Mohon tunggu...
Hety A. Nurcahyarini
Hety A. Nurcahyarini Mohon Tunggu... Relawan - www.kompasiana.com/mynameishety

NGO officer who loves weekend and vegetables

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Suka Dulu, Lari Kemudian

25 Oktober 2014   02:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:50 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu suka berlari?

Ada yang menjawab ‘ya’, suka sekali sampai menjadi hobi atau ‘tidak’, tidak suka lari sama sekali. Pada kenyataannya, memang tidak semua orang suka berlari. Alasannya, banyak. Berbagai faktor mulai dari kesulitan mengangkat dan menggerakkan kaki, napas yang tersenggal-senggal, banyak keringat yang keluar, sampai ‘parno’ dengan sesuatu yang berbau kompetisi. Ya, setiap orang pasti punya alasan tersendiri mengapa tidak begitu suka berlari.

Apakah saya suka berlari? Tidak.

Sesungguhnya, dulu, saya bukan penyuka lari. Ada alasan yang cukup historikal menyangkut diri saya. Saya ‘parno’ dengan sesuatu yang berbau kompetisi. Nuansa kompetisi yang kurang mengenakkan selalu saya temukan saat saya berlari. Hal itu terjadi saat saya duduk di bangku TK atau sebut saja, sejak saya menyadari saya bisa dan mampu berlari. Tidak ada yang menyadari ‘keparnoan’ saya, orang tua saya pun tidak.

Ketika saya berpergian bersama teman sepermainan, maka kita akan bergandengan tangan dan tidak saling meninggalkan. Tanpa diucapkan, kami akan berjalan tenang tanpa berlari. Ketika kami berlari, spontan kami akan mengatakan, “Awas, nanti jatuh!” Begitulah memori menyimpan kuat kenangan masa kecil.

Satu-satunya lomba lari yang saya ikuti adalah saat saya duduk di bangku TK. Guru saya menunjuk saya untuk mewakili TK dalam kompetisi berlari sambil menyusun puzzle. Kompetisi antar-TK itu berlangsung di studio televisi dan direkam sebagai acara ‘off air’. Mama saya, yang kebetulan bekerja di stasiun televisi itu, senang luar biasa, melihat anaknya mewakili TK.

Walaupun akhirnya saya dinyatakan lebih cepat dari wakil TK lain, lawan saya, tetap saja, saya tidak suka berlari. Kondisi ini masih berlangsung sampai saya duduk di bangku SD. Saat pelajaran olahraga, guru saya selalu setia menyelipkan aktivitas berlari. Menyenangkan memang, karena setelah berlari, teman-teman selalu tertawa lepas, tetapi tidak untuk saya. Rasa takut, tegang, dan ‘deg-degan’ selalu menemani.

Bersedia ..., Siap ..., Ya!

Begitulah guru olahraga memberikan aba-aba pada kami, muridnya, untuk berlari. Kami diminta untuk berbanjar dan berlari bersama teman yang berada di sisi kanan-kiri. Ini memang bukan perlombaan lari berhadiah, tapi bagi saya, selama ada aktivitas berlari, semuanya sama saja. Saya tegang setengah mati dan ketakutan ditinggalkan menjadi pelari yang paling belakang.

Walaupun demikian, dengan tekanan psikologis yang sedemikian besar, nyatanya, saya tidak pernah menjadi yang terbelakang. Dalam sebuah aktivitas berlari, maksimal saya menjadi pelari nomor dua, tiga, empat atau lima, tergantung jumlah pesertanya. Yang jelas, tidak pernah menjadi pelari nomor satu.

Jika kamu masih bertanya, apakah saya suka berlari? Jawabannya, tidak.

Sekali lagi, saya tidak suka berlari. Saya takut ditinggalkan di belakang. Menjadi yang terbelakang itu menyakitkan. Saya tidak suka kompetisi. Saya tidak suka berlari.

Seiring saya dewasa, ternyata ada skenario besar yang harus saya hadapi. Lari yang selalu saya hindari, justru semakin sering saya temui. Tidak hanya saat pelajaran olahraga saja, tetapi juga lari karena ketahuan membolos jam pelajaran, lari saat merebut bola basket, lari untuk seleksi paskibraka mewakili sekolah, lari untuk pemanasan pelatihan baris-berbaris, lari mengejar guru karena ketinggalan tugas, dan lain-lain.

Mungkin saja karena tidak ada beban dan saya spontan melakukannya, saya menjadi tidak begitu benci pada lari. Pelan-pelan, lari menjadi agenda pagi saat akhir pekan. Jika luang di hari Minggu pagi, saya tidak pernah absen untuk berlari di kawasan Car Free Day (CFD) Sudirman.

Dengan proses yang panjang, saya menyadari lari merupakan aktivitas yang menyenangkan. Lari menjadi bagian dari latihan fisik yang menyehatkan. Lari bukan ajang ‘gegayaan’ semata yang hanya mengandalkan sepatu dan pakaian bermerk terkenal. Tidak. Saya berlari untuk saya dan kesehatan.

Jadi, tanyakan sekarang, “Apakah saya suka berlari?” Jawabannya, “Ya.”

[caption id="attachment_349651" align="aligncenter" width="1024" caption="Suka Dulu, Lari Kemudian - Bersedia, siap, ya!"][/caption]

*Lomba ini diikursertakan dalam lomba blog Kompasiana dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) "Festival City Marathon."

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun