Pagi hari, baru jam 09-an barangkali, Cik Yung duduk di teras depan rumahnya yang rindang---memang rindang sekali rumahnya, di median Boulevar yang sebidang dengan tanah depan rumahnya---wah, ada tiga pohon angsana besar berumur 20 tahunan-lah, satu pohon flamboyan yang baru belajar berbunga----di bawahnya pohon palem dan pohon besi plus macam-macam pohon perdu yang lebih kecil. Di halaman rumah Cik Yung sendiri terdapat satu pohon nangka dan pohon nona plus palem dan lain-lain. Betul-betul suasana tropis. Yang istimewa rimbunan pohon itu sejak jam setengah enam pagi sampai magrib, burung berganti-ganti hinggap dan bernyanyi. Kalau musim kutilang membesarkan anak-anaknya lebih ramai lagi. Sejuk, adem, dan teduh menyehatkan.
Cik Yung duduk di kursi gaya betawi dengan mejanya sekali, secangkir kopi baru dihidangkan. Kopinya kiriman teman-nya dari Singkil---harum khas kopi dari sana. Lewat dua mahasiswa yang kos di sekitar situ.
"Assalumualaikum Pak Haji "Â kata salah satu pemuda itu
"Waalaikummusalam, mau kemana tu ".
"Tak ada kuliah harini, cari-cari angin pak haji "
"Mampir sini, minum kopi Singkil nih !"Â Â Â Dua pemuda pantang ditawari, langsung saja membelok ke halaman Cik Yung.
Cik Yung memang senang bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat, sehingga pemuda kampung tetangga pun mengenalnya. Apalah lagi anak-anak kos dekat rumahnya.
"Buku apa nih pak haji ?"Â Â Memang ada niat Cik Yung akan membaca buku pagi itu. Ada empat judul buku telah tersedia di atas mejanya itu. Salah satunya memang ingin dibacanya.
"Buku pilihan, akan dibaca pagi ini. Satu tentang ‘Budaya' karangan Ibu Edi Sedyawati, yang dua buku yang tipis-tipis ini buku tentang Undang-Undang Dasar 1945---yang satu ini Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan, kumpulan esei untuk menghormati Professor Sumitro Djojohadikusumo."
"Wah mengganggu ini pak haji "Â kata seorang anak muda itu.
"Enggak-enggak, tenang-tenang saja kita minum-minum kopi dulu, sambil diskusi---okay?"
Diceritakan-lah oleh Cik Yung bahwa suatu saat ia pernah membaca di salah satu pojok jalan, di dinding di dekat situ , tertulis : Dekrit-kan kembali ke UUD 45 (cat merah)----ia lupa-lupakan saja penemuan yang sudah cukup lama itu, Rasanya sebelum pemilu legislatif. "Ee kemarin aku mengunjungi teman yang sakit---disana memang ada beberapa teman yang juga berkunjung. Sudah bercerita dan saling berargumentasi tentang isu-isu panas negeri ini. Menjelang pamit seorang teman pensiunan Jenderal menyeletuk " Saya pikir sebaiknya ‘dekrit kembali ke Undang-undang Dasar 1945' saja !" Maksudnya kembali menggunakan Undang-undang Dasar 1945 (yang murni, belum dilakukan amendemen).
Kemudian Cik Yung melanjutkan ceritanya, sayang temannya yang menyeletuk itu memang pamit mau pulang. Tetapi statemennya itu rupanya mengganggu persepsi Cik Yung tentang reformasi. Reformasi 98 itu mengoreksi pelaksanaan UUD 45 (yang murni, belum diamendemen) yang menjurus pada kenyataan----pemerintahan yang totaliter, represif, memandulkan fungsi parlemen, pembatasan bersuara dalam proses demokratisasi, dan lain-lain. Undang-undang Dasar 1945 memang dipersiapkan dengan singkat (dan isinya pun singkat-singkat) untuk menghantarkan pembentukan Undang-undang Dasar yang permanen, yang seharusnya dihasilkan Dewan Konstituante, hasil Pemilu tahun 1955.
"Pandangan pak haji bagaimana ?" tanya salah satu mahasiswa itu.
"Dalam Dekrit Bung Karno 5 Juli 1959, jelas konsiderans-nya ‘bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar Sementara, (lantas) .........bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, ‘Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya' , itu adalah konsiderans Presiden Sukarno. Jadi tepat pengeluaran dekrit di tanggal 5 Juli tahun 1959 itu. Karena Konstituante tidak mungkin lagi bisa menetapkan konstitusi yang baru dan permanen.
Kemudian dilanjutkan oleh Cik Yung penjelasan betapa Undang-undang Dasar 1945 itu memungkinkan Bung karno melaksanakan dengan praktik Demokrasi Terpimpin---lantas menafsirkan pasal -pasal Bab III terutama pasal 7 mengenai masa jabatan kepresidenan--bisa menjadi Presiden Seumur Hidup. Masa itu dinamakan Orde Lama----dikoreksi oleh Front Pancasila dan Angkatan 66 didukung oleh ABRI.........dimulai-lah era Orde Baru. Orde baru dikoreksi oleh gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa dan kaum intelektuil. Undang-undang Dasar 1945 karena singkatnya memberikan peluang penafsiran atau bahkan kesempatan untuk "mendirikan pemerintahan yang cenderung korup" Dimana lembaga-lembaga Legislatif dan Yudikatif dan lain-lain jadi bersinergi menjadi diktatorial dan totaliter, di bawah komando Ekskutif . Terjadilah sedikit diskusi di antara mereka bertiga tentang pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 yang diamendemen sudah ke-empat kalinya---agar negara dan pemerintahan bisa lebih baik dari pada era Orde Lama sampai Era sebelum 21 Mei 1998, yakni era Orde Baru.  Tanggal 21 Mei 1998 adalah saat Pak Harto menyatakan ‘berhenti".
Cik Yung menyimpulkan "Kalau ingin menyelamatkan bangsa ini dalam kerangka demokrasi----perubahan Undang-undang Dasar 1945 yang amended, harus dilakukan dengan proses demokratis pula , dong----jangan main dekrit-dekritan. Bung Karno saja setelah Dekrit 5 Juli 1959 mengingatkan bahwa dekrit semacam itu hanya"einmaalig"----hanya sekali itu saja !"
"Untung saja dekrit Gus Dur tidak berbunyi---kalau tidak, negeri ini akan goncang terus kalau setiap kali proses pemerintahan memakai dekrit " kata anak-anak muda itu.
Lantas Cik Yung melanjutkan " Sekarang amendemen UUD 45 telah membatasi masa kepresidenan seseorang hanya boleh untuk dua kali, titik " . Kemudian katanya : "Fungsi lembaga-lembaga diperjelas secara konstitusional, sudah hebat itu".
Tangkas anak muda itu melanjutkan " Jangan kasi kesempatan lagi ke Undang-Undang Dasar yang sebelum amendemen----bahaya, bisa-bisa Indonesia buang waktu 50 tahun lagi. Kalau tidak berdarah-darah karena clash terus.
"Yang penting Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 tidak boleh dirubah-rubah, dikutak-katik. Itu jiwa dan martabat rakyat Indonesia yang merdeka. Harkat Negara Kesatuan RI. Kalau isinya, Batang Tubuhnya, mau dibuat yang visioner, agar Indonesia yang mempunyai sistem pemerintahan yang stabil, Pimpinan Nasional yang tidak korup, dan secara modern menjamin hak-hak rakyat dengan yang lebih adil, aman, sentosa---boleh saja.   Karena kita harus maju ke depan---bukan retrogresif, jangan mundur terus, enggak maju-maju.     Dekrit ----No !                           Merdeka !"            Begitu kata Cik Yung.