Mohon tunggu...
Mochamad Yusran
Mochamad Yusran Mohon Tunggu... profesional -

Ketika seorng filsuf menunjuk ke bintang, yang dilihat org bodoh hanyalah telunjuk sang filsuf...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Diskursus Kritis Epistemologi (Teori Pengetahuan), Study kasus Teori Gravitasi Newton

2 Oktober 2014   21:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:37 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Prolog

Terdapat sebuah keraguan yang perlu mendapatkan jawaban dalam diskusi saya dengan kelompok diskusi teman-teman Kops HmI Watu (Kohati) Cabang Tarakan dalam suatu kesempatan. Berkaitan keniscayaan pengalaman dalam memahami realitas meskipun realitas tersebut terkategori realitas yang memiliki objek ontologi metafisika. Realitas yang dimaksud misalnya Teori Gaya Gravitasi yang dikemukakan Issac Newton. Menurut salah satu peserta diskusi teori tersebut hanya dapat dipahami dengan menggunakan alat epistimologi inderawi tanpa presepsi inderawi maka pengetahuan akan teori gaya gravitasi tidak akan dapat hadir dalam benak pemikiran manusia, begitulah kira-kira pendapat yang dikemukakan peserta tersebut. Setback sebagai tambahan konon Newton dalam memahami realitas gaya gravitasi bumi dimulai dari pengamatan tak sengajanya melihat buah apel yang jatuh tepat didepan Newton karena kejadian itu berulang-ulang, ia kemudian menyimpulkan terdapat hukum yang mempengaruhi jatuhnya apel tersebut agar selalu dari atas kebawah yang disebutnya gaya gravitasi.

Beberapa argumentasipun penting saya ulangi dalam tulisan ini untuk menuntaskan pertanyaan sebagai upaya menghilangkan benih kesalahan kita dalam memahami masalah tersebut. Pertama, pengetahuan inderawi yang didapatkan melalui sensasi atau presepsi indera hanyalah pengetahuan yang bersifat informasi parsial semata dan karenanya belum memiliki nilai guna atau praktis. Akal yang kemudian melakukan penyimpulan (kongklusi) atas informasi yang disampaikan indera tadi. Dalam contoh kasus hadirnya pengetahuan gaya gravitasi pada benak Newton sesungguhnya bukan berasal  dari pengalaman atau presepsi inderawi, dalam hal ini indera hanya berperan dalam menangkap pengetahuan atas realitas yang tampak (aksiden) – tak lebih pengetahuan apel yang jatuh dari atas kebawah – namun lebih jauh dari itu yakni realitas sebab (subtansi) dibalik realitas yang tampak tersebut (apel) sepenuhnya merupakan peran akal dalam memahaminya (intiza) tanpa kesadaran dan kesimpulan akal maka bisah dipastikan orang akan melihat sekedar fenomena yang tampak. Kedua, Tidak hanya itu, lebih jauh lagi untuk membuktikan keniscayaan peneguhan presepsi akal atas presepsi indera. Bahkan pada realitas fisika sekalipun peranan sensasi indera sangatlah terbatas karena indera hanya dapat menangkap realitas yang tampak pada sebuah benda yang material untuk mengetahui apa sesungguhnya hakikat benda materi tersebut sepenuhnya pengetahuan yang didapatkan melalui presepsi akal.  Misalkan benda atau realitas kertas putih pada sebuah buku tulis. Presepsi inderawi dalam hal ini hanya dapat menangkap pengetahuan pada kertas berupa warnah putihnya, teksturnya yang mungkin halus, dan suaranya yang ketika di sobek berbunyi “kresek”. Padahal tidak semua yang putih, halus, dan berbunyi kresek itu kertas! lalu yang menjadi pertanyaan kenapa kita menyimpulkan bahwa realitas itu kertas? Bagaimana kita menyimpulkan benda tersebut adalah kertas? Darimanakah muncul konsep kertas pada benak kita? Tentu saja dapat mudah kita pahami bahwa yang menyimpulkan realitas itu kertas dengan segala kegunaanya (praktis) itu adalah presepsi akal. Hal ini dapat diperkuat hanya orang yang memiliki akal yang sehat sajalah yang dapat menggunakan kertas sebagaimana fungsinya dan terlebih begitu pula realitas gravitasi yang metafisik itu.

Bagaimana hadirnya pengetahuan dalam benak kita?

Dalam pandangan filsuf muslim yang dikemukakan M. Baqir Shdr (1931) hadirnya pengetahuan tasawur (konsepsi) dalam benak manusia melalui dua etape (tahap). Etape tersebut dikenal sebagai Teori Intiza (Disposisi).Pertama, etape hadirnya pengetahuan primer yakni munculnya gagasan atau pengetahuan sederhana melalui presepsi inderawi. Pengetahuan primer tersebut misalnya putih, tekstur dan bunyi pada kertas seperti contoh diatas atau apel yang jatuh dari atas kebawa seperti kasus Newton menemukan gaya gravitasi. Kedua, etapa daur penciptaan atas pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan melalui etape primer adalah hadirnya pengetahuan skunder dalam benak manusia melalui proses disposisi (intiza) presepsi akal. Pada etapa kedua semua pengetahuan yang hadir dalam benak manusia tidak lagi tunduk pada indera namun didapatkan autentik melalui presepsi akal, misalkan pengetahuan tentang tinggi, rendah, Tuhan, dan lain-lain atau kertas dan gaya gravitasi pada contoh yang telah dikemukakan.

Perlu penegasan kembali sesungguhnya teori intiza diatas tidak menolak peran indera dalam hadirnya pengetahuan pada banak pikiran manusia namun mengkoreksi dengan tegas atas pandangan teori empiris seperti yang dikemukakan filsuf Inggris Jhon locke (1632-1704) dan Irlandia George Berkeley (1685-1753) serta pengikut Marxisme yang menjadikan persepsi inderawi dan pengalaman adalah satu-satunya alat epistimologi dalam memahami hadirnya dan alat penilaian suatu pengetahuan. Pandangan tersebut rancu dan nisbi karena kita semua mengetahui dengan mudah tidak semua pengetahuan yang dimiliki manusia memiliki objek ontologi fisika dan atau materi yang dapat dipahami melalui sensasi indera melainkan terdapat juga sejumlah pengetahuan atau gagasan dalam benak manusia yang memiliki objek ontologis metafisika dan atau nonmateri. Misalkan bentuk-bentuk pengetahuan matematika, geometri, teologi dan pengetahuan lainnya yang hanya dapat dipahami melalui persepsi khayali maupun presepsi akal. Persepsi indera menyampaikan sejumlah pengetahuan primer yang masih bersifat informatif, parsial dan sederhana, Akal-lah yang kemudian melakukan sejumlah penyusunan, menghubungkan keterkaitan dan penyimpulan atas informasi tersebut dalam bentuk pengetahuan afirmatif (tasdiq). Berdasarkan itulah teori intiza juga menolak konsepsi Teori ide fitri yang menurut kaum rasionalisme di barat seperti Jerman Imanuel Kant (1724-1804) dan Perancis Rane Descartes (1596-1650) meyakini ide fitri tersebut sudah dimiliki manusia sejak ia dilahirkan atau bersifat watak bawaan (fitri) namun filsuf muslim seperti Baqir Shdr menjelaskan ide fitri itu bersifat potensi atau memerlukan sejumlah stimulan (ransangan) untuk menjadi pengetahuan aktual dalam pikiran manusia. Dalam hal ini kita sepakat sebagaimana pendapat kaum empiris yang meyakini sensasi indera sebagai sumber pengetahuan namun hanya pada pengetahuan primer dan sederhana. Kita pula dapat menyimpulkan manusia memiliki pengetahuan yang berakar dari ide fitri sebagaimana yang diperkenalkan kaum rasional di barat seperti telah disinggung diatas namun sebagai koreksi ide fitri itu bersifat potensial dan itu artinya manusia belum memiliki pengetahuan sedikitpun sebelum sensasi inderanya aktif dan terlebih pengetahuan skunder.

Bagaimana upaya Akal dalam penyimpulan sejumlah gagasan atau Pengetahuan?

Sebagaimana kita telah bicangkan sejumlah argumentasi peran strategis akal dalam menarik sejumlah pengetahuan merupakan suatu keniscayaan dan lagi rasional. Kemudian yang menjadi persoalan berikutnya adalah bagaimana akal untuk mendapatkan pengetahuan tersebut?

Jawaban ilmiah atas pertanyaan diatas adalah bahwa akal dalam mendapatkan pengetahuan dengan beberapa cara yakni:

1. Perpaduan (menyusun) Upaya akal dalam mendapatkan pengetahuan baru dengan cara memadukan atau menggabungkan antara lebih dari satu pengetahuan konsepsi (tashawwur). Misalkan konsepsi gunung dan emas apabila dipadukan menjadi satu maka akal dapat memahami sebuah konsepsi gunung emas. Gunung emas dalam hal ini pengetahuan baru yang diperoleh dari persepsi khayali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun