Debate, 80th Session | #UNGA. YouTube. https://youtu.be/SECg1mSmkms

United Nations. (2025). Indonesia - President Addresses United Nations General Debate, 80th Session | #UNGA. YouTube. https://youtu.be/DWEwZY_aZ0s   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun